Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Teungku Di Anjong dan Asal Mula Julukan Serambi Mekah

DI ANJONG. Penampakan Masjid Teungku Di Anjong setelah dipugar kembali pascatsunami Aceh 2004. Foto oleh Habil Razali/Rappler

Oleh Habil Razali

BANDA ACEH, Indonesia—Mendung menggelayut siang itu saat Rappler mengunjungi Masjid Teungku Di Anjong, di Desa Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, Selasa siang, 22 Mei 2018. Adzan Zuhur sudah berkumandang, tapi pria bernama Zulfahmi belum juga menampakkan batang hidungnya. Dua jam sudah Rappler menunggu pria yang disebut-sebut sebagai sang juru kunci penjaga makam masjid itu.

Selama menunggu, Rappler berkeliling. Halaman masjid sangat luas. Tidak seperti masjid pada umumnya, Masjid Teungku Di Anjong tanpa menara. Bagian atap masjid terdapat tiga tingkat tanpa kubah di atasnya.

Masing-masing tingkatan atap terpisah oleh  beberapa bilik jendela bercat hijau. Warna hijau juga menghiasi keseluruhan bagian atap. Dinding masjid berwana putih terbuat dari beton. Pondasinya hitam.

Sekitar lima meter dari masjid, sebuah tugu dibangun. Tingginya satu setengah meter. Bagian ujung atas tugu mengikuti gaya atap masjid berbentuk limas. Pada bagian bawah, terdapat tulisan yang dipahat brewer emas dalam tiga bahasa, yaitu Aceh, Indonesia, dan Inggris. Isi tulisan itu kurang lebih menjelaskan bahwa masjid itu didirikan oleh Teungku Di Anjong. 

Selemparan batu dari tugu, terdapat makam Teungku Di Anjong. Makam berada di dalam sebuah bangunan. Pintunya digembok. Pintu makam lazimnya baru dibuka saat ada pergelaran kenduri. Penziarah biasanya hanya berdoa di bagian luar makam. “Biasanya Pak Zulfahmi di sini (makam). Dia juga ahli waris dari Teungku di Anjong," kata seorang warga di area sekitar makam.

Karena sang ahli waris itu tak kunjung tiba, Rappler pun menemui Bustami, Ketua Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Teungku di Anjong. Darinya, kami memeroleh sejarah masjid yang telah berusia ratusan tahun lalu itu.

Masjid Teungku Di Anjong merupakan salah satu masjid tertua di Ibu Kota Provinsi Aceh. Sebuah riwayat menyebutkan, masjid itu dibangun pada 1769 M oleh Sayyid Abubakar bin Husaien Bilfaqih, ulama besar asal Hadramaut, Yaman. Ia mengembara ke Asia Tenggara dan menetap di Aceh.

"Nama masjid Teungku Di Anjong adalah sebuah julukan yang diberikan masyarakat Desa Peulanggahan untuk mengenang dan menghormati ulama sang pendiri," kata Bustami.

Sebelum mendirikan masjid di tanah seluas 4 hektare itu, sang ulama dikisahkan menjadikan rumahnya sebagai tempat pengajian dan asrama bagi murid–muridnya yang memperdalam agama Islam dan menetap di sana. Namun karena jumlah muridnya semakin bertambah dan rumahnya tak lagi sanggup menampung, Teungku Di Anjong kemudian mendirikan masjid.

Setelah masjid yang mayoritas dibangun dari kayu itu selesai, fungsinya kemudian bukan hanya untuk ibadah saja, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah, pengajian, dan lainnya. Saat Belanda masuk ke Aceh, masjid Teungku di Anjong bahkan sempat berfungsi sebagai benteng pertahanan bagi pejuang Aceh.

Default Image IDN

Siapa Teungku di Anjong?

Teungku Di Anjong yang memiliki nama asli Al Qutb - Al Habib - Sayyid Abubakar bin Husain Bilfaqih, berasal dari wilayah Hadhramaut, di negeri Yaman. Menurut catatan sejarah, dia menyebarkan Islam ke Aceh pada tahun 1642 M dan hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alauddin Mahmud Syah, tahun 1760-1781 Masehi.

Teungku di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan. Frasa ‘di anjong’ dalam bahasa Aceh berarti disanjung atau dimuliakan. Dalam riwayat lain, gelar Teungku di Anjong diberikan karena ulama itu banyak melakukan ibadahnya di anjungan masjid.

Ada sebuah kisah ‘ajaib’  terkait Teungku Di Anjong semasa hidupnya. Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan Ilmu Sosial Unsyiah, dalam hasil penelitiannya pada tahun 1987, menuliskan bahwa Kerajaan Aceh pernah mengalami defisit neraca pembayaran utang dalam jumlah besar kepada Kerajaan Inggris.

Hal itu terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin Mahmud Syah. "Konon, meskipun semua emas dari hasil tambang di Pariaman dikumpulkan, tetap tidak cukup membayar hutang Kerajaan Inggris," tulis Adnan.

Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di Anjong. Syahdan, dikirimlah utusan menghadap Teungku Di Anjong. Utusan datang dengan membawa sejumlah hidangan untuk memuliakan.

Setelah menerima utusan sultan, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan itu dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti Kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala mengaku tidak sanggup menyelesaikan persoalan itu dan menyerahkannya kembali kepada Teungku di Anjong.

Akhirnya, Teungku Di Anjong bersedia menangani persoalan itu. Kepada utusan sultan, ia meminta disediakan beberapa goni dan diletakkan di pinggir sungai Krueng Aceh. Goni tersebut disuruh isi dengan pasir sungai. Saat sudah terisi, goni itu kemudian dibawa ke Pante Cermen, Ulee Lheue.

Sedangkan terkait hidangan yang dibawa oleh utusan Sultan, Teungku Di Anjong agar dikembalikan kepada Sultan. Namun, ia berpesan agar salah satu dari hidangan tersebut hanya sultan yang boleh membukanya. Saat sultan membukanya, ternyata di dalamnya terdapat emas dan perak.

"Sementara goni yang dibawa ke Ulee Lheue sudah berubah menjadi perak. Dengan itulah kemudian Sultan Aceh membayar utang Kerajaan Inggris," tulis Adnan.

Asal mula julukan Serambi Mekah

Masjid Teungku di Anjong pada masa dulu dikenal oleh masyarakat dengan nama dayah atau pesantren. Masjid terdiri tiga lantai, lantai pertama disebut dengan hakikat, lantai kedua tarekat dan lantai ketiga makfirat.

Snouck Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers, menyebut makam Teungku Di Anjong menjadi tempat pelepasan kaoy atau bernazar.

Dalam kompleks Masjid Teungku Di Anjong dulunya terdapat asrama untuk menampung jamaah haji. Asrama itu dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya. Dulu, saat umat muslim di Nusantara ingin berhaji jalur laut menjadi salah satu jalur yang kerap digunakan untuk mencapai Mekah. Pelabuhan terakhir yang bakal disinggahi adalah Aceh.

Bustami mengatakan, nama Desa Peulanggahan juga diperkirakan berasal dari kata persinggahan. Karena banyaknya orang yang singgah terlebih dulu di kawasan itu sebelum menuju Mekkah untuk berhaji. "Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Teungku Di Anjong dan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu," jelas Bustami.

Tersapu tsunami 2004

Pada saat gempa dan tsunami melanda Aceh pada tahun 2004, Masjid Teungku di Anjong aslinya terbuat dari kayu lenyap dihempas gelombang. Tinggi gelombang tsunami di sana setinggi empat meter. Tidak ada yang tersisa setelah air tsunami surut. Semua peninggalan Teungku di Anjong hilang terbawa air semisal, guci, kitab, dan barang lainnya.

Usai musibah, masjid itu kembali dibangun dengan bantuan Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias. Arsitekturnya tetap mengikuti gaya lama. Hanya saja seluruh dindingnya sudah beton. Setiap Ramadan, warga setempat masih mengenang kematian Teungku Di Anjong. 

—Rappler.com

 

 

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us