Polri Sita Akta Pendirian YPI Al Zaytun Terkait TPPU Panji Gumilang

Jakarta, IDN Times - Polri menyita dokumen hingga salinan legalisir akta pendirian Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) yang menaungi Pondok Pesantren (Al Zaytun), terkait kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Panji Gumilang.
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menjelaskan, dokumen itu berupa perjanjian kredit Jtrust Invesment terdiri dari 36 eksemplar.
Termasuk salinan legalisir surat hak milik (SHM) yang digunakan di Jtrust Invesment, sebanyak 41 eksemplar.
Selanjutnya, salinan legalisir akta pendirian YPI nomor 61 tanggal 25 Januari 1994, salinan legalisir akta risalah rapat YPI nomor 84 tanggal 13 Agustus 1996.
"Warkah tanah atas nama saudara PG (Panji Gumilang) dan keluarga di BPN Kabupaten Indramayu 55 eksemplar, buku tanah atas nama saudara PG (Panji Gumilang) dan keluarga di BPN kabupaten Indramayu 220 eksemplar," kata Ramadhan, Senin (25/9/2023).
"Salinan legalisir akta risalah rapat YPI nomor 18 tanggal 18 Februari 1999, salinan legalisir akta keputusan badan pendiri YPI nomor 10 tanggal 9 September 2005," ucapnya.
Lebih lanjut, Ramadhan mengatakan, terkait kasus TPPU Panji Gumilang, pihaknya sejauh ini telah melakukan pemeriksaan terhadap 46 saksi.
"(Sebanyak) 46 orang saksi (telah diperiksa)," pungkasnya.
Diketahui, Polri resmi menaikkan status perkara dugaan TPPU oleh Pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun, Panji Gumilang, ke penyidikan.
Dirtipideksus Bareskrim Polri, Brigjen Whisnu Hermawan mengatakan, status tersebut naik setelah melakukan gelar perkara pada Rabu (16/8/2023) lalu.
"Hasil gelar perkara itu disepakati bersama bahwa telah ditemukan bukti permulaan cukup untuk meningkatkan penyelidikan menjadi penyidikan atas perkara," kata Whisnu.
Dalam perkara ini, Panji diduga melanggar Pasal 3 Undangan-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2020 tentang TPPU, Pasal 70 Juncto Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 2021, Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.