Uang Pensiun Anggota DPR Digugat di MK karena 3 Alasan Ini

- Pemohon uji materi di MK menilai DPR dapat pensiun ciptakan ketimpangan dan beban negara
- Banyak artis jadi anggota DPR tanpa kemampuan maksimal
- Sistem pensiun DPR dengan lembaga dan negara lain berbeda dengan di Indonesia
Jakarta, IDN Times - Kebijakan mengenai pemberian uang pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Lita Linggayani Gading yang berprofesi sebagai psikolog dan Syamsul Jahidin yang merupakan mahasiswa sekaligus advokat, sebagai pemohon perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.
Keduanya menguji Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945. Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara ini digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Jumat, 9 Oktober 2025.
1. DPR tetap digaji meski setelah pensiun menciptakan ketimpangan dan beban negara

Dalam permohonannya, para pemohon mendalilkan frasa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat” dalam batang tubuh Pasal 1 huruf a UU 12/1980 menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan hukum, karena memungkinkan anggota DPR RI yang hanya menjabat lima tahun untuk memperoleh pensiun seumur hidup dan bahkan dapat diwariskan.
“Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan asas negara hukum yang berorientasi pada keselamatan, serta kemakmuran rakyat,” ujar Syamsul.
Para pemohon berpendapat berlakunya pasal tersebut telah menimbulkan beban keuangan negara yang signifikan. Berdasarkan data yang disampaikan ke MK, total manfaat pensiun yang diterima anggota DPR RI mencapai Rp226,015 miliar, yang seluruhnya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kerugian yang kami alami bersifat nyata dan potensial. Sebagai pembayar pajak, kami merasa penggunaan dana pajak untuk pensiun DPR yang hanya menjabat lima tahun, adalah bentuk ketidakadilan fiskal,” tutur Syamsul.
2. Soroti banyak artis yang jadi anggota DPR dan tak kerja maksimal

Dalam pemaparannya kepada Panel Hakim, Syamsul juga menilai dan beranggapan pemberlakuan norma di dalam pasal a quo Pasal 1 Huruf A, Pasal 1 Huruf F, Pasal 12 Ayat 1 UU 12/1980, menciptakan fenomena banyaknya artis menjadi anggota DPR. Padahal, aktualnya mereka tidak dapat bekerja secara maksimal karena tidak memiliki kemampuan, pengetahuan, dan kompetensi, semisal Ahmad Dhani, Mulan Jameela, dan lainnya.
“Raden Wulansari (Mulan Jameela) tidak memiliki skill, knowledge, dan kompetensi sebagai anggota DPR RI Komisi VII yang membidangi energi, riset, mineral, teknologi, dan lingkungan hidup. Karena tidak memiliki pengalaman dan pendidikan yang memadai dan atau minim, karena pemohon I mengetahui Raden Wulansari (Mulan Jameela) hanya memiliki pengalaman sebagai ‘penyanyi’ dan tidak memiliki pengalaman, serta sangkut paut dengan mineral, teknologi dan lingkungan hidup, hal tersebut bertentangan dengan tugas sebagai wakil rakyat dan atau anggota DPR,” urai Syamsul.
3. Bandingkan dengan lembaga lain dan kebijakan negara luar

Selain itu, pemohon juga menyoroti adanya perbedaan mencolok antara sistem pensiun anggota DPR RI dengan lembaga negara lain. Sebagai perbandingan, masa kerja yang menjadi dasar pensiun untuk Hakim Mahkamah Agung (MA), Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri umumnya berkisar 10 sampai 35 tahun, sementara anggota DPR hanya satu sampai lima tahun.
Dalam permohonannya, pemohon juga menyinggung praktik serupa di berbagai negara. Di Amerika Serikat dan Inggris, hak pensiun anggota parlemen bergantung pada masa jabatan, usia, dan kontribusi, bukan otomatis diberikan seumur hidup. Sementara, di Australia, sistem pensiun berbasis kontribusi diberlakukan bagi anggota parlemen yang terpilih setelah 2004. Namun di India, sistem pensiun seumur hidup bagi anggota parlemen tetap berlaku dan telah lama dikritik publik, karena membebani keuangan negara—situasi yang menurut pemohon mirip dengan Indonesia.
Selain persoalan hukum dan keuangan, pemohon juga menyinggung aspek moralitas dan kinerja DPR yang dianggap belum sepadan dengan fasilitas dan tunjangan besar yang diterima. Dalam dalilnya, pemohon mengutip kritik publik terhadap anggota DPR yang dinilai kerap absen dalam sidang paripurna, bermain gawai atau tidur saat rapat berlangsung.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, anggota DPR RI menerima pensiun antara Rp401.894 hingga Rp3.639.540, tergantung masa jabatan, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000. Namun, menurut pemohon, ketentuan ini tetap tidak adil, mengingat pemberian pensiun seumur hidup bagi jabatan politik berjangka pendek tidak selaras dengan prinsip keuangan negara yang efisien.
Melalui permohonan ini, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 yang memberikan hak pensiun seumur hidup kepada anggota DPR, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Adapun, Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh, memberikan saran perbaikan. Ketua MK Suhartoyo mengatakan pemohon harus mengelaborasi alasan permohonan.
“Apakah hanya karena alasan banyak artis, konstribusinya kurang atau yang menjabat satu periode haknya sama dengan yang senior mungkin, yang kemudian sudah menjabat beberapa episode dan konstribusinya banyak, kemudian disamanatakan, dan ini yang harus diberikan argumentasikan,” saran hakim konstitusi.
Sementara, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar para pemohon memperkuat kedudukan hukum (legal standing). “Ini Ibu Lita sebagai psikolog yang kemudian ini ikut berbicara soal pensiun anggota DPR. Nanti ditampung dulu, nanti dicatat, ada risalah, nanti diperbaiki,” saran Guntur.
Kemudian, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyebut UU Nomor 12 Tahun 1980 masih mengatur mengenai Dewan Pertimbangan Agung (DPA), karena UU a quo dibuat sebelum perubahan UUD 1945.
“Padahal sekarang existing-nya sudah gak ada. Saya kira ini jadi perhatian DPR nanti,” ujarnya.
Terkait pokok permohonan, Daniel menyarankan untuk memperbaiki permohonan untuk mencermati Putusan MK Nomor 41/PUU-XI/ 2013.
“Harusnya bisa searching di putusan-putusan MK, apakah norma ini pernah diajukan. Karena norma ini pernah diajukan, maka harus dipastikan supaya memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 72 PMK 7 Tahun 2025, supaya tidak nebis in idem,” ujar Daniel.
Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada para pemohon, untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Kamis, 23 Oktober 2025.