Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Siklon Sanyer Terjang Utara Sumatra, Langkah Mitigasi Harus Berbenah

Tim gabungan mengevakuasi salah satu jenazah yang ditemukan di lokasi banjir bandang (Foto: IDN Times./Halbert Caniago)
Tim gabungan mengevakuasi salah satu jenazah yang ditemukan di lokasi banjir bandang (Foto: IDN Times./Halbert Caniago)
Intinya sih...
  • Siklon tropis Sanyer di utara Sumatra harus jadi pelajaran jangka panjang. Data lintasan badai selama 150 tahun menunjukkan fenomena ini bukan anomali tunggal, perlu mitigasi berbasis data ilmiah dan tata kelola ruang adaptif.
  • Prasasti soroti manajemen komunikasi krisis. Siklon tropis menunjukkan Indonesia memasuki era risiko baru, butuh komunikasi krisis responsif dan terkoordinasi serta penguatan fungsi Crisis Communication Center.
  • Enam langkah penting hadapi bencana hidrometeorologi. Di antaranya mengadopsi teknologi pemantauan badai, memperkuat pemanfaatan data pemantauan badai dalam tata ruang, meninjau standar desain infrastruktur.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Badai Siklon Tropis Sanyer mengepung utara Sumatra hingga menyebabkan hujan ekstrem yang mengakibatkan banjir bandang di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara. Bencana ini menelan hampir seribu korban jiwa hingga Kamis (11/12/2025).

Badai ini merupakan salah satu dari dua Tropical Cyclone (TC) yang terbentuk di utara Indonesia. Fenomena ini menegaskan, Indonesia berada dalam jalur risiko hidrometeorologi yang kompleks, dan membutuhkan pendekatan mitigasi berbasis data ilmiah, tata kelola ruang adaptif, dan komunikasi krisis yang efektif.

1. Siklon tropis Senyar di utara sumatra harus jadi pelajaran jangka panjang

Kondisi Nagari Salareh Aie usai dihantam banjir bandang (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)
Kondisi Nagari Salareh Aie usai dihantam banjir bandang (Foto: IDN Times/Halbert Caniago)

Menurut Board of Experts Prasasti Center for Policy Studies, Arcandra Tahar, siklon tropis yang melintasi wilayah utara Indonesia perlu dipahami dalam konteks ilmiah jangka panjang.

“Jika kita melihat data lintasan badai selama 150 tahun, Sumatra bagian utara hingga Selat Malaka memang pernah dilintasi tropical storm. Ini menunjukkan bahwa fenomena seperti ini bukan anomali tunggal, melainkan bagian dari return period alam. Kejadiannya dapat berulang setiap beberapa puluh tahun,” kata Arcandra dalam keterangan tertulis, Kamis.

Berdasarkan skala Saffir–Simpson, peristiwa ini termasuk tropical storm karena kecepatan anginnya berada di kisaran 35–40 mph, atau lebih kuat dibanding tropical depression, tetapi belum mencapai kategori typhoon atau hurricane.

"Untuk memitigasi bencana dalam kondisi ekstrem, analisa meteorologi dan oseanografi dengan return period 100 tahun kita gunakan untuk mendesain bangunan laut dan pantai. Siklon tropis baru-baru ini adalah pengingat bahwa Indonesia perlu memastikan ketangguhan infrastruktur, tata ruang, dan protokol tanggap darurat di semua tingkatan yang menyesuaikan situasi terbaru ini,” ujarnya.

Arcandra juga menekankan, perubahan iklim hanyalah salah satu variabel yang memengaruhi dampak bencana. Perubahan iklim bisa memperkuat intensitas kejadian ekstrem, tetapi faktor-faktor lokal seperti kerentanan Daerah Aliran Sungai (DAS), degradasi hutan, dan konversi lahan sangat menentukan besarnya dampak.

"Negara yang terbiasa menghadapi badai seperti Jepang, Taiwan, Cina, dan Filipina, menunjukkan disiplin tata ruang, konservasi lingkungan, serta kesiapsiagaan masyarakat sama pentingnya dengan teknologi meteorologi," kata dia.

2. Prasasti soroti manajemen komunikasi krisis

Mobil-mobil yang berserakan di antara puing-puing bekas banjir bandang Aceh Tamiang, Senin (8/12/2025) (IDN Times/Prayugo Utomo)
Mobil-mobil yang berserakan di antara puing-puing bekas banjir bandang Aceh Tamiang, Senin (8/12/2025) (IDN Times/Prayugo Utomo)

Executive Director Prasasti, Nila Marita, menyampaikan siklon tropis yang melanda Sumatra menunjukkan, Indonesia sudah memasuki era risiko baru. Dia menjelaskan Indonesia memiliki fondasi sistem peringatan dini yang kuat melalui BMKG.

"Langkah berikutnya adalah memastikan bahwa data ilmiah, kebijakan tata ruang, infrastruktur, komunikasi krisis, dan kesiapsiagaan daerah berjalan dalam satu kesatuan,” ungkap Nila.

Selain risiko meteorologis, Prasasti menyoroti pentingnya komunikasi krisis yang lebih responsif dan terkoordinasi. Informasi teknis dari BMKG perlu diterjemahkan menjadi pesan operasional yang mudah dipahami masyarakat.

"Ketika terjadi bencana, kecepatan dan keselarasan pesan antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah sangat menentukan efektivitas respons,” ujar Nila.

Nila menambahkan penguatan fungsi Crisis Communication Center yang sudah ada akan sangat membantu masyarakat, untuk mengetahui perkembangan terbaru, langkah-langkah tanggap darurat yang sedang berlangsung, dan bagaimana mengakses bantuan secara timely.

”Efektivitas pusat komunikasi ini dapat meminimalisir kesimpangsiuran data dan informasi di di publik, meningkatkan koordinasi antar instansi dan masyarakat, serta mengurangi potensi disinformasi di tengah situasi darurat,” tutur dia.

3. Enam langkah penting hadapi bencana hidrometereologi

Pemandangan Aceh Tamiang dari udara, Jumat (5/12/2025) setelah dihantam banjir bandang dan longsor (IDN Times/Prayugo Utomo)
Pemandangan Aceh Tamiang dari udara, Jumat (5/12/2025) setelah dihantam banjir bandang dan longsor (IDN Times/Prayugo Utomo)

Prasasti menyampaikan sejumlah langkah yang dapat melengkapi berbagai upaya pemerintah, yang telah berjalan untuk memperkuat ketahanan nasional:

1. Mengadopsi teknologi yang dapat memantau dan memperkirakan datangnya badai sekaligus memodelkan secara numerik arah pergerakan badai. Teknologi ini sudah biasa digunakan di negara maju seperti Amerika Serikat dalam memantau arah dan intensitas hurricane, sehingga mitigasi bencana bisa dilaksanakan sedini mungkin.

2. Memperkuat pemanfaatan data pemantauan badai dalam tata ruang dan perencanaan pembangunan. Teknologi di bidang meteorologi yang semakin maju membuka peluang untuk memperkuat integrasi antara data meteorologi dengan zonasi rawan bencana dan rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah.

3. Meninjau kembali standar desain infrastruktur berdasarkan skenario ekstrem. Pendekatan ini dapat melengkapi langkah pemerintah dalam memastikan bahwa infrastruktur vital seperti drainase, bendungan, proteksi pesisir dan pelabuhan tetap tangguh terhadap kejadian ekstrem.

4. Menyelaraskan protokol komunikasi krisis nasional lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, serta memperkuat Crisis Communication Center di lokasi bencana. Upaya ini memastikan bahwa informasi dari berbagai kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dapat diterjemahkan menjadi instruksi praktis yang jelas dan tersampaikan secara konsisten kepada publik.

5. Memperkuat mitigasi berbasis ekosistem dan masyarakat. Rehabilitasi DAS, restorasi pesisir, perlindungan hutan, dan penataan ruang adaptif dapat memperkecil dampak kejadian ekstrem, termasuk dalam konteks evakuasi dan perlindungan kelompok rentan.

6. Memperluas dukungan bagi pemerintah daerah untuk menindaklanjuti peringatan dini. Hal ini mencakup penyusunan SOP tanggap darurat, edukasi publik, simulasi kesiapsiagaan komunitas, serta penguatan kapasitas teknis agar informasi dari BMKG dapat diterjemahkan menjadi tindakan cepat di lapangan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

BKSDA Aceh Klaim Selalu Cek Kesejahteraan Gajah saat Bantu Bencana

12 Des 2025, 06:30 WIBNews