Nyapres 2024, Prabowo Tak Akan Mundur dari Kursi Menhan

Jakarta, IDN Times - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gerindra DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan Prabowo Subianto tidak akan mengundurkan diri dari posisi Menteri Pertahanan jelang Pemilu 2024. Riza menegaskan Prabowo bisa membagi waktunya dengan baik sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) dan ketua umum parpol.
"Itu bedanya Beliau sebagai negarawan dan politisi. Kalau (bertugas) sebagai politisi yang dipikirkan apa, semua waktu, jiwa raga, energinya untuk kepentingan pribadinya. Atau kepentingan pencapresannya atau kepentingan partainya. Tapi, karena Beliau orangnya memenuhi komitmen dan konsistensi tinggi, amanah sebagai Menhan sejak 2019 ya dijalankan," ungkap Riza menjawab pertanyaan IDN Times di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Hasilnya, kata Riza, terlihat di berbagai survei, Prabowo diklaim sebagai menteri dengan kinerja terbaik pada 2019 hingga 2024. Ia memastikan mantan Danjen Kopassus itu akan mendahulukan kepentingan negara.
"Jadi, kalau ada undangan dari relawan untuk hadir, tetapi pada waktu bersamaan Beliau harus pergi ke satu negara karena misi pertahanan Indonesia, Beliau akan pilih ke mana? Ya, pilih tugas di luar negeri. Tapi, bukan karena ingin jalan-jalan," tutur dia.
Oleh sebab itu, Riza meminta maaf seandainya para relawan mengundang kehadiran Prabowo, namun ia absen. Prabowo memiliki tanggung jawab lebih besar yakni demi bangsa dan negara.
1. Sikap Prabowo yang tidak bersedia mundur tak bertentangan dengan konstitusi

Sementara, bila merujuk ke aturan yang ada, sikap Prabowo yang menolak mundur dari kursi Menhan meski kini sibuk proses pencapresan, tidak melanggar konstitusi. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima sebagian dari permohonan Partai Garuda yang pada intinya membolehkan menteri tidak mundur dari jabatannya seandainya mereka mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
Putusan itu tertuang dalam perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garuda. Sebelumnya, pada Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017, setiap pejabat negara wajib mengundurkan diri dari jabatannya saat hendak nyapres.
Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil walkota.
MK kemudian memutus gugatan yang diajukan Partai Garuda pada akhir Oktober 2022. Hakim MK kemudian menambahkan menteri dan pejabat setingkat menteri sebagai jabatan yang dikecualikan, agar tak perlu mundur bila hendak maju dalam Pilpres. Namun, menteri itu wajib mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.
2. Tak semua pejabat setingkat menteri dapat pengecualian dari keharusan mundur

Meski begitu, MK menyatakan tidak semua pejabat setingkat menteri dikecualikan dari kewajiban mundur dari posisinya, seandainya ikut dalam pilpres. Ada delapan kategori pejabat setingkat menteri yang tetap harus mengundurkan diri saat ikut kontestasu pilpres.
Posisi tersebut yakni ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung Mahkamah Agung; ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc; serta ketua, wakil ketua, anggota MK.
Kemudian ketua, wakil ketua, dan anggota BPK; ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; serta ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, ada kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh. Ada pula pejabat lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
3. Menteri yang ikut nyapres dinilai tak lagi fokus bekerja, sebaiknya mundur

Sementara, dalam pandangan pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menteri-menteri yang dipastikan ikut dalam kontestasi Pemilu 2024, sudah tak lagi fokus bekerja sejak 2022. Apalagi tahapan pemilu sudah dimulai sejak Juni 2022.
"Ini kan sudah masuk tahun politik, sudah main masing-masing dan menggunakan manuvernya masing-masing untuk kepentingan parpol masing-masing," ungkap Ujang ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada April 2022.
Itu sebabnya, pada periode pertama menjabat, Jokowi pernah melarang menteri tak boleh merangkap posisi ketua umum partai politik. Tujuannya agar fokus bekerja.
Namun, sikap Jokowi itu berubah memasuki periode kedua ia menjabat. Hal itu, kata Ujang, untuk mengakomodasi masuknya Golkar ke dalam partai koalisi. Pada periode pertama, Golkar terlihat dekat dengan Partai Gerindra.
Setidaknya ada tiga menteri yang juga merangkap jabatan sebagai menteri yakni Airlangga Hartarto (Ketua Umum Partai Golkar), Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra), dan Zulkifli Hasan (Ketua Umum PAN).
Ujang menyarankan, Jokowi mengganti para menteri yang merangkap jabatan ketua umum. Apalagi, bila menteri itu sudah terbukti berniat ingin maju di Pemilu 2024. Ia menyarankan menteri diisi kader parpol yang tidak menjabat posisi ketua umum.
"Supaya yang jadi ketum parpol itu bisa fokus berkampanye dan menteri dari kader parpol bisa fokus bekerja," tutur dia.
Baca berita terbaru terkait Pemilu 2024, Pilpres 2024, Pilkada 2024, Pileg 2024 di Gen Z Memilih IDN Times. Jangan lupa sampaikan pertanyaanmu di kanal Tanya Jawab, ada hadiah uang tunai tiap bulan untuk 10 pemenang.