TTI Bakal Laporkan Hasil Temuan Investigasi soal MBG ke KPK

- Yayasan mendapat fee Rp2 ribu per porsi dari program MBG
- Harga MBG sampai ke pelaksana hanya Rp8 ribu per porsi
- BGN cukup bermitra dengan Koperasi Merah Putih untuk program Dapur BGN
Jakarta, IDN Times - Transparansi Tender Indonesia (TTI) bakal melaporkan hasil investigasinya terkait pelaksanaan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibangun Badan Gizi Nasional (BGN).
Ketua TTI, Nasruddin Bahar mengatakan pihaknya menemukan selisih harga MBG yang dibayarkan BGN ke yayasan dan dari yayasan ke pelaksana.
“TTI akan melaporkan temuan di lapangan kepada KPK. Dana yang seharusnya Rp15 ribu per porsi disunat menjadi Rp8 ribu yang betul-betul sampai ke bawah,” kata Nasruddin kepada IDN Times, Senin (15/9/2025).
Namun demikian, ia mengaku masih melengkapi bukti-bukti temuan di lapangan. Nasruddin belum bisa memastikan kapan ia ke KPK.
1. Ada fee Rp2 ribu untuk yayasan

Sebelumnya, TTI mengungkap program MBG ini diduga membuka jalan bagi konglomerasi yayasan yang beroperasi seperti perusahaan. Dalam praktiknya, yayasan hanya dijadikan kedok padahal yang bermain sebenarnya adalah para pemilik modal atau investor.
“Yayasan digunakan sebagai bendera saja dengan menyisihkan fee untuk yayasan sebesar Rp2 ribu per porsi,” kata Nasruddin.
Ia menilai, terdapat kesalahan mendasar dalam regulasi dan implementasi program. Uang negara melalui APBN justru lebih banyak mengalir ke konglomerasi investor melalui yayasan-yayasan dapur mandiri.
Dalam pelaksanaan di lapangan, justru menjadi ajang bisnis pemilik modal. Modusnya, para pemilik modal besar memperbanyak titik penyaluran MBG.
“Kontrak lima tahun itu nilainya jauh lebih besar dibandingkan pembangunan fisik yang bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui lahan pinjam pakai,” ungkapnya.
Secara hukum, yayasan bersifat nirlaba sesuai UU No. 16 Tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004. Namun dalam praktiknya, proyek Dapur BGN justru dijalankan 90 persen dengan skema bisnis yayasan.
Polanya sederhana, modal awal pembangunan ditukar dengan nilai kontrak pembayaran per porsi dikalikan jumlah penerima manfaat. Dengan skema ini, APBN yang seharusnya digunakan untuk membangun dapur fisik justru dialihkan ke kontrak jangka panjang.
“Pemerintah daerah sebenarnya sudah menyediakan lahan dengan skema pinjam pakai, tetapi hingga kini tidak ada realisasi pembangunan dapur BGN yang dibiayai APBN lewat tender terbuka. Yang justru berjalan adalah kontrak yayasan yang penuh nuansa bisnis,” ujar Nasruddin.
2. Harga MBG sampai ke pelaksana per porsi hanya Rp8 ribu

TTI mengungkap, adanya celah gratifikasi dalam pengelolaan biaya per porsi. Kontribusi seperti biaya sewa Rp2 ribu per porsi dilebur ke dalam total biaya Rp15 ribu.
“Dalam kontrak, BGN bayar Rp15 ribu tapi sampai ke bawah (pelaksana) hanya Rp8 ribu,” ujarnya.
Menurutnya, ini pola yang menguntungkan pengurus yayasan dan para pemodal. Uang rakyat semestinya dialokasikan untuk gizi justru mengalir sebagai kompensasi bisnis.
“Banyak pemodal menanamkan saham di berbagai Yayasan sebagai bentuk investasi. Padahal, UU Yayasan secara tegas melarang praktik pembagian keuntungan. Fakta ini menandai terjadinya penyimpangan regulasi,” ujarnya.
Menurut TTI, penyimpangan ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan berpotensi menjadi korupsi berjamaah. APBN yang seharusnya untuk pembangunan fisik melalui tender terbuka malah dialihkan ke kontrak yayasan.
“Ini membuka ruang markup biaya, persekongkolan, dan tentu saja melanggar prinsip transparansi,” ungkap Nasruddin.
Kegagalan menyerap anggaran pembangunan fisik juga menunjukkan lemahnya pengendalian pemerintah pusat terhadap regulasi pelaksanaan program.
“Di sinilah letak kesalahan regulasi program kerja Presiden Prabowo. Landasan hukum tidak tegas membatasi peran yayasan sehingga investor bisa masuk dan memanfaatkan celah,” katanya.
Pada akhirnya, masyarakat penerima manfaat hanya dijadikan tameng legitimasi. Mereka ditampilkan seolah-olah mendapat keuntungan, padahal uang besar justru mengalir ke konglomerasi yayasan.
“Program yang semestinya memperkuat ketahanan gizi dan ekonomi rakyat, berubah menjadi ladang bisnis,” kata dia.
3. BGN cukup bermitra dengan Koperasi Merah Putih

Menurut TTI, inti persoalan ada pada desain regulasi yang lemah. Pemerintah membuka ruang terlalu lebar bagi yayasan untuk menjadi mitra utama, tanpa memperkuat mekanisme tender terbuka yang transparan.
“Akibatnya, yayasan yang seharusnya bersifat sosial berubah fungsi menjadi instrumen investasi. Regulasi program kerja Presiden Prabowo gagal mengantisipasi praktik penyalahgunaan ini,” kata Nasruddin.
TTI mendesak agar pemerintah segera melakukan audit menyeluruh terhadap skema kemitraan Yayasan dalam Dapur BGN, serta mengembalikan jalur pembangunan ke mekanisme APBN berbasis tender terbuka, transparan, dan akuntabel.
“Program Dapur BGN yang digadang sebagai ikon kerja Prabowo justru menyingkap masalah serius: regulasi longgar, gratifikasi terselubung, dan konglomerasi Yayasan. Jika tidak segera diperbaiki, program yang seharusnya untuk rakyat akan berakhir sebagai mesin bisnis investor dengan legitimasi sosial semata,” kata dia.
Seharusnya, kata Nasruddin, BGN bekerjasama dengan koperasi desa yang sudah berdiri di seluruh Indonesia. BGN langsung berkontrak dengan koperasi sehingga Anggaran per porsi Rp15.000 masuk ke kas.
“BGN tidak perlu membangun dapur yang menghabsikan uang ratusan triliun. BGN cukup bermitra dengan Koperasi Merah Putih sehingga ekonomi masyarakat desa ikut tergerak dari rantai pasok program makanan bergizi gratis,” ujarnya.