Dorong Pengentasan Kemiskinan, Shantanu Bagikan Akses Basis Data Ini

Jakarta, IDN Times -- “Proposal Anda menunjukkan kontradiksi yang menyedihkan namun membuka mata bahwa di negara dengan pertumbuhan PDB dan estimasi pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan seperti Indonesia, kemiskinan ekstrem seperti yang Anda jelaskan dalam proposal Anda masih ada,” kata salah satu juri di final Geneva Challenge 2022, sebuah kompetisi internasional tentang pengentasan kemiskinan untuk mahasiswa magister yang diadakan oleh The Graduate Institute of Geneva yang dimenangkan oleh pendiri Shantanu pada masa itu.
“Rekomendasi Anda dalam proposal mengingatkan kita untuk tetap menerapkan kontekstualitas di atas segalanya, karena Indonesia yang diperkirakan akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia pada tahun 2030 pun saat ini juga menyandang predikat negara dengan ketimpangan paling buruk di Asia Tenggara, persis seperti yang Anda tulis dalam proposal Anda,” ujar juri tersebut.
Bagi Siti Hilya Nabila yang akrab disapa Hilya, yang baru mengesahkan lembaga think tank Shantanu pada Maret lalu, pujian di atas terasa menyanjung sekaligus memprihatinkan.
“Sungguh suatu hal yang membanggakan ketika para pakar global mengenai masalah ini mengakui bahwa kami telah mengangkat kembali masalah ini ke permukaan. Namun, sungguh memprihatinkan, bahkan mengecewakan, mengetahui bahwa permasalahan (kemiskinan ekstrem & struktural) sekaligus negara yang benar-benar kami pedulikan kini mulai terlupakan. Bagaimana bisa demikian? I will talk more about that as we go,” tegas aktivis berusia 26 tahun itu.
1. PDB merupakan tolok ukur yang salah dan tidak terlalu holistik dalam menilai kemajuan kualitas hidup masyarakat

Meskipun Pemerintah Indonesia banyak dinilai lengah oleh pakar pada paruh pertama tahun 2020, Indonesia berhasil menyusun peta jalan yang menjanjikan menuju ketahanan ekonomi yang berkelanjutan di waktu yang sama. Saat ini sudah menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-16 di dunia, Indonesia masih diperkirakan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 (McKinsey, 2012).
Antara saat ini dan tahun 2030, menurut penelitian McKinsey, Indonesia akan menjadi rumah bagi 90 juta konsumen baru dengan daya beli yang besar. Bangkit kembali dari dampak COVID-19, sentimen investor terhadap Indonesia tetap positif karena potensi pemulihan ekonomi yang kuat, dilengkapi dengan prospek pertumbuhan jangka panjang yang selaras.
“Saya mengerti mengapa fokus masyarakat telah bergeser sejak data-data itu keluar, mengapa kemiskinan tidak lagi dianggap ‘menarik’ di tengah euforia nasional. Sebagai orang Indonesia, saya sendiri juga mendukung kemajuan tersebut. Saya berharap yang terbaik. Namun, kita tidak bisa selamanya mengabaikan kelompok terbawah dalam piramida populasi (the bottom of pyramid), yaitu kelompok yang sangat miskin dan terlupakan. Kita tidak bisa terus mengagung-agungkan pertumbuhan PDB tanpa mulai mempertimbangkan indeks kemajuan yang sebenarnya (Genuine Progress Index) dan tanpa menerima kenyataan bahwa PDB sering kali merupakan tolok ukur yang salah dan tidak terlalu holistik dalam menilai kemajuan kualitas hidup masyarakat,” jelas Hilya dengan berani.
2. Fenomena "kurva K", di mana beberapa daerah mengalami perkembangan pesat dan ada pula yang tertinggal

Terdapat bukti peningkatan dan penurunan kesenjangan regional di Indonesia, tergantung pada skala analisis dan dimensi pembangunan yang dipilih. Temuan ini didasarkan pada studi yang menganalisis perkembangan masyarakat dari berbagai dimensi seperti pendapatan, kemiskinan, kondisi sosial, industrialisasi, dan pertanian pada berbagai tingkat seperti unit administrasi tingkat provinsi, kabupaten, hingga kecamatan (Chakravorty, 2012).
Studi tersebut menemukan bahwa terdapat daerah-daerah di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat dan berhasil mempersempit kesenjangan ketimpangan, namun juga sebaliknya.
Secara khusus, studi ini menyoroti adanya fenomena “kurva K”, di mana beberapa daerah mengalami perkembangan pesat dan ada pula yang tertinggal. Pola ketimpangan wilayah ini mempunyai implikasi yang signifikan terhadap piramida terbawah di Indonesia. Piramida terbawah mengacu pada penduduk yang kurang beruntung secara sosial ekonomi dan berada pada tingkat pendapatan terendah.
Individu dan komunitas ini seringkali menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan penting lainnya. Pembangunan wilayah yang tidak merata dan fenomena kurva K memperburuk ketimpangan di bagian bawah piramida populasi Indonesia.
Hilya dalam wawancaranya dengan IDN menjelaskan, memasuki dekade berikutnya, semakin penting untuk mengkaji fenomena kurva K dan potensi dampaknya terhadap perekonomian dan dinamika sosial dalam masyarakat.
"Kurva K, yang mewakili meningkatnya kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan penduduk lainnya, telah menjadi perhatian dan perdebatan dalam beberapa tahun terakhir. Untuk memahami kemungkinan terjadinya fenomena ini, penting untuk menyelidiki faktor-faktor mendasar yang berkontribusi terhadap kesenjangan ini. Hal ini mencakup eksplorasi pola distribusi kekayaan, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, serta peran kebijakan pemerintah dalam membentuk peluang ekonomi baru. Penting juga untuk mempertimbangkan implikasi sosial dari fenomena kurva K, karena fenomena kurva K tidak hanya berdampak pada peluang ekonomi namun juga bersinggungan dengan mobilitas sosial, dinamika politik, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dengan menggali lebih dalam aspek-aspek yang saling berhubungan ini, kita dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana kurva K mungkin terjadi di Indonesia pada tahun-tahun mendatang.”
3. Kehadiran Shantanu sebagai lembaga think tank yang menentang kemiskinan struktural

Tentang kurangnya aktivisme yang solid
Hilya kemudian menyampaikan pendapatnya, “Di sisi lain, Indonesia memiliki sejarah panjang soal mobilisasi politik dari atas ke bawah, dengan kekuasaan dan pengambilan keputusan terkonsentrasi di tangan kelompok elite. Kurangnya aktivisme dari bawah ke atas di Indonesia dapat dikaitkan dengan beberapa faktor yang saling terkait. Undang-undang yang restriktif akan kebebasan berpendapat dan berserikat telah mempersulit masyarakat untuk berorganisasi dan melakukan mobilisasi demi perubahan sosial dan politik.”
“Selain itu, interaksi yang kompleks antara politik identitas dan dinamika kekuasaan telah menciptakan perpecahan yang mendalam diantara masyarakat, sehingga menyulitkan gerakan akar rumput untuk melakukan mobilisasi ke berbagai kelompok yang berbeda. Sifat masyarakat Indonesia yang beragam dan terdesentralisasi menghadirkan tantangan bagi gerakan-gerakan akar rumput untuk bersatu dan bergerak dalam isu-isu bersama. Akibatnya, kurangnya suara yang bersatu telah membatasi dampak kolektif aktivisme dari bawah ke atas dalam mengatasi permasalahan sosial dan melakukan advokasi perubahan. Negara kepulauan terbesar di dunia ini adalah rumah bagi ratusan kelompok etnis, yang masing-masing memiliki identitas budaya, bahasa, dan agama yang berbeda,” tegasnya.
Tentang gerakan sosial horizontal yang terfragmentasi pasca tahun 2010
Menurunnya jumlah serikat organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca tahun 2010 dapat disebabkan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal.
Aktivisme skala kecil di era internet telah mengubah lanskap gerakan sosial, memungkinkan individu dan kelompok kecil untuk memberikan dampak yang berarti dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Platform media sosial telah memainkan peran penting dalam transformasi ini, menyediakan ruang bagi individu untuk berbagi cerita, menggalang dukungan, dan mengorganisir aksi kolektif. Hashtag, kampanye viral, dan petisi online telah berperan penting dalam meningkatkan kesadaran dan memobilisasi masyarakat untuk mengatasi isu-isu sosial yang mendesak.
Hilya menambahkan, keterhubungan yang disediakan oleh internet telah memungkinkan para aktivis akar rumput menjangkau khalayak global, memobilisasi dukungan, dan mengadvokasi perubahan dalam skala yang dulunya hanya bisa dilakukan oleh organisasi-organisasi besar dan mapan.
Dalam lanskap baru ini, dia melanjutkan, batasan-batasan tradisional dalam aktivisme telah dikaburkan, sehingga memungkinkan terjadinya kolaborasi dan koneksi antar berbagai kelompok dan komunitas.
"Aktivis skala kecil memanfaatkan kehadiran online mereka untuk membangun koalisi, berbagi sumber daya, dan memperkuat suara satu sama lain. Namun, lanskap yang terfragmentasi ini juga menghadirkan tantangan. Dengan banyaknya isu yang saling bersaing untuk mendapatkan perhatian, akan sulit bagi para aktivis skala kecil untuk menerobos kebisingan dan membuat suara mereka didengar oleh orang-orang yang berkuasa dan membentuk serikat aktivis untuk mengadvokasi perubahan struktural bersama. Selain itu, sifat aktivisme online yang bersifat sementara kadang-kadang dapat mengundang keterlibatan dan dukungan yang bersifat sementara juga.”
“Tetapi, aktivisme online tidak boleh kita tinggalkan pula. Tanpa adanya aktivisme bottom-up yang kuat, Indonesia akan terus menghadapi tantangan terkait keadilan sosial, hak asasi manusia, dan kesenjangan struktural. Jadi, di tengah lautan suara, PR-nya adalah bagaimana kita menyatukan mereka semua untuk mencapai tujuan bersama? Bagaimana kita dapat saling bergandengan tangan, berjalan menuju jalan yang sama?” tanya Hilya.
Menutup wawancara dengan penuh ambisi, Hilya mengatakan, “Itulah sebabnya kami bangga menjadi lembaga think tank pertama dan satu-satunya di Indonesia yang dengan berani menyatakan bahwa kami menentang pelembagaan kemiskinan (kemiskinan struktural) dan mempelopori inisiatif pertama untuk memberikan basis data gratis yang dapat diakses publik mengenai pergerakan sosial horizontal dari perkotaan ke pedesaan di seluruh Indonesia, khususnya yang bergerak pada pengentasan kemiskinan.”
Bibliography
Chakravorty, S. (2012, January 1). Regional Development in India: Paradigms Lost in a
Period of Great Change. https://doi.org/10.2747/1539-7216.53.1.21
McKinsey. (2012, September). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential. New York, New York, United States. Retrieved from https://www.mckinsey.com/~/media/mckinsey/featured%20insights/asia%20pacific/the%20archipelago%20economy/mgi_unleashing_indonesia_potential_executive_summary.ashx
(WEB)