SETARA Desak Polri Atur Penggunaan Senjata Api di Kepolisian

- SETARA Institute mendesak Polri mengatur akuntabilitas penggunaan senjata
- Penembakan melibatkan personel Polri menunjukkan empat isu krusial di Polri
Jakarta, IDN Times - SETARA Institute mendesak Polri segera mengatur akuntabilitas penggunaan senjata di lembaganya. Hal itu dipicu sejumlah peristiwa penembakan yang melibatkan personel Polri dengan warga sipil atau sesama personel kepolisian.
SETARA Institute menyoroti dua peristiwa penembakan. Pertama, penembakan yang dilakukan Kepala Bagian Ops Polres Solok Selatan, AKP Dadang Iskandar kepada sesama kolega Polri, AKP Ryanto Ulil Anshar pada 22 November 2024.
Kedua, penembakan yang dilakukan Bripka R terhadap pelajar SMKN 4 Semarang, GRO di Semarang pada 25 November. Dua peristiwa ini menyebabkan korban tewas terjadi dalam satu pekan.
"Insiden-insiden penembakan ini menegaskan urgensi pengaturan akuntabilitas penggunaan senjata api di tubuh Polri," ujar peneliti HAM dan sektor keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, dalam keterangan tertulis, Selasa (26/11/2024).
Peristiwa penembakan yang melibatkan personel Polri menunjukkan empat dari 130 isu krusial yang ada di Polri. Ratusan isu itu, kata Ikhsan, merupakan bagian dari merancang desain transformasi Polri 2024.
"Empat isu itu yakni akuntabilitas penggunaan senjata api, kesehatan mental aparat, bisnis keamanan dan pembinaan sumber daya manusia Polri," kata dia.
1. Kapolri didesak bertindak tegas ke anggotanya yang gunakan senjata api berlebihan

Ikhsan mengatakan, SETARA Institute mendorong Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo menindak tegas jajarannya yang menggunakan senjata api secara berlebihan dan di luar peruntukannya.
Penggunaan senjata api secara internasional telah diatur di dalam Resolusi Majelis Umum PBB nomor 34/169 mengenai kode etik untuk petugas penegak hukum yang diadopsi UN Congress pada 1990.
"Ketentuan internasional tersebut menekankan prinsip legalitas, nesesitas (keperluan), proporsionalitas dan akuntabilitas dalam penggunaan senjata api," kata Ikhsan.
Selain itu, kata dia, insiden penembakan yang terjadi di waktu berdekatan menunjukkan personel Polri, terutama di daerah belum satu padu untuk mendorong transformasi Polri menuju visi Indonesia 2045.
Padahal, hal itu merupakan komitmen Kapolri dan jajaran di tingkat Mabes Polri untuk mendorong supremasi hukum serta penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan.
"Untuk bisa menuju ke sana, maka dibutuhkan internalisasi prinsip-prinsip HAM pada SDM Polri dan penegakan hukum yang berkualitas melalui aparat penegak hukum yang kompeten," kata dia.
2. Perhatian terhadap kesejahteraan personel Polri masih minim

Poin lain yang disoroti oleh SETARA Institute yakni soal minimnya perhatian terhadap kesejahteraan anggota Polri. Realita itu, kata Ikhsan, mendorong sebagian anggota Polri untuk mengembangkan bisnis-bisnis ilegal.
"Dalam hal ini termasuk jasa pengamanan bisnis seperti yang menjadi latar belakang penembakan personel polisi di Solok Selatan, Sumatra Barat," kata dia.
Itu sebabnya, SETARA Institute mendorong keterbukaan motif penembakan yang terjadi di kantor Polres Solok Selatan.
"Keterbukaan motif penembakan yang pada pokoknya adalah bisnis pengamanan dan kemungkinan terlibat dalam bisnis ilegal adalah fenomena gunung es yang sesungguhnya terjadi di berbagai tempat," ujar dia.
Ikhsan mendorong agar isu ini menjadi prioritas penataan institusi oleh Jenderal Sigit. Sebab, Polri didesak untuk melakukan transformasi institusi untuk bisa mendukung kemajuan Indonesia menuju 2045.
3. Isu kesehatan mental anggota perlu jadi perhatian pimpinan Polri

SETARA Institute juga mengingatkan pimpinan di Mabes Polri untuk memperhatikan isu kesehatan mental para anggotanya. Bila isu itu diatasi, maka diyakini bisa mencegah penggunaan senjata api berlebihan.
"Temuan SETARA Institute bahwa kesehatan mental menjadi kebutuhan yang kurang mendapat perhatian dan pembinaan. Kondisi ini rentan mempengaruhi anggota kepolisian dalam bekerja," kata Ikhsan.
Bila isu kesehatan mental tidak segera ditangani maka dikhawatirkan akan memicu tindakan-tindakan yang tidak proporsional.