Ombudsman Temukan Potensi Kerugian Rp3 T, DPR: Data Beras Bermasalah

- Johan menyoroti persoalan pengawasan distribusi. Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), bantuan pangan, maupun penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di lapangan tidak selalu tepat sasaran.
- Temuan Ombudsman RI harus dijadikan momentum untuk bersih-bersih. Pemerintah perlu berani membuka semua data perberasan ke publik, dengan melakukan audit menyeluruh terhadap CBP.
- Tata kelola beras disebut belum optimal, potensi kerugian negara Rp3 triliun. Ombudsman mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menilai temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bukan kejadian yang tiba-tiba. Dalam catatanya, ORI mengungkap ada potensi kerugian negara Rp3 triliun, dampak lemahnya tata kelola beras nasional.
Menurut Johan, potensi kerugian negara hingga Rp3 triliun terjadi karena dua hal, yakni adanya data yang tidak akurat, dan distribusi yang tidak diawasi dengan serius. Dia mengatakan, data beras nasional memang bermasalah. Produksi tidak sinkron dengan serapan, cadangan pemerintah tidak sejalan dengan laporan di lapangan.
"Ketika data tidak transparan, maka kebijakan pasti meleset, dan pada akhirnya, negara yang menanggung kerugian," kata Johan kepada jurnalis, Senin (17/11/2025).
1. Soroti lemahnya pengawasan SPHP dan CBP

Johan juga menyoroti persoalan pengawasan distribusi. Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), bantuan pangan, maupun penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (CBP) di lapangan tidak selalu tepat sasaran.
"Ketika mekanisme kontrolnya lemah, itulah peluang kebocoran. Ini bukan soal administrasi saja, tetapi soal keberpihakan: apakah negara betul-betul melindungi rakyat atau tidak," kata dia.
2. Pemerintah diminta transparan soal data beras

Johan menilai, temuan Ombudsman RI harus dijadikan momentum untuk bersih-bersih. Pemerintah perlu berani membuka semua data perberasan ke publik, dengan melakukan audit menyeluruh terhadap CBP.
Ia juga mendorong pemerintah agar memastikan Bulog bekerja berdasarkan mandat yang jelas, bukan sekadar menjalankan keputusan dengan data yang juga dipertanyakan.
Menurut Johan, kalau tata kelola beras masih seperti sekarang, datanya kabur, pengawasan lemah, maka kerugian negara akan terus berulang.
"Dan yang paling dirugikan bukan hanya APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), tetapi petani dan rakyat kecil. Itu yang membuat saya paling prihatin," kata Legislator Fraksi PKS itu.
3. Tata kelola beras belum optimal, potensi kerugian negara Rp3 triliun

Dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu 3 September 2025, Ombudsman mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog sebanyak 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari 6 bulan.
"Kondisi ini berpotensi menimbulkan disposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," kata Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika, melansir ANTARA, Senin (17/11/2025).
Selain itu, dia mengataka,n realisasi penyaluran Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton atau jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.
Yake juga menyoroti realisasi bantuan pangan beras yang baru mencapai 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024. Baik SPHP maupun bantuan pangan, belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Ombudsman menilai, kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabah kualitas apa pun, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah.
"Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun," kata dia.
Kondisi tersebut dapat membuka ruang terjadinya malaadministrasi, dengan potensi terhadap risiko disposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.
"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujarnya.


















