Meresapi Pentingnya Interaksi dengan Penyandang Tunanetra lewat Bioskop Bisik

JAKARTA, Indonesia —Ada yang berbeda dari sesi press screening yang berlangsung di Epicentrum XXI, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 28 Maret 2018 lalu. Sore itu memang jadwal pemutaran perdana film Partikelir yang disutradarai, dibintangi dan ditulis skenarionya oleh komika Pandji Pragiwaksono. Tapi sebelum film diputar, ada beberapa orang tunanetra dan pendampingnya masuk ke ruang bioskop dan bersiap menyaksikan film.
Mereka berjalan perlahan memasuki bioskop. Setelah menemukan tempat duduk, ada satu orang masing-masing yang mendampingi mereka dan duduk di sebelah para penyandang tunanetra. Senyum lebar terlihat di raut wajah mereka.
"Teman-teman, sore ini kebetulan kami juga mengajak rekan-rekan dari Bioskop Bisik. Beberapa teman pemeran film Partikelir juga akan mendampingi sebagai pembisik. Jadi mohon maaf nanti kalau ada sedikit suara-suara bisik-bisik, itu kami sedang menjelaskan film pada teman-teman tunanetra," ujar Pandji pada khalayak sebelum film diputar.
Sore itu pun, Pandji bertindak sebagai salah seorang pembisik yang mendampingi Karina, salah satu penyandang tunanetra yang turut hadir menyaksikan film atas inisiasi Bioskop Bisik. Ini juga bukan kali pertama Pandji terlibat di kegiatan serupa.

"Pandji sebelumnya sudah beberapa kali jadi pembisik. Ini kebetulan film dia mau tayang, jadi kami diundang juga hadir," ujar Ramya Prajna Sahisnu (Rama), penggagas Bioskop Bisik yang berbincang bersama Rappler di kantornya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa, 27 Maret.
Tunanetra dan pembisik
M. Reza Akbar atau yang akrab disapa Ega adalah salah satu penyandang tunanetra yang turut hadir di bioskop menyaksikan film Partikelir hari itu. Reza bersama 9 orang rekan tunanetra lainnya diundang untuk bersama-sama menikmati film bergenre komedi aksi tersebut. "Seru sih. Jadi dari awal sampai akhir terus dibantuin sama pembisik. Kan kadang ada adegan-adegan yang enggak ada dialognya gitu kayak adegan berantem gitu kan. Maka dengan dibisikin jadi tahu, oh, ini lagi berantem. Guru silatnya segala macam kejar-kejaran, gitu sih," ujar pria kelahiran 18 April 1985 itu.
Ini bukan kali pertama Ega terlibat di aktivitas Bioskop Bisik. Bahkan ketika ditanya sudah berapa film yang ditontonnya bersama Bioskop Bisik, Ega sampai lupa persisnya. "Sudah beberapa kali sih, udah sering ikut Bioskop Bisik," ujarnya.
Karena Bioskop Bisik pula, Ega merasa tertolong untuk lebih bisa menikmati film layar lebar seutuhnya. Semua karena kehadiran pembisik yang selalu ada di sisinya menjelaskan beberapa hal yang terjadi di layar, terutama untuk adegan-adegan yang tanpa dialog. Kata Ega, ia bisa memahami seluruh jalan cerita film dengan baik meski tidak bisa melihat adegan tersebut di layar. "Kadang-kadang kalau ada yang menurut saya belum jelas, saya akan tanya. Jadi tetap komunikasi sama pembisik sih," kata Ega yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan digital agency tersebut.

Berbeda dengan Ega, kesempatan menjadi pendamping alias pembisik bagi penyandang tuna netra di sesi menonton film bersama Bioskop Bisik justru jadi pengalaman pertama bagi Farid Hidayat. "Mungkin yang paling susah untuk saya pertama kali tuh menjelaskan kondisi yang kompleks. Kayak banyak yang seliweran, paling menceritakan ini ada siapa, satu aja yang saya ceritain. Jadi fokusnya apa, ya cuma ceritain. Jadi enggak terlalu sulit juga," ungkap Farid pada Rappler.
Keterlibatan Farid di kegiatan Bioskop Bisik diakuinya karena keinginannya untuk membantu para penyandang tunanetra, sekaligus untuk bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Dan Farid mengaku tertarik untuk kembali melakukan kegiatan serupa di masa depan bersama Bioskop Bisik.
Berawal dari keingintahuan
Saat bertutur pada Rappler, Rama, penggagas Bioskop Bisik yang juga co-founder dan co-CEO Think Web, bercerita tentang awal-awal perkenalannya dengan aktivitas yang bersentuhan dengan penyandang tunanetra. Sekitar tahun 2014, Rama ikut aktivitas menulis ulang teks yang akan dicetak ke huruf braile.
Dari kegiatan itu, banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. "Tunanetra itu kalau pakai komputer gimana? Pakai internet gimana? Browsing internet gimana? Dan sebagainya. Ya reflek aja mikir ke situ. Tapi terus saya keinget bahwa kan ada text to speech. Jadi ya tunanetra pakai komputer pasti pakai bantuan itu, dibacain sama komputernya. Tapi gimana kalau nonton YouTube, misalnya?" ungkap Rama.
Didasari pertanyaan-pertanyaan dan rasa ingin tahu itulah, Rama kemudian mencari informasi lebih jauh dan lantas bertemu dengan pihak yayasan Mitra Netra. Di sana, Rama dikenalkan dengan "dunia" baru. Semakin mendalami, Rama mulai mencari cara, bagaimana agar teknologi bisa membantu kaum difabel. Meski ada teknologi komputer yang mempermudah penyandang tunanetra, tapi tetap saja, pengalaman menikmati paket audio dan visual tentu tidak mudah didapatkan para penyandang tunanetra.
"Lalu muncullah ide untuk membuat sebuah website yaitu youtubefortheblind.com. Itu saya jadikan sebagai inisiatif karena justru kami yang buta dan belum mengenal dunia tunanetra," ungkap Rama yang juga kemudian bertemu dengan komunitas tunanetra lainnya yang bisa menyediakan fasilitas pendamping bagi penyandang tunanetra. Misalnya untuk pendamping ujian, membaca buku, dan lainnya.

"Jadi, saya baru tahu beberapa kali mereka melakukan nonton bareng. Jadi bentukan nonton bareng tunanetra tuh sebelumnya sudah biasa dilakukan. Kami cuma ngasih nama aja, Bioskop Bisik. Mungkin definisinya jadi agak berbeda. Jadi Bioskop Bisik tujuan utamanya adalah untuk memberikan awareness ke publik untuk yang bermata awas, bahwa ada tunanetra di sekitar kita dan tunanetra itu sama dengan kita semua hanya saja enggak lihat. Tapi obviously mereka juga bisa memahami film, mereka juga bisa bekerja, bisa punya penghasilan dan sebagainya."
Semua sesuai dengan tagline Bioskop Bisik yang menarik untuk disimak. Beda mata, sama rasa.
Lewat Bioskop Bisik pula, Rama ingin mematahkan stigma yang beredar di masyarakat yang kerap memandang penyandang disabilitas dengan sebelah mata. "Biasanya publik tuh kalau udah enggak bisa lihat (tunanetra) berarti miskin juga, bodoh juga, dan lain lain. Padahal itu beda hal. Jadi objektif utama dari Bioskop Bisik sebenarnya lebih kepada memberikan awareness. Jadi sebenarnya bisa dibilang, tunanetranya yang relawan. Cuma kan orang lihat, 'Wah ini ngebantuin tunanetra'."
Pentingnya interaksi
Harus diakui, meski kerap tak disadari, masih ada jarak yang terbentang antara manusia normal dengan para penyandang disabilitas. Perbedaan fisik seolah-olah membuat gap antara yang normal dan yang berkekurangan secara fisik. Padahal, bila kita ingin memahami dunia mereka para penyandang disabilitas, pasti stigma-sitgma dan asumsi-asumsi itu bisa diubah. Bahwa kita sama-sama manusia ciptaan Tuhan.
Keinginan untuk menciptakan wadah interaksi bagi penyandang disabilitas dan orang normal itulah yang sebenarnya menjadi tujuan utama Rama menggagas Bioskop Bisik. "Objektif kedua, baru untuk membantu tunanetra memahami film. Ya, ini tambahan aja sih sebagai pelengkap, bukan yang utama," ujar pria kelahiran 14 Oktober 1977 itu.
Sejak tahun 2015, Bioskop Bisik mulai bergerak. Dimulai dari jejaring kecil, dari mulut ke mulut hingga terbentuk komunitas yang solid dan kian bertambah jumlahnya. Kini, lebih dari 20 judul film sudah pernah dipertontonkan pada para penyandang tunanetra dengan pendampingan para pembisik.
Meski semua digagas pribadi, Rama mengaku tak banyak mengeluarkan biaya. Apalagi banyak pihak yang kemudian mulai menyadari keberadaan Bioskop Bisik dan kemudian menawarkan bantuan dengan cara mereka masing-masing.
"Cuma belakangan ini yang saya coba dorong adalah dari masing-masing aja. Tunanetra juga bayar, relawannya juga bayar gitu. Memang sih yang gratis sama yang bayar ya peminatnya berbeda. Tapi yang saya juga pengin dorong adalah ikut bukan karena gratisan dan tidak mau mendorong karena saya tunanetra maka saya harus dibantu. Bahwa saya adalah pihak yang harus dibantu jadi sudah selayaknya dapat gratis dan segala macam. Hal seperti itu yang menciptakan kondisi saat ini di mana gap difabel sama publik jadi besar sekali."
Menyebarluaskan awareness
Setiap ada aktivitas menonton film bareng yang dilakukan Bioskop Bisik, biasanya para penyandang tunanetra sudah diberitahu terlebih dahulu. Sementara relawan pembisik juga bisa mendaftarkan diri mereka untuk mendampingi penyandang tunanetra. "Kami bikin publikasi sederhananya terus kami juga udah punya database relawan yang pengin jadi pembisik. Sebisa mungkin memang kami memperbanyak jumlah relawan pembisik."
Tujuannya tentu untuk semakin memperbanyak ruang interaksi antara publik dan penyandang tunanetra lewat aktivitas menonton film. Sebisa mungkin, setiap kegiatan menonton film, penyandang tunanetra didampingi pembisik baru. "Jumlah tunanetra bagaimanapun lebih sedikit dari publik," ujar Rama lagi.

Sebelum pemutaran film dimulai, biasanya Rama dan tim melakukan briefing singkat bagi para pembisik. Di sana dijelaskan bahwa penyandang tunanetra hanya tidak bisa melihat, tapi masih bisa mendengar dialog. "Jadi enggak usah tuh diceritain sepanjang film. Jadi yang perlu diceritain hanya adegan tanpa dialog. Karena mereka bisa dengar musik, suara ledakan, dialognya segala macam dan deskripsinya mulai dari siapa yang bisa bicara sampai suasananya seperti apa. Enggak perlu detail, teman-teman tunanetra enggak perlu tahu bajunya kotak-kotak, warna kuning dan sebagainya. Mereka cuma butuh memahami filmnya dengan lebih lengkap."
Meski tidak bisa melihat, penyandang tunanetra bukan berarti tidak bisa menikmati film tanpa pembisik. Tapi alangkah sempurnanya jika adegan-adegan tersebut bisa diceritakan oleh orang lain.
"Sebenarnya Bioskop Bisik itu ada dua kegiatan: one to one yaitu tunanetra dan pembisik sama one to many yaitu pembisiknya satu, tunanetranya banyak. Nah itu kami pakai alat kayak interpreter, yang ini tujuannya untuk memfasilitasi tunanetra dalam jumlah yang banyak."
Belakangan kegiatan serupa Bioskop Bisik pun mulai marak dilakukan oleh banyak pihak, di Jakarta dan juga di luar Jakarta. Tak ada yang salah dengan hal tersebut. Karena bagi Rama, tak ada yang namanya persaingan dalam hal ini. "Yang paling buruk dari saingannya adalah jadi lebih banyak orang tahu soal tunanetra," ungkap Rama yang bersama Think Web banyak meluangkan kepedulian bersama kaum penyandang disabilitas.
"Saya percaya teknologi mengangkat kemanusiaan. Yang artinya melengkapi difabel. Karena kami bekerja di bidang itu, jadi ini hal yang tepat yang membuat kami tetap sadar bahwa semua punya kesempatan yang sama, kita punya masalah, mereka punya masalah."
Keinginan serupa pun jadi mimpi Ega. Keinginan untuk bisa menikmati film layaknya publik secara umum. Keinginan untuk berinteraksi dan berbagi bersama pembisik. "Ya khusus teman-teman tunanetra yang belum tahu ya mau ngasih tahu ada komunitas Bioskop Bisik jadi kita bisa nonton dengan pembisik. Kalau untuk masyarakat secara umum sih, kalau ada suara bisik-bisik jangan langsung dimarahi ya, siapa tahu ada teman-teman tunanetra lagi nonton dengan pembisik. Terus ada pesan juga khususnya untuk bioskop-bioskop Indonesia untuk bagaimana menyediakan audio description biar tunanetra bisa nonton dengan lebih mandiri."
Bagi kamu yang tertarik bergabung menjadi relawan pembisik di Bioskop Bisik, bisa memantau informasi kegiatannya lewat laman Instagram @bioskopbisik.
—Rappler.com