TNI Tembak 3 Polisi, Amnesty: Peringatan Serius Militer Masuk Sipil

- Amnesty International Indonesia menyoroti kasus pembunuhan di luar hukum terhadap tiga anggota polisi oleh personel TNI di Lampung.
- Data belum termasuk kasus pembunuhan di luar hukum di Papua, yang sering dilakukan dengan impunitas oleh aparat keamanan atau aktor non-negara.
- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997.
Jakarta, IDN Times – Amnesty International Indonesia menyoroti kasus pembunuhan di luar hukum terhadap tiga anggota polisi oleh personel TNI di Lampung. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai kejadian ini sebagai peringatan serius akan dampak negatif dari masuknya TNI ke dalam urusan sipil.
Dalam kasus ini, ia menegaskan, TNI sebagai institusi harus secara terbuka menjelaskan ke publik apa peran anggotanya dalam insiden yang berkaitan dengan kasus judi sabung ayam tersebut.
"Bagaimana tidak, tanpa revisi UU TNI sekalipun, aparat militer dengan menyalahgunakan senjata telah terlibat dalam berbagai urusan sipil, termasuk melakukan intervensi terhadap penegakan hukum oleh polisi," ujar Usman dalam keterangannya, Rabu (19/3/2025).
1. Budaya impunitas di tubuh Polri dan TNI memicu banyak kasus pembunuhan

Usman Hamid mengungkapkan, data tersebut belum termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum di Papua, di mana aparat keamanan maupun aktor non-negara kerap melakukan pembunuhan di luar hukum dengan impunitas.
"Kasus-kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi karena adanya budaya impunitas di tubuh Polri maupun TNI. Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan," ujarnya.
2. Desak revisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer

Usman Hamid mengatakan, kasus ini menambah daftar panjang kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat TNI/Polri. Pada Januari-Maret 2025, terjadi 9 kasus dengan 11 korban.
"Kami mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer," katanya.
Menurutnya, revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004.
"Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut. Ini lebih penting ketimbang merevisi UU TNI saat ini yang akan mengembalikan dwifungsi TNI, dan memperparah militerisasi ruang-ruang sipil maupun jabatan sipil di Indonesia," katanya.
3. Revisi peradilan militer lebih mendesak daripada RUU TNI

Ia juga menekankan bahwa revisi peradilan militer jauh lebih mendesak dibandingkan revisi UU TNI, yang justru akan mengembalikan dwifungsi TNI dan memperparah militerisasi di ruang sipil.
Usman Hamid menegaskan, pembunuhan di luar hukum merupakan pelanggaran terhadap hak hidup. Menurutnya, lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar tidak ada lagi korban akibat penyalahgunaan wewenang aparat, baik dari TNI maupun Polri.
"Hal lain yang juga mendesak adalah evaluasi besar-besaran penggunaan senjata api oleh TNI-Polri agar aparat tidak lagi menyalahgunakannya, baik dalam konteks kedinasan maupun di luar tugas kedinasan," katanya.