Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Reaksi Sekjen Gerindra soal Usulan Penundaan Pemilu 2024

Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani (Kanan) memberikan keterangan pers usai rapat konsolidasi pemenangan Pilkada di Sumut, Minggu (19/1) petang (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Ahmad Muzani belum bersedia mengomentari terkait usulan beberapa tokoh, tentang penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

"Saya tidak bisa berkomentar karena memang belum mengikuti wacana itu," ujar Muzani, ditemui usai bertemu Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, dilansir ANTARA, Jumat, 25 Februari 2022 malam.

1. Gerindra masih fokus penyelenggaraan Pemilu 2024

Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani (Kanan) memberikan keterangan pers usai rapat konsolidasi pemenangan Pilkada di Sumut, Minggu (19/1) petang (IDN Times/Prayugo Utomo)

Muzani mengaku telah mendapat laporan dan cerita dari beberapa rekannya, namun belum sempat diikutinya secara detail, sehingga perlu waktu untuk mempelajarinya.

"Saya juga masih sedang berada di Jatim dan berkunjung ke beberapa daerah, termasuk di Madura, sehingga belum bisa memberikan respons terkait persoalan di Jakarta," ucap dia.

Namun, Wakil Ketua MPR RI tersebut menegaskan saat ini partainya fokus terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024, termasuk yang dilakukannya sekarang yakni melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jatim.

2. Usulan pemilu 2024 dimundurkan pertama dari Cak Imin

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (IDN Times/Teatrika Handiko Putri)

Sebelumnya, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar mengusulkan Pemilu 2024 ditunda selama satu atau dua tahun, agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang serta terjadi pembekuan.

Menurut Muhaimin yang juga Ketua DPR RI tersebut, pandemik COVID-19 yang telah terjadi selama dua tahun mengakibatkan stagnasi, bahkan penurunan perekonomian nasional.

Selain usulan politikus asal Jatim yang akrab disapa Cak Imin tersebut, Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan juga menyuarakan wacana serupa.

Zulhas, sapaan akrab Zulkifli, menegaskan partainya setuju dengan usulan pelaksanaan Pemilu 2024 dimundurkan, dengan mempertimbangkan lima poin.

Pertama, masa pandemik COVID-19 yang belum berakhir, kondisi perekonomian belum stabil, perkembangan situasi global seperti konflik antara Rusia dan Ukraina, pelaksanaan pemilu memerlukan biaya sangat besar dan keberlangsungan program-program pembangunan yang tertunda akibat pandemik.

Namun, beberapa tokoh lainnya menyatakan tak sepakat pada rencana penundaan Pemilu 2024, salah satunya Wakil Ketua MPR RI, Syarief Hasan, yang menilai usulan penundaan Pemilu 2024 telah mengganggu iklim demokrasi dan merusak konstitusi.

Perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu 2024, kata Syarief, juga dianggapnya berpotensi menuju pada kekuasaan yang absolut dan merusak.

3. Tak ada negara tunda pemilu karena pertumbuhan ekonomi

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini (IDN Times/Fitang Budhi Adhitia)

Sementara, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyatakan tidak ada satu pun negara di dunia, menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.

"Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amendemen konstitusi," kata Titi.

Pegiat pemilu ini menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan, sekaligus menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.

Titi menjelaskan pada masa pandemik COVID-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Namun, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.

"Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka," ujar dia.

Jika alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal, tidak lazim, bahkan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, lanjut dia, jelas mengatur presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selain itu, lanjut Titi, Pasal 22E ayat (1) UUD juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

"Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita," tutur dia.

Titi mengemukakan budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us