Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Profil Sutradara dan Tiga Ahli Hukum di Film Dirty Vote

Para cast film dokumenter Dirty Vote. (Dok. Dirty Vote)

Jakarta, IDN Times - Film Dirty Vote tengah menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Film tersebut dibintangi tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar (Universitas Gadjah Mada), Bivitri Susanti (Universitas Indonesia), dan Feri Amsari (Universitas Andalas). 

Dirty Vote adalah film dokumenteri yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono mengambil momentum pemilu. Dalam film ini, tiga ahli hukum tata negara ini menerangkan berbagai instrumen kekuasaan yang digunakan untuk tujuan memenangkan Pemilu 2024, sekali pun prosesnya menabrak hingga merusak tatanan demokrasi.

Berikut adalah profil sutradara hingga tiga ahli hukum yang ada di film Dirty Vote!

1. Bivitri Susanti

Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Bivitri Susanti dalam seminar publik "Perlindungan Perempuan dalam Pemilu; Suarakan, Mau Apa di 2024" di Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2023) (IDN TImes/Lia Hutasoit)

Dilansir dari situs resmi Jentera, Bivitri Susanti adalah pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Dia pernah menjadi menjadi research fellow di Harvard Kennedy School of Government pada 2013-2014, visiting fellow di Australian National University School of Regulation and Global Governance pada 2016, dan visiting professor di University of Tokyo, Jepang pada 2018.

Bivitri adalah penerima Anugerah Konstitusi M. Yamin dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas dan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) sebagai Pemikir Muda Hukum Tata Negara pada 2018.

Dia memperoleh gelar sarjana hukumnya dari fakultas hukum Universitas Indonesia (UI). Pada 1999 dan 1998 dia mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Dia lalu melanjutkan pendidikannya dan meraih gelar Master of Laws di Universitas Warwick, Inggris, pada 2002.

Bivitri dikenal aktif dalam kegiatan pembaruan hukum melalui perumusan konsep dan langkah-langkah konkret pembaruan serta dalam mempengaruhi langsung penentu kebijakan.

2. Zainal Arifin Mochtar

Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar atau yang akrab disapa Uceng. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Zainal Arifin Mochtar lulusan sarjana Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2003. Dia kemudian melanjutkan ke jenjang magister di Universitas Northwestern, Chicago, Amerika Serikat dan meraih gelar Master of Law pada 2006.

Dia menamatkan jenjang doktoral Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012. Kemudian menyelesaikan program kursus Summer School Administrative Law, Universitas Gadjah Mada-Maastricht University, Belanda pada tahun 2006, serta Summer School American Legal System, di Georgetown Law School, Washington, Amerika Serikat.

Dia adalah dosen hukum tata negara di UGM dan mengalami karier akademisinya pada 2014 di Fakultas Hukum UGM. Dia aktif di berbagai kegiatan antikorupsi hingga anggota Tim Task Force penyusunan UU  Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2007 dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT).

Dia juga pernah menjabat sebagai anggota dewan audit Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2015 hingga 2017 dan anggota Komisaris PT Pertamina EP pada tahun 2016 hingga 2019. Pada tahun 2022, dia ditunjuk sebagai Anggota Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pada 2023 ditunjuk sebagai Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan Periode 2023 hingga 2026.

3. Feri Amsari

Akademisi dari Universitas Andalas, Feri Amsari (Dokumentasi Watch Doc)

Feri Amsari dikenal sebagai aktivis hukum dan akademisi Indonesia. Dia adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat. Pada 2004, dia mengambil gelar master di kampus yang sama hingga 2008.

Dia kemudian melanjutkan magister perbandingan hukum Amerika dan Asia di William and Mary Law School, Virginia.

Dia juga sempat mengabdi dan mengajar sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Dia kini menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Masa jabatan 2017-2023

4. Sang sutradara, Dandhy Laksono

Dandhy Dwi Laksono, sutradara film dokumenter Dirty Vote. (Dok. Dirty Vote)

Adapun sang sutradara film, Dhandy Laksono, bukan sosok baru yang hanya meramu film-film kritik. Dirty Vote merupakan film keempat yang disutradarai Dandhy mengambil momentum pemilu.

Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film Ketujuh yang menayangkan kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru.

Pada 2017, Dandhy juga menyutradarai Jakarta Unfair tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta. Dua tahun kemudian, film Sexy Killers dirilisnya dan tembus 20 juta penonton pada masa tenang Pemilu 2019. Sexy Killers membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Joko Widodo-Ma'ruf Amin versus Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Dia adalah lulusan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dengan jurusan sarjana Hubungan Internasional (HI). Dia pada 1998 mengawali karier sebagai jurnalis di tabloid Kapital dan majalah Warta Ekonomi.

Dhandy yang merupakan aktivis dan pendiri Watchdoc pernah ditangkap oleh polisi pada Kamis malam (26/9/2019). Ia dianggap melanggar Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45 Ayat 2 UU ITE karena cuitannya yang membahas persoalan Papua.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us