Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Peneliti Nilai Kepuasan Publik Terhadap TNI Berpotensi Anjlok

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto usai rapat kerja bersama Komisi I DPR RI. (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Peneliti senior Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menyatakan kepercayaan publik terhadap TNI akan anjlok jika revisi UU TNI memungkinkan campur tangan militer dalam politik praktis.
  • Survei dari lembaga Indikator Politik Indonesia mencatat bahwa kepuasan masyarakat terhadap TNI cenderung positif selama tiga tahun berturut-turut dengan persentase tertinggi di antara institusi lainnya.
  • Kritisi munculnya anggapan bahwa TNI harus diberikan ruang untuk ikut urusan sipil karena tingkat kepercayaan publik yang tinggi, yang menurut Burhanuddin justru dapat menurunkan tingkat kepercayaan tersebut secara perlahan-lahan.

Jakarta, IDN Times - Peneliti Senior sekaligus Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan jika kepercayaan publik terhadap TNI berpotensi anjlok apabila Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) membuka peluang tentara masuk ke politik praktis.

Namun, ia mengatakan, tingkat kepercayaan publik belum bisa dilihat dinamikanya karena Revisi UU TNI belum disahkan.

"Kalau misalnya TNI ditarik-tarik keurusan politik praktis, itu justru potensial menurunkan publik trust. Nah sekarang kan belum sampai kejadian ya karena masih berlangsung kan proses revisinya. Kita tidak tahu kemudian seperti apa. Jadi ya tunggu dulu saja. Tarik-tariknya seperti apa," ujar dia kepada IDN Times, Selasa (18/3/2025).

1. Kepuasan publik terhadap TNI belakangan ini selalu positif

Kemeriahan puncak HUT ke-79 TNI di Lapangan Silang Monas, Jakarta Pusat. (Dokumentasi Puspen TNI)

Survei dari lembaga Indikator Politik Indonesia mencatat, kepuasan masyarakat terhadap TNI cenderung positif selama tiga tahun berturut-turut. Bahkan capaian persentase TNI tertinggi mengalahkan institusi lain seperti presiden, MK, MPR, DPD, KPK, kejaksaan agung, pengadilan, Polri, DPR, dan partai politik.

Tingkat kepuasan TNI hanya kalah oleh institusi presiden dalam survei yang digelar Januari 2025. Di mana kepuasan publik terhadap presiden tembus di angka 97 persen dan TNI 94 persen.

Dosen Prodi Ilmu Politik, FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, berdasarkan survei dan penelitian yang dibuat tahun 2022 bertajuk "Militer Indonesia Menikmati Kepercayaan dan Dukungan Publik yang Kuat: Alasan dan Implikasinya", kepuasan publik terhadap TNI tinggi karena dianggap profesional dengan tidak terlibat dalam politik praktis dan urusan sipil.

"Jadi kita punya indeks profesionalisme militer dengan menggabungkan empat pertanyaan yang berkaitan dengan seberapa setuju masyarakat terhadap tentara menjaga jarak dengan politik praktis, tidak terlibat dengan urusan sipil. Dari pertanyaan tersebut kita mendapatkan informasi bahwa semakin setuju publik terhadap tentara yang profesional yang menjaga jarak dengan politik, dengan urusan sipil itu cenderung percaya terhadap TNI," tutur Burhanuddin.

2. Soroti anggapan kepercayaan publik terhadap TNI tinggi

Rapat kerja Pemerintah dan Komisi 1 terkait RUU TNI. (IDN Times/Amir Faisol)

Burhanuddin lantas secara khusus mengkritisi munculnya anggapan bahwa TNI harus diberikan ruang untuk ikut urusan sipil karena kepercayaan publik tinggi.

"Jadi ini Saya ingin meluruskan statement dari politisi yang seolah-olah mengatakan Karena masyarakat percaya terhadap TNI tinggi maka TNI perlu ditarik-tarik ke urusan sipil," tegas dia.

Oleh sebab itu, Burhanuddin meyakini, jika dalam revisi UU mengizinkan TNI ikut campur dalam urusan dan jabatan sipil, maka tingkat kepercayaan publik berangsur-angsur turun.

"Justru karena TNI tinggi itu lebih disebabkan oleh faktor mereka profesional 'Kembali ke Barak', terutama sejak reformasi dan ini yang menyebabkan TNI dipercaya oleh publik. Jadi kalau misalnya TNI ditarik-tarik keurusan politik praktis, dengan memperluas kewenangan TNI untuk kembali menjabat di jabatan sipil, itu justru potensial menurunkan publik trust terhadap TNI," imbuh dia.

3. Koalisi tolak Revisi UU TNI, bisa picu jabatan sipil diambil tentara

Koalisi masyarakat sipil ketika membacakan penolakan revisi Undang-Undang TNI di kantor YLBHI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Sebelumnya, Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ratusan individu dan puluhan lembaga sosial masyarakat (LSM) menolak dengan tegas revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 mengenai TNI. Mereka menilai, revisi undang-undang TNI akan mengembalikan dwifungsi TNI yaitu prajurit militer aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil. 

"Perluasan penempatan TNI aktif tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah, seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda," ujar Sumarsih penggagas Aksi Kamisan ketika membacakan petisi penolakan revisi UU TNI di kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Senin (17/3/2025).

"Selain itu, bisa terjadi perebutan jabatan sipil, memarjinalkan ASN dan perempuan dalam akses posisi-posisi strategis," lanjut dia. 

Sementara, Halida Hatta mengatakan perluasan jabatan sipil di dalam RUU TNI di antaranya dengan menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

"Ingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang. Sedangkan, Kejaksaan Agung adalah lembaga penegak hukum," ujar Halida. 

Menurutnya keliru bila menempatkan prajurit TNI aktif di insitusi Kejaksaan Agung dan KKP. "Itu merupakan cerminan dari praktik dwifungsi TNI," katanya. 

Lebih lanjut, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai keliru bila prajurit TNI diberi tugas tambahan, yakni menangani narkotika. Langkah itu, kata Isnur, bisa berbahaya bagi negara hukum.

"Penanganan masalah narkotika utamanya berada dalam koridor kesehatan dan penegakan hukum yang proporsional. Bukan perang. Pelibatan TNI dalam mengatasi narkotika akan melanggengkan penggunaan 'war model'. Padahal, selama ini model penegakan hukum saja sudah sering kali bermasalah dalam mengatasi narkoba," ujar Isnur. 

Ia menambahkan bila ikut melibatkan anggota TNI dalam mengatasi isu narkotika dikhawatirkan bisa menimbulkan terjadinya kekerasan yang berlebihan dan serius. Isnur mengambil contoh perang narkoba yang terjadi di Filipina. 

"War model untuk penanganan narkoba adalah contoh yang tidak baik karena telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM," tutur dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us