Rujak Center: Ada 200 Kaveling HGB di Laut Tangerang

- Lebih dari 200 bidang di Tangerang memiliki HGB namun masih di atas air
- Penerbitan HGB seharusnya melalui proses reklamasi terlebih dahulu, namun dalam kasus ini tanah di laut belum diuruk
Jakarta, IDN Times - Direktur dari Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengaku heran adanya lebih dari 200 bidang di wilayah laut di Tangerang yang sudah dikaveling dan memiliki Hak Guna Bangunan (HGB).
Kejanggalan ini ditemukan melalui analisis data dari Bhumi, platform visualisasi peta pertanahan milik Kementerian ATR/BPN.
“HGB ini sudah jelas berada di atas laut. Berdasarkan data, ada sekitar 200 bidang yang sudah dikaveling dengan status HGB, padahal posisinya masih di atas air,” ungkap Elisa saat dihubungi IDN Times, Minggu (19/1/2025).
1. HGB tanpa proses pengurukan

Elisa menjelaskan, penerbitan HGB seharusnya melalui proses reklamasi terlebih dahulu. Setelah tanah diuruk, hak pengelolaan diterbitkan oleh pemerintah, baru kemudian diberikan HGB kepada pengembang. Namun, dalam kasus ini, tanah di laut belum diuruk, tetapi sudah memiliki HGB.
“Ini tidak lazim. HGB adalah Hak Guna Bangunan, yang artinya ada rencana bangunan di atasnya. Bagaimana mungkin bangunan bisa direncanakan di atas laut tanpa pengurukan terlebih dahulu?” ucap Elisa.
2. Masterplan mirip pengembang PIK 2

Dari hasil analisis, Elisa menyebutkan, pola bidang tanah yang sudah dikaveling ini menyerupai masterplan salah satu pengembang besar di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Dari prospektus perusahaan anak PIK 2 yang baru melantai di bursa, terlihat bahwa bentuk bidang tanahnya mirip dengan sisi barat laut dari master plan pengembang tersebut,” jelasnya.
3. Pemerintah semestinya sudah tahu

Elisa juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN. Ia menilai, dashboard Bhumi yang digunakan oleh kementerian tersebut sudah cukup untuk melacak data lengkap terkait penerbitan HGB, termasuk siapa pengajunya dan kapan diajukan.
“Dashboard Bhumi yang sama digunakan hingga level menteri. Data ini seharusnya transparan dan mudah diakses, tetapi pemerintah justru mengaku tidak tahu, padahal ini jelas kejanggalan besar,” kritik Elisa.