Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rezim Ugal-ugalan pada Masa Senja

Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)
Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • DPR RI mengebut pembahasan 4 RUU strategis menjelang akhir periode jabatannya.
  • RUU tersebut dicurigai dipersiapkan untuk pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
  • Revisi UU TNI dan Polri menuai kritik karena dianggap memuluskan kepentingan politik dan kekuasaan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 mengebut sejumlah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) strategis menjelang akhir periode jabatannya. Langkah ini dicurigai karena DPR mau mempersiapkan sejumlah UU itu untuk pemerintahan baru Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Keempat RUU yang menjadi usulan inisiatif DPR tersebut adalah RUU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, RUU Nomor 24 Tahun 2024 tentang TNI, RUU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan RUU Perubahan Keimigrasian.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Atgas, membantah bahwa sejumlah RUU itu dikebut untuk dipersiapkan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia berdalih bahwa alasan kenapa sejumlah RUU strategis itu dibahas pada masa transisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin ke Prabowo-Gibran hanya kebetulan saja.

"Gak. Ini RUU ini, kalau dianggap kebetulan bisa. Tergantung persepsi,” kata Supratman saat ditemui di kompleks parlemen, Rabu 29 Mei 2024.

Selain empat undang-undang tersebut, baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) juga memutuskan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) soal batas usia kepala daerah, yang disebut-sebut untuk memberikan jalan bagi putra bungsu Presiden Joko "Jokowi" Widodo maju Pilkada DKI Jakarta, Kaesang Pangarep.

1. Pakar nilai DPR kebut RUU itu untuk Prabowo-Gibran

Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka berfoto bersama usai ditetapkan dalam rapat pleno di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (24/4/2024). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)
Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2024-2029, Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka berfoto bersama usai ditetapkan dalam rapat pleno di Gedung KPU, Jakarta, Rabu (24/4/2024). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Anggota Constitutional and Administrative Law Society, Herdiansyah Hamzah, mengatakan, UU yang dibahas pada akhir masa jabatan, terlebih sudah ada penetapan hasil pemilu (lame duck), jelas motifnya untuk kepentingan mengamankan kekuasaan Prabowo-Gibran. 

Terlebih, kata Herdi, semua RUU yang pembahasannya dikebut oleh DPR bukanlah prioritas yang masuk dalam desain perencanaan legislasi seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Masyarakat Hukum Adat.

"Kan banyak RUU prioritas, kenapa bukan itu yang dikejar?" ujarnya kepada IDN Times, saat dihubungi, Minggu (2/6/2024).

"Ini makin menguatkan kalau intensi pembahasan RUU itu adalah untuk mengamankan pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya," imbuh dia.

Menurut dia, pembahasan empat RUU strategis itu terkesan sudah masuk ke dalam agenda politik Prabowo dan semua partai politik (parpol) yang tergabung di dalam koalisinya.

"Bukan titipan, memang agenda dia dan koalisinya," ujar dia.

2. RUU yang dikebut DPR bukan untuk kepentingan publik

Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto menjadi pembicara di acara IISS Shangri-La Dialogue ke-21 2024 di Singapura (IDN Times/Istimewa)
Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto menjadi pembicara di acara IISS Shangri-La Dialogue ke-21 2024 di Singapura (IDN Times/Istimewa)

Herdi menilai, sejumlah RUU tersebut juga terkesan dibuat untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk masyarakat luas. 

Misalnya, pada RUU Polri, DPR mengusulkan adanya perubahan masa pensiun Kapolri yang ditentukan oleh presiden melalui keputusan presiden. Namun, DPR tak merinci sampai kapan batasan masa pensiunnya. Hal itu tertuang di dalam Ayat 4 Pasal 30 RUU Polri.

Dalam beleid itu dijelaskan, masa pensiun perwira tinggi bintang empat ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR.

Berikut penjelasan Ayat 4 Pasal 30 RUU Polri: 'Perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi bintang 4 ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.'

RUU tersebut semakin menguatkan wewenang presiden untuk mengatur masa pensiun Kapolri.

"Desainnya memang sengaja dibuat demikian agar kewenangan bertumpu di tangan presiden. Jadi otoritas penuh pada akhirnya ada pada presiden," kata dia.

"Ini kan mengkonfirmasi kalau berbagai RUU itu memang dibuat untuk kepentingan kekuasaan, bukan untuk kepentingan publik," ujar dia.

3. DPR dinilai tak punya komitmen jaga reformasi TNI

Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketika melakukan inspeksi jajaran pasukan saat upacara HUT TNI di Lanud Perdanakusuma, Jakarta Timur pada 2019. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Presiden Joko "Jokowi" Widodo ketika melakukan inspeksi jajaran pasukan saat upacara HUT TNI di Lanud Perdanakusuma, Jakarta Timur pada 2019. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Tak hanya RUU Polri yang cukup problematik, RUU TNI yang tak hanya mengubah masa pensiun prajurit TNI, tapi memberikan kesempatan bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil juga bermasalah.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, mengatakan, revisi UU TNI menjadi RUU usul inisiatif DPR bukan hanya tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan, tapi sekaligus menunjukkan legislator tidak memiliki komitmen untuk menjaga capaian reformasi TNI.

Gufron mengatakan, usulan perubahan dalam RUU TNI versi Baleg DPR jauh dari kepentingan penguatan profesionalisme TNI bahkan memiliki problem yang serius karena jika sampai diakomodir melegalisasi kembali praktik dwifungsi TNI seperti yang pernah dijalankan pada era Orde Baru. 

"Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR RI seharusnya bersikap responsif terhadap kritik dan penolakan yang berkembang di masyarakat, apalagi pembahasan RUU tersebut dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik sehingga jauh dari kepentingan publik yang lebih luas dan dikhawatirkan sarat dengan transaksi politik kekuasaan," kata Gufron dalam keterangannya, Minggu (2/6/2024).

4. Dua usulan DPR di draf RUU TNI problematik

Ilustrasi prajurit TNI ketika disalami oleh Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto. (Dokumentasi Puspen TNI)
Ilustrasi prajurit TNI ketika disalami oleh Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto. (Dokumentasi Puspen TNI)

Gufron menjelaskan, draf RUU TNI versi Baleg DPR RI, terdapat dua usulan perubahan yang problematik. Pertama, perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. 

Hal tersebut dapat dilihat pada usulan perubahan Pasal 47 Ayat 2 melalui penambahan frasa 'serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.' 

Penambahan frasa tersebut dinilai Gufron menjadi berbahaya karena membuka tafsir yang luas untuk memberi ruang kepada prajurit TNI aktif untuk dapat ditempatkan tidak terbatas pada 10 kementerian dan lembaga yang disebutkan di dalam UU TNI. 

Dengan kata lain, presiden ke depan bisa saja membuat kebijakan yang membuka penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lain, seperti Kementerian Desa, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan lembaga-lembaga negara lainnya. 

"Usulan perubahan Pasal 47 Ayat 2 UU TNI jelas akan melegalisasi perluasan praktik Dwifungsi ABRI yang sejatinya secara perlahan mulai dijalankan terutama pada era pemerintahan Presiden Jokowi," ujar dia.

Usulan perubahan tersebut dinilai sebagai langkah untuk melegalisasi kebijakan yang selama ini keliru, yaitu banyaknya anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral hingga di Badan Usaha Milik Negara.

Berdasarkan data Babinkum TNI, pada tahun 2023 tercatat 2.569 TNI aktif di jabatan sipil. Dengan adanya usulan perubahan tersebut, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif berpotensi lebih banyak lagi. 

Penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil tidak sejalan dan bertentangan dengan prinsip pengaturan militer di negara demokrasi yang menuntut adanya pemisahan antara domain sipil dan domain militer.

Dia menegaskan, di negara demokrasi, fungsi dan tugas utama militer seharusnya difokuskan sebagai alat pertahanan negara. Hal ini sesuai dengan hakekat keberadaan militer yang memang dididik, dilatih, dan dipersiapan untuk perang, serta tidak didesain untuk menduduki jabatan-jabatan sipil yang lebih berorientasi pada pelayanan.

"Penempatan militer di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara bukan hanya salah, akan tetapi juga akan memperlemah profesionalisme militer itu sendiri," kata dia.

"Profesionalisme dibangun dengan cara meletakkan dia dalam fungsi aslinya sebagai alat pertahanan negara dan bukan menempatkannya dalam fungsi dan jabatan sipil lain yang bukan merupakan kompetensinya," imbuh dia.

5. Masalah yuridiksi bagi prajurit terlibat pidana, berpotensi bakal tarik-menarik

Ilustrasi pasukan perang dunia(pexels.com/Somchai Kongkamsri)
Ilustrasi pasukan perang dunia(pexels.com/Somchai Kongkamsri)

Lebih lanjut, Gufron menjelaskan, dampak lain penempatan perwira TNI aktif pada jabatan sipil adalah timbulnya tarik menarik kewenangan atau yuridiksi perwira yang terlibat tindak pidana, termasuk korupsi. Apakah diadili di peradilan umum atau peradilan militer.

Pasalnya, hingga saat ini belum ada revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Berdasarkan UU tersebut, prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer dan tindak pidana umum diadili di peradilan militer. 

"Ini tentu menghambat upaya penegakan hukum terhadap prajurit TNI yang ada di jabatan sipil ketika terlibat dalam tindak pidana," ujar dia.

Karena itu, Gufron menegaskan, Imparsial mendesak kepada DPR RI dan pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. 

DPR RI periode 2019-2024 tidak lama lagi akan berakhir sehingga pembahasannya akan minim partisipasi publik. Begitu pun usulan perubahan bertentangan dengan prinsip negara demokrasi dan memundurkan reformasi TNI.

DPR dan pemerintah, kata dia, fokus saja mendorong agenda reformasi TNI yang selama ini tertunda. Seperti membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer, dan restrukturisasi komando teritorial (koter), serta melakukan evaluasi dan koreksi secara menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI. 

"Imparsial mendesak kepada DPR RI dan pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi UU TNI," ujar dia.

6. Baleg masih menunggu surat presiden

Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas bantah RUU TNI untuk kembalikan Dwifungsi TNI. (IDN Times/Amir Faisol)
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas bantah RUU TNI untuk kembalikan Dwifungsi TNI. (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara itu, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Atgas, mengatakan, Baleg saat ini belum menindaklanjuti pembahasan keempat RUU itu setelah disahkan di tingkat II oleh Pimpinan DPR.

Baleg, kata dia, saat ini masih menunggu surat presiden (surpres) untuk menanggapi surat DPR terhadap keempat RUU tersebut. Bila sesuai mekanismenya, presiden memiliki waktu 60 hari untuk mengirimkan surpres.

"Surpres wajib dikirim ke DPR itu paling lama 60 hari bahwa apakah isinya setuju itu nanti di pembahasan. Siapa tahu presiden tolak semua. Kan kita gak ngerti. Sekarang tanya ke Istana,” kata dia.

7. Polemik putusan MA untuk muluskan jalan Kaesang di Pilkada Jakarta?

Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep gelar jumpa pers di Kantor DPP PSI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep gelar jumpa pers di Kantor DPP PSI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Belum usai revisi sejumlah undang-undang, MA mendadak putuskan PKPU Nomor 9 Tahun 2020 yang dilayangkan Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana. Dia melayangkan gugatan terkait Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota, mengenai ketentuan syarat usia minimal calon gubernur 30 tahun saat ditetapkan sebagai paslon.

"Mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: Partai Garda Republik Indonesia (Partai Garuda)," demikian bunyi putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024 di laman Kepaniteraan MA, Kamis (30/5/2024).

Dalam putusan itu, MA menyatakan Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. PKPU itu mengatur syarat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur ialah berusia paling rendah 30 tahun terhitung sejak penetapan pasangan calon.

MA mengungkapkan Pasal 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "...berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih".

Dengan demikian, aturan batas usia minimal kepala daerah itu dihitung sejak yang bersangkutan dilantik sebagai calon terpilih, bukan lagi saat ditetapkan sebagai paslon.

Oleh sebab itu, MA meminta kepada KPU RI mencabut aturan dalam Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9, tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Walikota dan Wakil Walikota tersebut.

Pakar Hukum Pemilu dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah tidak bisa diberlakukan pada Pilkada 2024.

MA diketahui mengabulkan uji materi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020, khususnya Pasal 4. Dengan dikabulkannya gugatan itu, aturan batas usia minimal kepala daerah dihitung sejak yang bersangkutan dilantik sebagai calon terpilih, bukan lagi saat ditetapkan sebagai paslon.

Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) itu menyebut, putusan MA tersebut tidak bisa diberlakukan karena tahapan Pilkada 2024 sudah berlangsung.

"Putusan MA soal penghitungan usia calon gubernur terhitung minimal 30 tahun saat pelantikan, tidak bisa diberlakukan pada Pilkada 2024. Sebab tahapan pencalonan sudah berlangsung dengan calon perseorangan yang sudah menyerahkan syarat dukungan, dan sedang dilakukan verifikasi administrasi," kata Titi dalam keterangannya, Kamis (30/5/2024).

Bahkan, kata Titi, bakal calon perseorangan telah menyerahkan syarat dukungan untuk Pilkada 2024 berdasarkan Keputusan KPU Nomor 532 Tahun 2024, tentang Pedoman Teknis Pemenuhan Syarat Dukungan Pasangan Calon Perseorangan Pilkada 2024 pada 7 Mei 2024. Penyerahan syarat dukungan itu masih menginduk pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.

Dengan demikian, harusnya PKPU Nomor 9 Tahun 2020 masih relevan dan digunakan dalam Pilkada 2024.

"Artinya, rangkaian proses pencalonan jalur perseorangan dilakukan dengan keberlakuan syarat usia yang masih menggunakan ketentuan berusia paling rendah 30 tahun untuk cagub atau cawagub, dan 25 tahun untuk calon di Pilkada kabupaten atau kota 'terhitung sejak penetapan pasangan calon'," ungkap Titi.

Sementara, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai putusan MA Nomor 23/P/HUM/2024, merupakan sebuah kekecauan di dunia hukum.

Sebab, menurut Feri, tidak ada yang keliru dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020 itu mengenai calon pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan atau wali kota dan wakil wali kota. Dalam PKPU tersebut tertulis untuk bisa menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, minimal berusia 30 tahun. 

"Apa yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) betul-betul bermasalah. Tidak membaca undang-undang kah mereka? Apakah mereka tidak paham konsep judicial review (JR) terhadap PKPU atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang?" ujar Feri ketika dihubungi, Kamis (30/5/2024).

"Bahwa apa yang sudah diatur di dalam undang-undang kalau sudah berkesesuaian dengan peraturan di bawah undang-undang, seperti PKPU, maka dia tidak ada masalah," tegasnya. 

PKPU sebelumnya adalah aturan teknis yang tidak melabrak ketentuan undang-undang mengenai pemilihan kepala daerah tahun 2016. Oleh sebab itu, pemeran film dokumenter Dirty Vote tersebut menilai putusan MA itu bukan cerminan tidak paham.

Melainkan, kata Feri, diduga kuat ada kesengajaan, dalam rangka kisah masa lalu, di mana 'anak raja' dapat menabrak undang-undang. Sehingga, proses Pilpres 2024 bisa berlangsung sesuai dengan kehendak Istana. 

"Kali ini terjadi lagi. Menurut hemat saya, bila motifnya memang politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari? Kenapa baru jelang pertandingan lagi, seolah tidak berhenti menyiksa perasaan politik publik," tutur dia. 

Putusan MA, kata Feri, dianggap semakin melukai perasaan publik di tengah kemunculan rancangan aturan yang kontroversial. Mulai dari revisi UU Penyiaran, revisi UU MK, hingga Peraturan Pemerintah (PP) soal tabungan perumahan rakyat (Tapera). 

Diketahui, putusan MA itu berdampak kepada batas waktu penghitungan usia bakal calon kepala daerah. Semula, KPU mengatur usia bakal calon kepala daerah dihitung pada saat penetapan calon tersebut sebagai kandidat yang akan berlaga di Pilkada 2024. Tetapi, MA mengubahnya hingga usia bakal calon kepala daerah dihitung pada saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif. 

Momen putusan itu terjadi bersamaan dengan isu Kaesang Pangarep digadang-gadang maju pada Pilkada Jakarta 2024. Namun, bila mengacu PKPU, usia Kaesang belum cukup. Saat penetapan sebagai calon, usianya baru menginjak 29 tahun. Feri pun menduga putusan MA itu untuk mengakomodir keinginan politik Istana.

"Siapa yang hendak disasar lewat pembatalan (PKPU) ini? Siapa yang diuntungkan lewat putusan ini? Desas-desusnya itu adalah Kaesang, karena dia belum berusia 30 tahun dan perlu untuk mendapatkan kesempatan maju dalam kontestasi Pilkada di kemudian hari," tutur dia. 

Menurut Feri, putusan itu akan menjadi preseden serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, kata dia, praktik dalam bernegara disesuaikan kepada kesukaan seseorang. 

"Tidak mungkin peraturan sekadar diubah hanya untuk membuka pintu bagi kepentingan orang-orang lain," katanya. 

Di sisi lain, putusan MA ini hanya memerlukan waktu tiga hari untuk mengubah aturan batas minimal usia kepala daerah sejak diproses pada 27 Mei, dan diputus pada 29 Mei 2024.

Juru bicara MA, Suharto, menjelaskan cepatnya MA memproses uji materi terkait batas usia calon kepala daerah ini, sudah jadi asas ideal sebuah lembaga peradilan.

"Asas ideal itu salah satunya cepat. Karena asasnya pengadilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jadi cepat itu yang ideal," ujar Suharto ketika dikonfirmasi, Kamis (30/5/2024).

Partai Garuda sendiri menepis alasan mereka menggugat PKPU demi kepentingan politik Kaesang Pangarep jelang Pilkada Jakarta 2024. Mereka berdalih agar ada regenerasi kepemimpinan di dunia politik.

Diketahui, alasan serupa juga pernah dilakukan Almas Tsaqibbirru, ketika menggugat batas usia capres dan calon wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK) jelang Pilpres 2024. 

"Ini untuk Indonesia ke depan. Diisi oleh para generasi muda," ujar Wakil Ketua Umum Partai Garuda, Teddy Gusnaidi, ketika dikonfirmasi, Jumat (31/5/2024). 

Teddy menegaskan gugatan soal batas usia yang diajukan tersebut tidak semata-mata demi kepentingan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep. Apalagi, nama Kaesang kini sedang digadang-gadang mendampingi Budi Djiwandono di Pilkada Jakarta. 

"(Gugatan) untuk semua. Bukan hanya demi Mas Kaesang. Ini kan juga sama ketika kami melakukan gugatan ke MK terkait batas umur capres dan cawapres. Ketika itu seolah-olah diarahkan hanya untuk Mas Gibran," tutur dia.

Teddy menyebut, Pilkada 2024 dilakukan secara serentak di seluruh Indonesia. Sehingga tuduhan bahwa gugatan itu diajukan Partai Garuda demi kepentingan Kaesang, tidak masuk akal.

Senada, Sekretaris Jenderal Partai Garuda, Yohanna Murtika, beralasan partai tempatnya bernaung mengajukan permohonan perubahan batas usia cagub ke MA agar anak muda tidak dibatasi ketika beraktivitas di dunia politik. Partai Garuda, kata dia, mendorong agar anak muda diberi kesempatan yang sama dalam berpolitik praktis. 

"Kami dari Partai Garuda yang memiliki mayoritas anak-anak muda, sudah jelas memiliki tujuan bagaimana anak-anak muda ini bisa memiliki kesempatan yang sama. Jangan sampai ruang anak muda dibatasi oleh usia," ujar Yohanna kepada media di Jakarta, kemarin. 

Menurut Yohanna, saat ini anak muda cenderung apatis terhadap politik, karena untuk bisa terjun ke dunia politik dibatasi usia. 

"Alhasil, mereka tidak mau tahu karena mereka selalu dikerdilkan. Salah satunya disebabkan masalah usia," tutur dia. 

8. Tuduhan Presiden Jokowi melanggar hukum tidak terbukti

Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan saat ditemui di Gedung MK (1/4/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan saat ditemui di Gedung MK (1/4/2024) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Pada kesempatan berbeda, Ketua Tim Kuasa Hukum Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Otto Hasibuan, menegaskan tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada Presiden Jokowi bahwa sang Presiden dan keluarganya seolah-olah melakukan hal yang melanggar hukum, tidaklah benar. Buktinya, tiga gugatan terhadap Jokowi tidak dikabulkan di peradilan.

Otto mengatakan, putusan-putusan pengadilan itu menjadi landasan penting agar masyarakat jangan lagi percaya terhadap narasi-narasi yang berkembang terkait Jokowi dan keluarganya, yang seakan-akan melakukan hal yang melanggar hukum.

"Kami mengambil manfaat yang positif. Putusan ini justru memberikan amunisi dan argumen yang kuat bagi Bapak Jokowi dan keluarga bahwa apa yang dituduhkan selama ini sungguh tidak terbukti," kata Otto, di Jakarta, Senin (3/6/2024).

Adapun tiga perkara gugatan yang ditujukan kepada Jokowi, yakni gugatan melalui PTUN yang menuduh Jokowi melakukan politik dinasti. Menurut Otto, gugatan tersebut dinyatakan tidak diterima di PTUN.

Kedua, gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait tuduhan ijazah palsu Jokowi. Gugatan itu pun, kata Otto, dinyatakan tidak dapat diterima oleh majelis hakim pengadilan.

Ketiga, ada pihak yang menggugat bahwa Jokowi telah melakukan perbuatan hukum, karena tidak menghalangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2024.

"Bagi hukum sah mereka mengajukan gugatan, tapi gugatan ini tidak terbukti sama sekali," kata Otto.

Untuk itu, Ott mengajak masyarakat tidak lagi menuduh Jokowi atau keluarganya melakukan perbuatan yang melawan hukum. Selain itu, dia mengatakan, semestinya tuduhan-tuduhan lainnya juga gugur setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil pemilu (PHPU).

"Semuanya itu dibuktikan dalam persidangan yang begitu ketat, bagaimana ngototnya mereka. Tapi puji Tuhan hari ini semuanya sudah berakhir," kata dia.

Adapun gugatan ke PTUN Jakarta diajukan oleh Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Mereka menggugat Jokowi dan keluarganya soal kasus dugaan nepotisme dan dinasti politik.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
Rochmanudin Wijaya
3+
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us