Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Wakil MPR: Penyusunan RUU Kesehatan Harus Hati-Hati

Baju Etnik Lestari Moerdijat (instagram.com/lestarimoerdijat)

Jakarta, IDN Times - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengingatkan supaya penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan mengedepankan prinsip kehati-hatian.

Terutama karena adanya penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika, sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 di RUU Kesehatan yang akan bersifat omnibus law itu.

"Dalam menanggapi adanya upaya menyetarakan tembakau dengan narkotika dalam pembahasan RUU Kesehatan dewasa ini, semua pihak harus mengedepankan kehatian-hatian," ucap Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat dalam keterangannya yang diterima IDN Times, Rabu (21/6/2023).

1. Pembahasan RUU Kesehatan harus pertimbangkan berbagai aspek

Ilustrasi petani tembakau. (ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Lestari menyebut, jika hasil olahan tembakau dianggap masuk kategori narkotika dan psikotropika, hal itu akan menimbulkan diskriminasi terhadap petani tembakau.

"Kondisi itu pun akan berdampak secara ekonomi terhadap petani tembakau. Selain itu, narkotika dan psikotropika sudah diatur dalam undang-undang khusus," ujarnya.

Selain itu, Lestari mengingatkan, langkah memasukkan tembakau bersama alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam satu pasal zat adiktif di RUU Kesehatan akan menimbulkan masalah sosial.

"Pembahasan mengenai RUU Kesehatan itu harus mempertimbangkan berbagai dampak terhadap berbagai pihak dan berbagai aspek,"ujarnya.

2. Transparansi dalam pembahasan RUU penting

ilustrasi rancangan undang-undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Lestari juga mengingatkan transparansi sangat penting dalam proses pembahasan RUU Kesehatan.

"Supaya para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat memahami latar belakang dan tujuan kebijakan itu dibuat," ujarnya.

3. Pasal tembakau kontroversial

ILUSTRASI menjemur tembakau (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Sementara itu, anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, khawatir jika Pasal 154 sampai Pasal 158 dalam RUU Kesehatan benar-benar disahkan.

"RUU Kesehatan, khususnya Pasal 154-158 itu nuansanya tidak adil. Karena RUU itu menyamakan tembakau dengan narkotika. Padahal industri hasil tembakau itu legal," tegasnya.

Industri hasil tembakau memiliki izin dan diatur undang-undang serta peraturan lainnya. Industri ini, sebut Panggah, juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat.

Pemberlakuan pasal tembakau yang dinilai kontroversial tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif kepada semua masyarakat yang hidupnya bersinggungan dengan tembakau.

4. Sebanyak 6 juta orang gantungkan hidup di industri kecil tembakau

Ilustrasi sawah mengalami kekeringan. ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Ia menjelaskan ada sekitar 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari industri hasil tembakau.

Menurutnya apabila dalam satu rumah ada tiga orang, maka ada 18 juta jiwa yang mengandalkan hasil tembakau. Industri tembakau juga menyumbangkan cukai ke negara lebih dari Rp200 triliun.

Oleh karena itu, Panggah dengan tegas menolak pasal-pasal yang berkaitan dengan tembakau dalam RUU Kesehatan.

"Kami meminta agar pasal tembakau itu dikeluarkan dari RUU Kesehatan. Tembakau bisa diatur dalam peraturan terpisah dan tidak digabung dengan pasal yang mengatur tentang narkotika," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Triyan Pangastuti
EditorTriyan Pangastuti
Follow Us