Susul Ahyudin, Presiden ACT Ibnu Khajar Penuhi Pemeriksaan Bareskrim

Jakarta, IDN Times - Presiden Yayasan Kemanusian Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar memenuhi panggilan pemeriksaan penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri terkait dugaan penyelewengan dana yang dikelola ACT.
Berdasarkan pantauan, Ibnu tiba di lobby Gedung Bareskrim Polri pukul 12.38 WIB dengan memakai kemeja warna abu-abu bercelana jin biru, tanpa sempat memberikan keterangan terkait pemeriksaan ini.
Kedatangannya sempat luput dari perhatian awak media, karena Ibnu yang saat tiba memakai topi hitam langsung masuk ke batas pintu masuk protokoler Gedung Bareskrim Polri.
"Itu sudah masuk pakai topi hitam," kata Kasubdit IV Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Andri Sudarmaji saat dikonfirmasi, Senin (11/7/2022).
1. Ibnu Khajar diperiksa bersamaan dengan Ahyudin

Kehadiran Ibnu hari ini menyusul pendiri ACT, Ahyudin yang telah datang sebelumnya untuk menjalani pemeriksaan. Mereka kembali diperiksa berkaitan dugaan penyelewengan dana yang dikelola lembaga filantropi tersebut.
"Iya udah (Ahyudin sudah datang), pemeriksaan sedang berlangsung," kata Andri.
2. Ahyudin dan Ibnu Khajar telah menjalani pemeriksaan soal korupsi dana sosial korban Lion Air

Sebelumnya, Dirtipideksus Bareskrim telah memeriksa Ahyudin dan Ibnu Khajar pada Jumat (8/7/2022). Temuan awal penyidik, diduga adanya penyimpangan uang donasi korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 yang terjadi pada tanggal 18 Oktober 2018.
Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, dana sosial Rp138 miliar diduga digunakan untuk gaji dan fasilitas petinggi ACT.
“Sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden (Drs. Ahyuddin) dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden,” kata Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/7/2022).
2. ACT tak melibatkan ahli waris dalam pengelolaan dana sosial

Ramadhan menjelaskan, ACT dalam hal ini mengelola dana sosial atau CSR dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air. Namun pada pelaksanaan penyaluran dana sosial tersebut, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial.
“CSR tersebut dan pihak Yayasan ACT tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut,” kata Ramadhan.
Adapun modus operandi yang dilakukan Ahyudin dan Presiden ACT, Ibnu Khajar melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana sosial dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi.
“Bahwa pasca kejadian kecelakaan tersebut, para ahli waris korban dihubungi oleh pihak yang mengaku dari ACT meminta untuk memberikan rekomendasi kepada pihak Boeing untuk penggunaan dana CSR tersebut dikelola oleh pihak ACT, dimana dana sosial/CSR diperuntukan membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi dari ahli waris para korban,” ujar Ramadhan.
Dalam kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610, pihak Boeing memberikan dua jenis dana kompensasi yaitu dana santunan tunai kepada ahli waris para korban masing-masing sebesar USD 144.500 atau setara denga Rp2.066.350.000.
Dana tersebut tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban melainkan harus menggunakan lembaga atau yayasan yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Boeing, dimana salah satu persyaratan tersebut adalah lembaga/yayasan harus bertaraf internasional.
Akibat peristiwa ini, Ahyudin dan Ibnu Khajar akan dijerat pasal tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP dan atau; Pasal 374 KUHP dan atau; Pasal 45A Ayat (1) Jo Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau;
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan atau; Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Dengan ancaman Pidana paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,” kata Ramadhan.