Saldi Isra Dilaporkan ke Dewan Etik MK Gegara Ucapan Bingung

Jakarta, IDN Times - Hakim konstitusi Saldi Isra dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) oleh sejumlah orang yang menamakan diri Komunitas Advokat Lingkar Nusantara (LISAN) pada Kamis (19/10/2023).
Alasannya, Saldi diduga melanggar kode etik ketika membacakan dissenting opinion dalam sidang gugatan ambang batas usia untuk menjadi capres dan cawapres.
Wakil Ketua Umum LISAN, Ahmad Fatoni, menyebut Saldi telah menyebarkan informasi yang sifatnya subyektif dan menyudutkan hakim konstitusi lain. Selain itu, ucapan Saldi yang mengaku bingung terhadap putusan hakim konstitusi lainnya dianggap tendensius.
"Biasanya dalam suatu putusan perkara, hakim mempertimbangkan dari aspek yuridis, di mana aspek yuridis ada dasar-dasar hukum yang disampaikan, kalaupun ada perbedaan pendapat. Di sini kita melihat bahwa tidak ada dasar-dasar hukum yang disampaikan tetapi malah menyindir hakim konstitusi lain," ujar Ahmad ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Jumat (20/10/2023).
Ia menambahkan, hakim konstitusi yang disindir oleh Saldi adalah Ketua MK Anwar Usman.
"Menurut kami tidak pantas sesama hakim konstitusi bersikap seperti itu. Karena kalau melihat kode etik MK nomor 9 tahun 2006 mengenai kesopanan dan kepantasan. Seharusnya di antara hakim konstitusi harus saling menjaga," kata dia.
Ia kembali menegaskan seandainya ada perbedaan pendapat dalam memutus suatu perkara, seharusnya dasar yang digunakan adalah aspek yuridis atau hukum. Bukan malah menggiring opini publik.
1. Saldi Isra dituduh menggiring opini ketika mengaku bingung putusan MK bisa berubah

Ahmad mengatakan pernyataan Saldi yang mengaku bingung putusan MK bisa berubah dalam hitungan hari terkait ambang batas usia, dinilai menggiring opini publik.
"Jadi, menyatakan ada keanehan, kebingungan malah menurut kami menggiring opini," kata dia.
Ia menambahkan, sejauh ini masih menduga Saldi telah melakukan pelanggaran kode etik. Itu sebabnya mereka membuat laporan dengan dugaan pelanggaran kode etik.
"Nanti, silakan mahkamah etik dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menilai apakah benar ada pelanggaran atau tidak," tutur dia lagi.
Ia juga menjelaskan alasan memasukkan laporan dugaan pelanggaran kode etik terhadap Saldi Isra pada Kamis kemarin. Sebab, semua mata publik ketika itu tertuju ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kami melihat ada perbedaan pendapat itu dan menjadi viral, ada videonya jadi kayak ada kegaduhan saja," katanya.
2. LISAN melaporkan Saldi Isra atas inisiatif pribadi

Sementara, Ahmad menepis anggapan pelaporan tersebut dilakukan atas kepentingan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka atau Istana. Ia menegaskan pelaporan itu dilakukan atas inisiatif LISAN pribadi.
"Ini inisiatif dari LISAN karena kami melihat bahwa kok dalam memutus perkara, hakim memiliki perbedaan pendapat dengan cara seperti ini yang digunakan," ujar Ahmad.
Ia mengharapkan agar Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) menindaklanjuti laporan mereka dan bisa memeriksa Saldi Isra.
"Seandainya benar adanya dugaan pelanggaran kode etik yang semestinya ada sanksi. Itu sih harapan kami. Tapi, kami serahkan ke Dewan Etik MK untuk memeriksa apakah ada sanksi atau tidak," tutur dia.
3. Saldi bingung putusan MK bisa berubah dalam waktu dua hari

Sebelumnya, Saldi Isra ketika membacakan perbedaan pendapat terkait gugatan ambang batas usia untuk bisa menjadi capres dan cawapres, sempat mengaku bingung. Ia bingung karena putusan MK bisa berubah hanya dalam waktu dua hari.
"Bahwa berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini. Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat," kata Saldi pada Senin (16/10/2023) di gedung MK.
"Sebelumnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Padahal, sadar atau tidak, ketiga putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari," tutur dia lagi.