Once: Dunia Pernah Marah ke Indonesia soal Royalti Musik

- Indonesia masih tertinggal dalam standar perlindungan hak cipta
- Indonesia pernah dimarahi dunia internasional
- Indonesia perlahan membangun sistem royalti
Jakarta, IDN Times - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PDIP, Once Mekel, menyampaikan sejarah sistem royalti musik di Indonesia. Dia mengungkapkan, sistem ini terbentuk bukan karena kesadaran internal semata, melainkan akibat desakan dari komunitas musisi internasional.
Once menjelaskan fakta mengenai dasar penerapan royalti musik nasional. Menurutnya, aturan ini dipicu oleh peristiwa kelaparan di Ethiopia pada era 1980-an. Pria bernama lengkap Elfonda Mekel ini mengatakan, hak cipta merupakan aspek penting bagi kemajuan negara. Dia berpendapat negara-negara besar bisa berkembang pesat karena memiliki budaya menghargai serta melindungi karya intelektual.
"Kalau kita belajar dari sejarah negara-negara maju, mereka maju pertama kali karena hak ciptanya," ujar Once dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
1. Indonesia masih tertinggal dalam standar perlindungan hak cipta
Once menyoroti ketertinggalan Indonesia terkait standar perlindungan hak cipta internasional, seperti Konvensi Bern tahun 1886. Menurut penjelasannya, Indonesia memilih tidak segera meratifikasi konvensi tersebut setelah merdeka. Langkah ini diambil agar Indonesia dapat mengadopsi teknologi dan seni dari luar negeri tanpa kewajiban membayar royalti.
Once kemudian memberikan perbandingan sejarah ketika pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 1928. Di saat yang sama, seniman global justru sedang merevisi Konvensi Bern untuk menambahkan perlindungan hak bagi para penampil.
"Bayangkan, saat kita berjuang untuk Sumpah Pemuda, mereka sudah meratifikasi, bikin revisi dari konvensi sebelumnya," kata dia.
2. Indonesia pernah dimarahi dunia internasional

Pada pertengahan 1980-an, kata Once, saat isu royalti berkaitan dengan bencana kelaparan. Once merujuk pada konser amal "Live Aid" dan lagu "We Are the World" tahun 1985. Musisi dunia menciptakan karya tersebut untuk menggalang dana bagi korban kelaparan di Ethiopia, dan rekamannya beredar di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Akan tetapi, dari pemutaran serta penjualan karya amal tersebut di Indonesia, tidak ada dana royalti yang disetorkan untuk membantu korban kelaparan.
"Diketahui tidak ada aliran royalti dari Indonesia. Maka dunia musik, dunia, marah-marah sama Indonesia," ujar Once.
3. Indonesia perlahan membangun sistem royalti

Tekanan dari komunitas musik internasional tersebut akhirnya membuat Indonesia mulai membangun sistem royalti yang lebih terstruktur. Dampaknya terlihat pada 1990 dengan berdirinya Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) pertama di Indonesia, yaitu Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), yang diprakarsai oleh Candra Darusman dan Enteng Tanamal.
Saat ini, DPR RI juga sedang membahas mengenai Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 28 Tahun 2014, tentang hak cipta.


















