Penyelidikan Dugaan Korupsi Pagar Laut Usai Kades Kohod Tersangka

- Kortas Tipikor Polri menetapkan empat tersangka dalam kasus pemalsuan surat dokumen untuk permohonan hak atas tanah di wilayah pagar laut Tangerang.
- Dittipidum Bareskrim Polri berkoordinasi dengan Kortas Tipikor terkait adanya indikasi korupsi dalam penerbitan ratusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Jakarta, IDN Times - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terus mengusut kasus pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang, Banten. Terkini, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri menetapkan empat tersangka.
Mereka adalah Kades Kohod, Arsin bin Asip; Sekretaris Desa Kohod, Ujang Karta; dan penerima kuasa, Septian Prayoga alias SP dan Chandra alias CE. Keempatnya diduga memalsukan beberapa surat dokumen untuk permohonan hak atas tanah di wilayah pagar laut Tangerang.
Tak sampai di situ, Dittipidum Bareskrim Polri telah berkoordinasi dengan Korp Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri terkait adanya indikasi korupsi dalam proses penerbitan ratusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Setelah melakukan pendalaman dari indikasi tersebut, Kortas Tipikor menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dimaksud. Polri saat ini pun langsung melakukan penyelidikan ke arah tindak pidana korupsi.
“Sudah dimulai (penyelidikan),” kata Wakil Kepala Kortas Tipikor Polri, Brigjen Pol Arief Adiharsa kepada IDN Times, Rabu (19/2/2025).
Namun demikian, Kortas Tipikor Polri belum membeberkan terkait tahapan penyelidikan yang sedang dilakukan. Termasuk soal pemeriksaan saksi-saksi.
“Masih proses penyelidikan,” ujar Arief.
1. Kades Kohod Arsin diduga menerima uang miliaran rupiah

Turun tangan Kortas Tipikor disambut baik oleh PP Muhammadiyah yang di awal kasus pagar laut Tangerang ini melapor ke Bareskrim Polri. Sebab, berdasarkan hasil investigasi PP Muhammadiyah, terdapat dugaan aliran uang kepada belasan kepala desa termasuk Arsin bin Asip.
“Memang ada aliran uang yang cukup besar yang diterima para kepala desa. Jadi dihitungnya dari mana? Dihitungnya dari luas tanah yang di kavling-kavling itu,” kata Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Gufroni kepada IDN Times.
Dalam tahap penjajakan wilayah, para kepala desa menerima Rp1.500 per meter dari luasan tanah yang bakal dikuasai. Setelah terbit SHGB dan SHM, para kepala desa itu akan mendapatkan uang Rp20 ribu per meter.
“Terus untuk Kepala Desa Kohod karena sudah terbit SHGB dan SHM, maka dia dapati juga sekitar 20 ribu per meter dikali 116 hektare. Sekitar Rp2,3 sekian miliar itu. Itu di luar yang fee dari awal yang 1.500 per meter itu,” ujar Gufroni.
Menanggapi pernyataan itu, Pengacara Kades Kohod, Yunihar, menyebut aliran uang itu adalah tuduhan yang tidak benar. Oleh karena itu ia meminta PP Muhammadiyah untuk memberikan fakta soal aliran uang tersebut.
“Facta sunt potentiora verbis, tanya ke dia (Gufron) aja biar gak omon-omon,” ujar Yunihar.
2. Membidik pemilik modal pagar laut

Penetapan tersangka terhadap Kades Kohod dan tiga orang lainnya hanya menguak soal praktik pemalsuan sertifikat. Sementara itu, aktor utama pemilik modal tidak akan tersentuh dengan penyidikan Dittipidum.
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah mendukung penuh Kortas Tipikor Polri untuk ikut melakukan penyelidikan soal tindak pidana korupsi.
“Karena kan ada indikasi tindak pidana pencucian uang dan itu tentu nanti akan sampai kepada siapa yang penyandang dananya. Karena penerbitan HGB, SHM ini tentu kan berbiaya besar. Tidak mungkin bermodalkan ke girik-girik palsu lalu diterbitkan begitu saja,” ujar Gufroni.
Pidana korupsi ini bisa diungkap melalui pemeriksaan kembali terhadap keempat tersangka pemalsuan. PP Muhammadiyah meminta Kortas Tipikor kembali memeriksa Septian Prayoga alias SP.
“Dari Septian Prayoga itu nanti nyambung ke E alias G yang diduga dia yang membiayainya untuk pengurusan surat-surat itu. Dari E nanti penyidik bisa menelusuri hubungannya dengan AHW ,” kata dia.
3. Struktur aliran uang versi PP Muhammadiyah

Dalam mendirikan pagar laut di Desa Kohod, PP Muhammadiyah menyebut adanya peran penting dari AHW yang merupakan tangan kanan dari perusahaan Agung Sedayu Grup.
AHW ini yang memerintah atau menjadikan E alias G sebagai makelar tanah untuk menguasai wilayah yang telah dipetakan.
“Dia (G) memang tidak bagian dari ASG. Tapi dia dipercayalah tanda kutip oleh AHW untuk melakukan semacam, ya, kalau saya sebut, katanya makelar,” kata Gufroni.
Dalam penguasaan lahan, G dibantu dua orang lainnya, yakni F Dan H. Ketiga orang ini berada di bawah AHW.
Sementara itu, tersangka Septian dan Chandra berada di bawah G sebagai penerima kuasa.
“Dibuat seolah-olah bahwa si Septian yang akan diberikan kuasa untuk mengurus penerbitan SHGB dan SHM. Siapa yang beri kuasa? Yang beri kuasa adalah kepala desa bukan hanya Kohod, ya, tapi itu termasuk yang 16 kepala desa lain,” kata Gufroni.
4. Perusahaan ASG telah menyiapkan skenario

Dalam kasus ini, PP Muhammadiyah menengarai perusahaan ASG ini bakal berkilah bahwa dorinya adalah korban pemalsuan SHGB dan SHM dengan tersangka Kades Kohod dan kawan-kawan.
“Saya dari awal mencurigai bahwa ASG atau anak perusahaannya seolah-olah dia dijadikan semacam korban dari pemalsuan surat itu. Jadi artinya berusaha bahwa ini tidak ada hubungan dengan PT ini. PT ini justru korban dari kelakuan Septian dan Arsin. Jadi putus di situ,” kata Gufroni.
5. Nama Aguan tidak pernah disebut saksi dalam kasus pagar laut Tangerang

Dittipidum Bareskrim Polri mengungkap bahwa nama konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan tidak pernah disebut saksi dalam kasus pagar laut Tangerang, Banten.
Dirtipidum Bareskrim Polri, Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro, mengatakan, selama ini nama pemilik perusahaan Agung Sedayu Grup itu hanya disebut-sebut di media sosial.
"Saat pemeriksaan saksi tidak ada yang menyebut (Aguan). Kalau yang dikatakan di media sosial dan lain sebagainya, itu tidak bisa menjadi patokan karena semuanya itu setiap apa yang dilangkahkan Polri pasti ada dasarnya," kata Djuhandhani di Bareskrim Polri, Selasa (18/2/2025).
Djuhandhani mengatakan, pihaknya akan mengambil keterangan atau memeriksa saksi berdasarkan alasan tertentu. Misalnya, jika pihak yang bakal dimintai keterangan itu sebelumnya telah disebut dalam pemeriksaan oleh pihak yang terperiksa.
“Kita memeriksa terhadap sebuah perkara atau pun melaksanakan penyidikan, tentu saja ada alasan. Alasannya, dari keterangan keterangan baik itu saat sudah kita tetapkan sebagai tersangka," ujar Djuhandhani.
6. Kejagung mundur dari penyelidikan tindak pidana korupsi pagar laut Tangerang

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak lagi mengusut dugaan tindak pidana korupsi atas terbitnya SHGB dan SHM di wilayah pagar laut Tangerang, Banten.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, mengatakan, kasus itu sepenuhnya ditangani Polri.
“Polri sedang melakukan penyidikan apakah ada dugaan tindak pidana pemalsuan di situ, jadi kita mendahulukan itu,” kata Harli saat dihubungi, Senin (17/2/2025).
Mundurnya Kejagung dalam penyidikan kasus pagar laut itu berkaitan dengan nota kesepahaman (MoU) antara Kejagung, Polri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang jika salah satu lembaga sudah menangani objek kasus yang sama, maka lembaga lain tidak perlu terlibat.
Harli menjelaskan, dalam kasus pagar laut Tangerang objek kasusnya adalah penerbitan SHGB dan SHM. Polri saat ini mengusut dugaan pemalsuan dokumen atas terbitnya sertifikat di atas wilayah perairan itu.
“Karena objeknya kan sama soal penerbitan sertifikat, nanti kita lihat sekiranya tindak pemalsuan itu benar ada, apakah pemalsuan itu karena adanya suap atau gratifikasi atau murni memang pemalsuan saja?” ujar Harli.
Harli mengatakan, Kejagung masih dalam tahap pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi dalam penerbitan sertifikat. Dengan begitu, kata dia, Kejagung tidak perlu mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
“Itu kan masih pengumpulan data dan informasi. Istilah SP3 itu kalau sudah penyidikan,” ujar dia.