Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Setara Minta DPR Pertimbangkan Untung-Rugi Tambah Usia Pensiun TNI

Ilustrasi prajurit TNI. (IDN Times/M.Idris)
Intinya sih...
  • Usia pensiun prajurit TNI direvisi dari 58 tahun menjadi 62 tahun untuk perwira tinggi, dan dari 53 tahun menjadi 58 tahun untuk bintara dan tamtama.
  • Direktur riset Setara Institute, Ismail Hasani meminta agar dipertimbangkan cost and benefit analysis terkait penambahan usia pensiun prajurit TNI.
  • Ismail juga menyoroti seringnya konflik antara Polri dan TNI serta menekankan pentingnya pembaharuan undang-undang terkait kebijakan militer.

Jakarta, IDN Times - Direktur riset Setara Institute, Ismail Hasani mengingatkan komisi I DPR untuk mempertimbangkan secara menyeluruh bila ingin mengubah masa pensiun prajurit TNI. Berdasarkan draf UU TNI yang akan direvisi, usia pensiun prajurit TNI ditambah dari semula 58 tahun menjadi 62 tahun untuk anggota TNI level perwira tinggi.

Kemudian, usia pensiun bertambah dari 53 tahun menjadi 58 tahun untuk anggota TNI level bintara dan tamtama. Ismail meminta agar dipertimbangkan cost and benefit bila ingin menambah masa pensiun prajurit TNI. 

"Saya ingatkan penting untuk dikaji cost and benefit analysis. Penting juga untuk dikaji batasan usia (pensiun) ini seandainya diadopsi. Apakah usia (pensiun) 62 tahun, ya kalau politisi di usia 62 tahun justru lagi matang-matangnya," ujar Ismail ketika menggelar rapat kerja dengan komisi I DPR dan dikutip dari YouTube pada Rabu (5/3/2025). 

Sementara, bagi prajurit TNI dan personel Polri di usia 62 tahun sudah tak lagi memiliki fisik yang prima. Sehingga, kebutuhannya berbeda. 

"Untuk guru besar di kampus, memang usia pensiunnya bisa sampai 70 tahun. Tapi, kan mereka lebih sering duduk dan ngomong. Mereka tidak butuh energi atau aktivitas fisik yang banyak," tutur dia. 

Selain itu, Ismail juga menyinggung dengan penambahan usia pensiun diharapkan tidak mengganggu anggaran negara. Sebab, penambahan usia pensiun berpengaruh secara langsung kepada gaji dan fasilitas yang diterima. 

"Sehingga, ke depan tidak mengganggu politik anggaran," katanya. 

1. 37 peristiwa konflik TNI-Polri disebabkan ketimpangan kesejahteraan

Seorang personel Subdenpom di Kota Tarakan, Kaltara melakukan olah tempat kejadian perkara usai insiden penyerbuan Mapolres Tarakan pada Senin kemarin. (ANTARA FOTO/Susylo Asmalyah)

Lebih lanjut, Ismail turut menyinggung soal seringnya konflik antara Polri dan TNI terjadi. Insiden terbaru terjadi penyerangan markas Polres Tarakan yang dilakukan oleh puluhan anggota Yonif 614/YJP pada 22 Februari 2025 lalu. Sebanyak enam personel kepolisian terluka akibat insiden penyerangan itu. 

"Kalau kita deteksi dari konflik-konflik di permukaan yang ada di garda depan, misalnya di level kabupaten hingga kecamatan. Konflik-konflik ini kan bisa kita tangkap betul kenapa selama 20 tahun terakhir ketegangan itu semakin sering terjadi. Ini sebenarnya soal argumen-argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, peran dan perlakuan," kata Ismail. 

Dalam catatan Setara Institute, ada 37 peristiwa tindak kekerasan yang melibatkan TNI dan Polri dalam 10 tahun terakhir. Peran tentara, katanya, tidak dioptimalkan sesuai perannya dalam kurun waktu satu dekade terakhir. 

2. DPR dan pemerintah juga perlu revisi UU Peradilan Militer serta UU Perbantuan Militer

Ilustrasi persidangan (IDN Times/Aditya)

Di forum itu, Ismail juga menyebut pemerintah dan parlemen seharusnya juga memikirkan untuk memperbaiki undang-undang yaitu soal UU Peradilan Militer dan menambah UU Perbantuan Militer. "Kekosongan hukum lainnya yang perlu diisi oleh pembentuk undang-undang adalah penegasan pembatasan makna kebijakan dan keputusan politik negara, design civilian encounter yang memungkinkan TNI tetap profesional dan sejahtera. Serta memungkinkan demokrasi tetap terjaga," katanya. 

Ia menggaris bawahi prajurit TNI harus sejahtera dulu baru mereka bisa bertugas secara profesional. Sementara, soal revisi UU Peradilan Militer, Ismail mengusulkan agar prajurit yang melakukan tindak pidana non-militer seharusnya diadili di peradilan umum. Sebab, selama ini hal tersebut yang menjadi pangkal permasalahan tindak pidana oleh prajurit TNI terus berulang. 

3. Anggota komisi I DPR yakin dwifungsi ABRI tidak akan bangkit

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDIP TB Hasanuddin minta TNI yang mengisi jabatan sipil tidak digaji double. (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara, anggota komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menilai dwifungsi ABRI tidak akan kembali asal pasal 39 UU TNI tetap dipertahankan. Selama ini revisi UU TNI yang sedang digodok di parlemen mendapat penentangan luas dari kelompok masyarakat sipil. 

"Saya rasa tidak mungkin kalau kembali ke Orde Baru lagi, dengan catatan kita harus pertahankan pasal 39 undang-undang TNI," ujar politisi dari PDI Perjuangan (PDIP) itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu (5/3/2025). 

Pasal 39 di dalam UU TNI berbunyi 'prajurit TNI dilarang terlibat di dalam kegiatan menjadi partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.' Salah satu poin yang didorong untuk dihapus dalam UU TNI yakni soal larangan berbisnis bagi prajurit TNI. 

Namun, dalam pandangan TB, harus diperjelas level prajurit TNI mana yang dibolehkan untuk melakukan kegiatan bisnis. Menurutnya, tidak masalah bila prajurit TNI level kopral berdagang makanan. 

"Kopral bikin dawet, di rumah masing-masing. Di batalyon, bisnis jual beli kerupuk masak kita larang tapi harus dengan aturannya," katanya. 
 
"Tapi kalau bisnis untuk jenderal, panglima kodam, bayangkan Panglima Kodam ikut tender di gubernur setempat, ya pasti menang Pak, lalu yang lain bagaimana," imbuh purnawirawan jenderal itu. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Anata Siregar
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us