Seruan Purnawirawan TNI Balik ke UUD Asli Tak Sejalan dengan Reformasi

- Pakar Hukum Tata Negara mengingatkan bahayanya aspirasi untuk kembali ke UUD 1945 asli karena mekanisme pemilihan presiden akan berubah.
- Aspirasi tersebut dianggap bertentangan dengan konsep reformasi, menunjukkan ketidakpahaman konstitusi, dan akan mundur dari naskah awal UUD 1945.
- Sejumlah pihak mengusulkan agar poin pertama dalam seruan purnawirawan TNI dihapus dan fokus pada perjuangan lain yang lebih didukung oleh publik.
Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengingatkan bahayanya poin pertama di dalam seruan purnawirawan TNI yang disampaikan pada 17 April 2025 lalu di Kelapa Gading. Poin pertama dari delapan tuntutan itu berisi aspirasi agar Indonesia kembali mengadopsi UUD 1945 asli sebagai tata hukum politik dan tata tertib pemerintahan. Padahal, dampaknya bila poin pertama itu dipenuhi maka mekanisme pemilihan presiden tidak lagi melalui pemilu, tetapi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Selain itu, presiden yang sama bisa terpilih berkali-kali," ujar Feri kepada IDN Times melalui telepon, Kamis (8/5/2025).
Artinya, presiden yang sama bisa menduduki posisi tersebut lebih dari dua periode. Ia menambahkan, kembali ke UUD 1945 sebelum proses amandemen juga sejalan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Gerindra.
"Gagasan kembali ke UUD 1945 (sebelum diamandemen) berseberangan dengan konsep reformasi. Kedua, menunjukkan ketidakpahaman konstitusi dan ketiga, mengembalikan ke naskah awal UUD 1945 artinya kita akan mundur atau setback. Selain itu, kita akan menentang para pendiri bangsa Indonesia," imbuhnya.
Meski begitu, Feri menghargai aspirasi yang disampaikan oleh para purnawirawan TNI. Sebab, siapapun berhak untuk berpendapat di negara demokrasi ini.
"Tetapi, tuntutan itu nyeleneh lah dan yang merusak tuntutan, sudah terlihat dari poin nomor satu," katanya.
1. Feri usulkan agar poin pertama di dalam tuntutan Purnawirawan TNI diganti

Lebih lanjut, Feri mengusulkan agar poin pertama di dalam delapan seruan segera dihapus dan fokus kepada perjuangan lain yang berpeluang untuk didukung penuh oleh publik, terutama kalangan akademisi.
Pria yang juga berperan di film dokumenter 'Dirty Vote' itu menduga, implementasi dari kembali ke naskah awal UUD 1945 yakni mengembalikan instansi kepolisian di bawah TNI. Sehingga, kembali ke konsep ABRI di era Orde Baru.
"Menurut saya tidak sehat. Kalau mau memperbaiki kepolisian, bukan dengan cara mengembalikan mereka di bawah TNI. Tetapi, memastikan semua matra berjalan secara profesional. Semua diperbaiki tingkat kesejahteraannya, profesional angkatannya, dan potensi penyimpangannya diperbaiki," katanya.
Ia pun menilai, kini kewenangan TNI sudah melebar dari tugas awalnya untuk menjaga pertahanan negara. Sebab, mereka pun ikut terlibat dalam penangkapan bandar narkotika.
"Poin nomor satu itu (di dalam tuntutan purnawirawan), semangatnya soal memastikan empat matra bergabung menjadi ABRI lagi dan itu salah besar. Seharusnya dibangun profesionalitasnya bukan kemudian kembali ke naskah awal UUD 1945," tutur dia.
2. Imparsial duga ada motif politik di balik seruan kembali ke naskah awal UUD 1945

Sementara, Wakil Direktur Imparsial, Husein Ahmad, mengaku tak habis pikir mengapa bisa terselip tuntutan untuk kembali ke naskah awal UUD 1945 di dalam tuntutan para purnawirawan TNI. Ia menduga di balik seruan para purnawirawan TNI tersebut memiliki motif politik.
"Selama ini, bila ada seruan agar kembali ke naskah awal UUD 1945, selalu motifnya politis. Misalnya, supaya pembatasan masa jabatan presiden dihapuskan, batas yang jelas antara legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi kabur. Selalu pasti motifnya politik untuk kepentingan jangka pendek," ujar Husein kepada IDN Times di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu kemarin.
Ia pun menduga seruan dari para purnawirawan TNI tidak akan ditanggapi secara serius. Pertama, karena isi tuntutannya absurd, kedua, jalur politik yang ditempuh tidak secara normal.
"Misalnya seruan itu disampaikan ke DPR lalu DPR membuat rapat untuk membahas itu," katanya.
3. Purnawirawan TNI akan minta waktu bertemu anggota DPR

Sementara, mantan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko, menyadari untuk bisa mewujudkan seruan purnawirawan TNI harus melalui jalur politik formal yakni lewat DPR. Maka, para purnawirawan TNI akan meminta waktu untuk bisa bertemu anggota DPR.
"Kami akan meminta waktu untuk bisa tatap muka dengan DPR dan memberi penjelasan bahwa proses formal penetapan Gibran (sebagai wakil presiden) itu melanggar hukum. Kami punya tim lawyer dan sudah menyiapkan data-data hukum," ujar Soenarko yang dikutip dari akun YouTube, Kamis (8/5/2025).
Harapannya, ketika DPR sudah mendengar pernyataan dari para purnawirawan TNI maka parlemen akan memanggil Mahkamah Konstitusi (MK). "Setelah itu ya kami serahkan ke MPR (untuk proses memakzulkan wakil presiden)," katanya.