Sumatra Dihantam Banjir, Mampukah Menhut Capai FOLU Net Sink 2030?

- Pemerintah lebih pilih istilah FOLU Net Sink, bukan FOLU Zero Deforestation
- Pemerintah dinilai akan gagal mencapai FOLU Net Sink pada 2030
- Menhut Raj Juli dianggap melakukan konflik kepentingan dengan tempatkan politisi PSI di tim FOLU Net Sink
Jakarta, IDN Times - Banjir bandang besar yang menghantam Sumatra di penghujung 2025 membuat sosok Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, mendapat sorotan luas dari publik. Raja Juli dinilai lalai karena tak mampu mencegah terjadinya aktivitas penggundulan hutan di Sumatra.
Selain itu, ia juga pernah disorot karena menunjuk 11 kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk menjadi anggota Operation Management Office (OMO) Indonesia Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Penunjukkan kader PSI itu tertulis di Keptusan Menteri Nomor 32 Tahun 2025, mengenai Indonesia's FOLU Net Sink 2030 untuk pengendalian perubahan iklim pada awal Maret 2025.
Dikutip dari situs Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, FOLU Net Sink adalah sebuah kondisi ketika sektor kehutanan dan lahan menyerap lebih banyak emisi karbon, dibandingkan menghasilkan emisi. Dengan kata lain, hutan dan lahan Indonesia menjadi penyedot karbon, bukan sumber emisi. Kondisi itu diharapkan sudah tercapai pada 2030 atau lima tahun dari sekarang.
Selain itu, Indonesia juga diharapkan bisa mencapai target tersebut, lantaran merupakan komitmen yang diteken di dalam forum Perjanjian Paris 2015 dan Net Zero Emission 2060.
Namun, melihat situasi penggundulan hutan yang masif terjadi di Pulau Sumatra, membuat publik ragu target itu bisa tercapai. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menilai dalam satu tahun terakhir justru praktik deforestasi semakin marak terjadi.
"Di tingkat tapak, hutan tetap dibuka, izin tetap berjalan, dan angka kehilangan hutan tidak menunjukkan pembalikan tren yang sepadan dengan jargon yang dibuat," ujar Melky kepada IDN Times, melalui pesan pendek, Sabtu, 6 Desember 2025.
Melky juga mengutip data dari lembaga pemantau Forest Watch Indonesia (FWI), deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia pada 2021 hingga 2023 sekitar 1,93 juta hektare.
"Temuan itu jauh dari gambaran hampir nol (deforestasi) yang sering disiratkan oleh pemerintah," tutur dia.
1. Pemerintah lebih pilih istilah FOLU Net Sink, bukan FOLU Zero Deforestation

Inisiatif FOLU Net Sink itu sudah dimulai sejak 2011. Ketika itu, Indonesia bekerja sama dengan Norwegia, di mana negara Skandinavia itu berjanji memberikan kompensasi senilai Rp10 miliar, sebagai bagian dari upaya yang dilakukan Indonesia untuk melindungi hutan dan mengurangi emisi karbon.
Dewan Penasihat dan Project Director FOLU NC-1, Agus Justianto, mengatakan realisasi pembayaran terjadi melalui Result Based Payment pada September 2022. Realisasi janji itu sempat terhambat dan dihentikan pada era pemerintahan Presiden ke-7, Joko "Jokowi" Widodo. Tetapi negosiasi kembali berlanjut dan kompensasi diberikan melalui skema yang diberi nama Result Based Contribution (RBC).
Di sisi lain, kini FOLU malah didefinisikan "Net Sink" bukan "Zero". Ada makna yang besar di balik perbedaan istilah tersebut.
Melky menjelaskan dengan skema FOLU Net Sink, akan membuka peluang deforestasi tetap berlangsung selama diimbangi dengan penanaman hutan kembali.
"Sehingga, ruang negosiasi bagi perusahaan besar tetap terbuka lebar. Singkatnya, ini basa-basi komitmen iklim pemerintah," kata dia.
Melky menggarisbawahi, FOLU Net Sink 2030 bukan instrumen yang menahan deforestasi, melainkan kemasan baru bagi komitmen iklim yang longgar.
2. Pemerintah dinilai akan gagal mencapai FOLU Net Sink pada 2030

Sementara, sejak Juni 2025, organisasi Forest Watch Indonesia (FWI) sudah memperkirakan Indonesia akan gagal menurunkan laju penggundulan hutan dan mencapai target pengurangan emisi pada 2030. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada era pemerintahan Jokowi menetapkan 60 persen pengurangan emisi akan berasal dari sektor hutan dan lahan. Tetapi temuan FWI justru menunjukkan deforestasi yang terus terjadi secara masif dan terencana.
Juru kampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, mengatakan strategi FOLU Net Sink 2030 tidak diimplementasikan secara serius di tingkat tapak. Data FWI mencatat total laju deforestasi dua tahun semakin merajalela pasca-disahkan FOLU Net Sink 2030. Angkanya mencapai 1.93 juta hektare pada 2021 hingga 2023.
"Nilai itu melebihi kuota pengurangan laju deforestasi versi Kementerian Kehutanan," kata Anggi dalam keterangan tertulis, dikutip pada Minggu (7/12/2025).
Data FWI lainnya juga menunjukkan 1,66 juta hektare deforesasi terjadi di wilayah yang diklaim oleh KLHK sebagai kawasan hutan negara. Kuota deforestasi Kementerian Kehutanan untuk mencapai net sink 2030 sebanyak minus 577 ribu hektare, dinilai mustahil tercapai bila tren deforestasi berlanjut.
Istilah kuota yang digunakan Kemenhut merujuk kepada batas maksimum deforestasi yang diizinkan pemerintah. Artinya, jumlah hutan yang perlu ditanam kembali, luasnya harus mencapai lebih dari 577 ribu hektare.
3. Menhut lakukan konflik kepentingan dengan tempatkan politisi PSI di tim FOLU Net Sink

Soal keberadaan 11 politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diakui Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, pada awal Maret 2025. Namun, ia mengklaim pembiayaan tim tersebut tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Pembiayaan kegiatan OMO yang baru dibentuk berdasarkan SK 32 Tahun 2025 tersebut, sama dengan pembiayaan kegiatan OMO sebelumnya, yaitu pendanaan dari donor dan atau negara mitra, dan yang pasti saya pastikan itu tidak bersumber dari APBN," ujar Raja Juli dalam keterangan tertulis pada awal Maret 2025.
IDN Times sempat menghubungi dua dari 11 politisi PSI yang namanya tertulis dalam SK tersebut, yakni Andy Budiman (Dewan Penasihat Ahli) dan Sigit Widodo (Anggota Bidang Peningkatan Cadangan Karbon). Andy pada Jumat lalu mengirimkan tautan pemberitaan yang berisi bantahan ia tergabung dalam tim FOLU Net Sink. Sedangkan, pesan pendek kepada Sigit hanya dibaca.
Soal penunjukkan politisi PSI ke dalam tim OMO FOLU Net Sink juga sudah menjadi sorotan media Skandinavia, Development Today. Mereka mendesak Pemerintah Norwegia untuk melakukan audit terhadap program kehutanan Indonesia yang dibiayai grant dari Norwegia.
Desakan itu muncul karena pada Februari 2025, Menteri Iklim Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen memutuskan untuk memperpanjang kerja sama kehutanan dengan Indonesia. Seremoni perpanjangan kerja sama itu diteken langsung oleh Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni. Padahal, sejak 2022, Pemerintah Norwegia sudah menggelontorkan duit senilai 220 juta dolar AS sebagai imbal balik Indonesia berhasil mengurangi emisi karbon.
JATAM juga menilai dengan keberadaan politisi PSI dalam tim FOLU Net Sink, merupakan praktik bagi-bagi jabatan. Alhasil, program iklim strategis bergeser menjadi kepanjangan tangan patronase politik.
"Konfigurasi tersebut menciptakan konflik kepentingan berlapis di jantung kebijakan iklim. FOLU seharusnya menjadi tulang punggung komitmen iklim Indonesia, dan rujukan utama negosiasi dengan negara donor," kata Koordinator JATAM, Melky Nahar.
Melky menambahkan bila desain program, implementasi di lapangan hingga penyusunan laporan kinerja dikendalikan tim yang partisan, maka akan terbuka ruang lebar untuk memoles angka.
"Ada celah untuk mengarahkan prioritas ke proyek yang menguntungkan citra partai, dan mengalirkan kontrak serta dana ke jejaring politik yang sama," imbuhnya.

















