Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit Lama

Butuh pihak ketiga untuk mengelola

Jakarta, IDN Times - Wahan Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menanggapi data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait limbah medis yang mencapai 18.460 ton hingga 27 Juli 2021. Manager Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI, Dwi Sawung permasalahan limbah medis merupakan penyakit lama.

"Sebelum pandemi rumah sakit juga bermasalah ya, ada limbah rumah sakit dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), ada yang didaur ulang di pelapak biasa. Sebenarnya ini penyakit lama, cuma ketika ada pandemi jadi kelihatan banget gitu," ujar Dwi kepada IDN Times, Kamis (29/7/2021).

1. Perlu pihak ketiga untuk lakukan insinerator

Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit LamaIlustrasi Sampah Medis (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Dwi menilai rencana KLHK mempercepat relaksasi insinerator sudah telat dan tidak ada gunanya karena saat ini fasilitas kesehatan (faskes) sudah sibuk dengan urusan COVID-19. Karena itu perlu ada pihak ketiga yang membantu untuk menangani limbah medis tersebut.

"Jadi mereka pasti gak akan sanggup untuk nangani itu sendiri. Kalau menurut pandangan kami sih seharusnya kalau mau ke pihak ketiga yang menangani, kalau faskes sendiri udah gak sanggup. Apalagi untuk faskes yang keteken oleh banyaknya kasus. Dia tidak akan sanggup memikirkan itu," ujar Dwi. 

Ia juga menambahkan, pihak ketiga yang dimaksud seperti perusahaan yang memiliki izin layaknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 

Baca Juga: IDAI: 20 Persen Anak yang Positif COVID-19 Tak Bergejala

2. Berakibat pada polusi udara yang tak terkontrol

Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit LamaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Dwi juga mengatakan insinerator akan berdampak pada polusi udara yang tidak terkontrol. Selain itu ia juga melihat banyak yang hanya menggunakan tungku bakar untuk membakar limbah medis.

"Kalau orang awam yang melihat secara visual itu anggapnya sama, padahal bukan, itu beda," kata Dwi.

Tetapi, jika dalam fase darurat, menurut  Dwi, penggunaan insinerator bisa saja diizinkan, hanya saja jika kondisi sudah tidak darurat tidak boleh lagi untuk digunakan. 

"Beroperasinya ga akan sesuai dengan syarat teknisnya. Persyaratan teknisnya dioperasaikan dengan suhu berapa, berapa jam, terus ketika mulai diapain, selesainya gimana, filternya kayak gimana juga kemungkinan gak akan sesuai ya," jelas Dwi.

3. Masih banyak daerah yang tidak memiliki fasilitas pengolah limbah medis

Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit LamaPotret limbah medis di TPA Bakung, Bandar Lampung (IDN Times/Istimewa)

WALHI diketahui sempat melakukan survei bahwa banyak daerah seperti di Kalimantan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi, Sumatera, bahkan Papua yang tidak ada fasilitas pengolah limbah medis.

"Daerah-daerah juga banyak yang gak mampu karena kejauhan misalnya dari puskesmas kemudian di bawa ke Ibu Kota Kabupaten, Ibu Kota Provinsinya, jauh lagi. Di Jawa juga ada yang kayak gitu, misalnya daerah Sukabumi dibawa ke mana, Cianjur Selatan juga," lanjutnya. 

4. Dapat didaur ulang dengan menggunakan autoclave

Limbah Medis Capai 18.460 Ton, WALHI: Ini Penyakit LamaIlustrasi Sampah Medis (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Dibandingkan limbah medis lainnya seperti infus, kapas, selang, limbah medis berupa APD adalah yang paling banyak. Dan karena terbuat dari sejenis plastik maka terurainya memakan waktu lama.

Namun beberapa bahan dapat didaur ulang dengan syarat melakukan disinfeksi terlebih dahulu kemudian didaur ulang menurut jenis plastiknya. 

"Masalahnya saat ini tidak banyak fasilitas disinfeksi yang tersebar dan volume yang cukup, biasanya menggunakan autoclave," kata Dwi.

Jika tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk limbah medis, Dwi mengatakan terpaksa harus dikelola di TPA dengan catatan dicacah terlebih dahulu agar tidak disalahgunakan. 

"Meminimalisir bisa menggunakan APD tidak sekali pakai dengan melakukan disinfeksi APD. Sudah ada beberapa panduan untuk memakai ulang APD. Tapi mungkin dengan kolapsnya layanan kesehatan, melakukan disinfeksi tidak dimungkinkan karena tenaganya sudah kelelahan," ujar Dwi.

Baca Juga: Mahal Banget, Begini Cara Mendapatkan Obat Terapi COVID-19 Actemra   

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya