Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WANSUS: Pilkada Langsung Masih Lebih Baik Dibanding Penunjukkan DPRD

Peneliti dari Institute for Advanced Research (IFAR), Unika Atma Jaya, Yoes C. Kenawas. (Dokumentasi IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Pilkada serentak 2024 sudah digelar pada 27 November lalu. Namun, mayoritas calon kepala daerah yang bertarung di Pilkada 2024 terafiliasi dengan dinasti politik. 

Data yang dirilis oleh Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya menunjukkan ada 605 calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan tiga pilkada serentak sebelumnya yang mencapai 306 kandidat. 

Peneliti IFAR, Yoes C. Kenawas menjelaskan alasan utama terjadinya peningkatan calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik lantaran tidak ada aturan yang melarangnya.

"Dulu kita punya aturan untuk melarang kerabat berkompetisi di pilkada, namun itu dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi)," ujar Yoes ketika berbincang khusus di program Gen Z Memilih dan tayang di YouTube IDN Times

Selain itu, ia turut menyoroti perilaku pembentukan dinasti politik baru yang terjadi di level presiden. Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo langsung memberikan contoh pembentukan dinasti politik dengan mendukung penuh putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi Wakil Presiden.

Tidak ada jeda waktu bagi Gibran untuk naik menjadi Wapres. Begitu Jokowi lengser, Gibran mendampingi Prabowo Subianto menjadi penguasa selanjutnya. 

"Alhasil, proses itu dianggap normal oleh sebagian masyarakat," tutur dia. 

Kini suara yang menginginkan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat mekanisme DPRD kembali santer. Para elite parpol berdalih hal tersebut dipicu biaya pemilihan kepala daerah yang mahal. 

Bagaimana publik menyikapi usulan agar kepala daerah dipilih kembali lewat DPRD? Apa pertanggung jawaban yang bisa diberikan oleh parpol lantaran ikut andil menyuburkan dinasti politik? Simak perbincangan IDN Times dengan Yoes C. Kenawas berikut ini. 

Mengapa bisa terjadi peningkatan kandidat dari dinasti politik pada pilkada serentak 2024? Tiga pilkada sebelumnya ada 306 kandidat, kini menjadi 605 kandidat.

Temuan soal meningkatnya kandidat Pilkada dari dinasti politik. (Tangkapan layar zoom)

Jadi, kalau kita bandingkan Pilkada 2024 dengan tiga pilkada serentak sebelumnya ada peningkatan (jumlah politisi dinasti yang berkompetisi) hampir dua kali lipat. Di mana sebelumnya hampir 306 (politisi dinasti) sekarang 605 kandidat yang terafiliasi politik dinasti. 

Mereka yang terafiliasi dengan politik dinasti adalah mereka yang punya hubungan kekerabatan dengan petahana sebelumnya atau mereka yang pernah menjabat kepala daerah sebelumnya atau mereka yang punya hubungaan kekerabatan dengan anggota DPR atau DPRD. Itu jumlahnya meningkat dua kali lipat. Kenapa?

Karena, pertama banyaknya kepala daerah yang masa jabatannya itu habis pada 2024. Saat mereka sudah menjabat sebanyak dua periode, mereka tak bisa lagi running untuk periode ketiga, maka kemudian yang dimajukan adalah anggota keluarganya. 

Itu pilihan mereka untuk terus menerus mempertahankan kekuasaan di daerah tersebut. Pola lain yang kami lihat juga adalah banyaknya mantan kepala daerah yang dulu pernah berkuasa, misalnya masa kuasanya habis pada 2015, 2017, sekarang kembali memajukan anggota keluarganya. Lagi-lagi tujuannya sama supaya bisa berkuasa lagi dan memperpanjang kekuasaannya. 

Pola yang lain yang kami lihat adalah mereka yang tadinya duduk di DPR atau DPRD, kemudian mencalonkan anggota keluarganya di Pilkada 2024, itu fungsinya untuk memperluas kekuasaan mereka. 

Ada juga misalnya gubernur yang mencalonkan anaknya di pilkada bupati, itu juga banyak. Kenapa makin banyak? Selain karena tadi masa jabatan sudah habis dan masih ingin berkuasa, yang paling penting adalah gak ada aturan yang melarang mereka untuk running di dalam pilkada. 

Dulu kita punya aturan untuk melarang kerabat berkompetisi di Pilkada, namun itu dibatalkan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dan paling penting ini menurut saya ada pengaruh dari Pilpres 2024, di mana ada normalisasi terhadap politik dinasti yang dilakukan oleh pejabat. 

Di pilpres 2024, ada pembentukan dinasti politik pertama dalam sejarah Republik Indonesia yang terjadi dari bapak ke anak di level presiden. Kejadian itu secara langsung, bukan ada jeda. Tetapi, langsung diteruskan. 

Selama proses itu juga dinormalisasikan. Katanya tidak apa-apa, karena yang memilih adalah rakyat. 

Namun, pilihan masyarakat di kertas suara itu ditentukan oleh elit dan partai. Jadi, itu adalah beberapa faktor yang bikin kandidat dinasti jumlahnya meledak. 

Selain itu, kita juga bisa bicara banyak soal misalkan partai politik. Pembuatan keputusan di partai politik. Selama ini dilakukan secara tidak transparan, siapa yang memutuskan dan lain-lain. 

Kami dengar ada yang memberikan mahar politik. Selain memberikan mahar politik, parpol juga memilih mereka yang popularitasnya tinggi supaya peluang kemenangannya besar. Mereka yang popularitasnya sudah tinggi, kan gak ujuk-ujuk langsung tinggi. 

Di situasi demikian, politisi dinasti sebenarnya diuntungkan. Kenapa? Karena mereka punya waktu, sumber daya untuk mempopulerkan diri mereka supaya muncul di survei. 

Mereka juga memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh petahana. Contoh, misalnya ada bupati yang ingin running lagi lima tahun lagi. Selama lima tahun belakangan istrinya selalu muncul di berbagai poster, baliho, pemerintahan kabupaten setempat. Jadi, sudah curi start duluan dibandingkan calon lain yang gak punya previlleged seperti itu. 

Kandidat yang terafiliasi dengan dinasti politik memiliki lebih banyak sumber daya finansial?

Bisa diasumsikan seperti itu. Kalaupun mereka tidak memiliki kelimpahan dana secara finansial, mereka tahu akses-akses mana yang bisa dimintai untuk membiayai kampanye mereka. 

Hal lain yang juga bisa disorot di banyak tempat, ada semacam simbiosis mutualisme antara partai politik dengan politik dinasti. Politisi dinasti butuh partai politik untuk mendapatkan tiket atau perahu agar bisa running di Pilkada atau Pileg. 

Maju lewat partai politik dinilai lebih murah dibandingkan running sebagai calon independen. Karena ada kesulitan untuk mengumpulkan KTP dan harus melewati proses verifikasi yang lebih njelimet, jadi lebih susah. 

Sedangkan, buat partai politik, mereka butuh dinasti politik karena satu peluang untuk memenangkan pemilu lebih besar dibandingkan mereka yang tidak berasal dari dinasti politik. Selain itu, mereka punya resources yang cukup untuk membiayai kampanyenya sendiri sehingga partai politik gak harus keluar biaya lagi. 

Di masa normal yang mampu membiayai operasional parpol biasanya petahana. Kalau petahana berasal dari dinasti politik, maka mereka memiliki jaminan lebih untuk running tanpa operasional partai. 

Dari 605 kandidat dinasti politik yang maju di Pilkada 2024, itu ada di provinsi mana saja?

Kalau di tingkat provinsi, hampir di seluruh provinsi ada dinasti politik, kecuali yang baru dimekarkan seperti di Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, itu gak ada. Tapi, kandidat dinasti politik ada di setiap provinsi. Arenanya sudah disesaki oleh politisi dinasti. 

Di Aceh untuk tingkat provinsi, kandidatnya memang tidak ada dinasti politik. Tetapi, kalau kita zoom di level kandidat bupati atau wali kota, itu ada kandidat dari dinasti politik. 

Di beberapa daerah jadi lebih sesak karena ada kompetisi yang dilakukan oleh antar dinasti politik. Saya ambil contoh di Pilwalkot Makassar, ada empat calon. Berarti ada 8 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah. Tujuh individu di antaranya terafiliasi dengan dinasti politik. Contoh daerah lain misalnya Provinsi Banten. 

Artinya, ada daerah-daerah yang menjadi permainan dari keluarga tertentu saja. Politik itu hanya menjadi bisnis bagi keluarga tertentu saja. 

Sulit bagi masyarakat yang tidak memiliki darah biru untuk masuk ke arena atau kompetisinya. 

Pertama, memang secara teoritis selalu akan ada kemungkinan dinasti politik membawa nilai tertentu ke dalam pemilihan atau kampanye. Misalnya di Amerika Serikat (AS) ada keluarga Bush, Clinton dan Kennedy. Tiga keluarga ini mewakili dua partai yang berbeda; Demokrat dan Republik. 

Values-values yang mereka bawa sesuai. Misal kalau Bush yang terpilih jadi Presiden AS, kemungkinan kandidat selanjutnya juga akan membawa nilai tersebut. 

Tapi, semua yang mengkritik pihak yang menolak dinasti politik itu lupa, bahwa mereka yang dapat pencalonan melalui proses yang berjenjang dan berdarah-darah dulu di bawah. Makanya, seorang Jeb Bush bisa kalah dari Donald Trump di pemilu sebelumnya, karena ada proses yang harus dilalui.

Sedangkan, di Indonesia yang dilupakan, para calon kandidat dari dinasti politik ini bypass banyak hal. Kan argumennya 'oh, gak apa-apa, asalkan dipilih langsung oleh rakyat.' Tapi, yang rakyat terima di kertas suara, itu sudah melalui proses negosiasi politik tanpa melibatkan masyarakat. Mereka tidak melewati proses yang berjenjang. 

Apakah mereka dicalonkan lewat proses konvensi yang jelas. Apakah ditanyakan ke seluruh kader, dia calon yang paling tepat untuk partai tersebut? Kan gak ada proses itu. Jadi, dari awalnya saja sudah ada proses yang dicuri atau diakali. 

Poin lainnya, selama kandidat ini kinerjanya bagus, salahnya di mana? Permasalahannya di banyak daerah di Indonesia, yang namanya bagus itu adalah persepsi publik dan itu bisa diukur melalui survei. Itu bisa di-engineer setahun sebelumnya. 

Jadi, setahun sebelum pemilu, digelontorkan bantuan sosial. Lihat saja datanya. Setiap setahun sebelum pemilu, bansos itu nilainya selalu tinggi. 

Jalanan yang selama empat tahun sebelumnya gak dibangun lalu dibangun dalam kurun waktu setahun terakhir. Jadi, itu bisa direkayasa sehingga terkesan ada kepuasan terhadap kinerja si petahana. Sehingga, muncul justifikasi 'oh, kalau bagus, kenapa enggak (dipilih)?'

Tapi, yang kita lihat kan gak hanya kinerja jelang satu tahun menuju pemilu. Melainkan selama lima tahun ngapain aja. Karena ada daerah di Indonesia yang sudah dipimpin oleh kepala daerah dari dinasti selama 15-20 tahun ya gitu-gitu aja. 

Tingkat korupsi di daerah yang dipimpin oleh dinasti politik juga sangat akut kan?

Betul. Tapi, disclaimer dulu ya corruption is still corruption. Yang membedakan kepala daerah dari dinasti politik bila melakukan korupsi biasanya generasional. Bukan hanya dilakukan di lima tahun atau satu periode saja, tapi perbuatan itu dilakukan selama 15 tahun hingga 20 tahun. Selama keluarga itu masih berkuasa. 

Baru bisa ketahuan ketika tiba-tiba dibongkar oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Tapi, KPK pun sekarang juga sudah dilemahkan. Itu bahayanya kepala daerah dari dinasti politik. 

Bila dilihat secara keseluruhan, jumlah peserta di Pilkada 2024 menurun. Bila di pilkada sebelumnya bisa ada enam calon, ada daerah yang dulu rata-rata diisi oleh 4 hingga 6 calon, sekarang per daerah rata-rata hanya diajukan dua hingga tiga calon kepala daerah. 

Jadi, realitanya dari jumlah peserta yang sudah shrinking ini, kandidat yang terafiliasi dinasti politik justru semakin banyak. Yang ditakutkan, lama kelamaan Indonesia akan menyerupai Filipina, di mana lebih dari 70 persen daerahnya dipimpin oleh dinasti. Akhirnya pembangunan hanya akan berlangsung gitu-gitu aja, manfaat pembangunan pun hanya dirasakan oleh sekelompok orang saja. 

Apalagi aturan pilkada di Indonesia, seandainya ada lebih dari dua paslon, let say suara dibagi rata ke tiga paslon, maka seorang calon kepala daerah hanya perlu memenangkan 35 persen suara. Alhasil, jumlah konstituen yang dirawat selama lima tahun hanya 35 persen porsi suara.  

Lalu, di mana pertanggung jawaban dari partai politik? Karena pangkal masalahnya kan ada di mereka

Ilustrasi bendera partai politik. (IDN Times/Yosafat)

Dalam situasi yang ideal, seharusnya perekrutan calon kepala daerah itu dilakukan secara berjenjang. Baik dari internal kader atau mereka locate tokoh-tokoh yang potensial yang dicalonkan. 

Tetapi, proses penjaringannya dilakukan secara berjenjang. Jadi, ada debat di internalnya, ada pemilihan kader, dan lain-lain. Permasalahannya, institusi atau aturan yang berlaku hari ini itu gak memberikan insentif kepada partai politik untuk mengubah aturan tersebut. 

Parpol juga sudah nyaman dengan kondisi yang sekarang. Misalkan parpol cukup memberikan endorsement lalu ada yang memberikan mahar. 

Lalu, mereka tak perlu lagi direpotkan dengan proses penyaringan dari bawah. Diputuskan oleh hanya segelintir orang atau elite di parpol. 

Apa sih syaratnya parpol mau berubah? Parpol itu kan seharusnya mendapatkan pendanaan dari negara dan bisa diaudit oleh negara. Sehingga, negara bisa tahu jeroannya parpol. 

Agak sulit dalam kondisi sekarang untuk mendapatkan satu perubahan yang sangat drastis dari parpol. Yang perlu dilakukan ada tekanan dari masyarakat untuk parpol bisa berubah atau setidaknya kelompok masyarakat sipil harus lebih sering ngomong dengan parpol. Paling tidak mereka elite-elite parpol ini jadi tergugah mendemokratisasi prosesnya. 

Tetapi, on paper agak susah meminta parpol untuk mengubah situasi sekarang. Karena mereka juga sudah nyaman dengan situasi yang ada sekarang. 

Artinya, partai politik menyadari adanya peningkatan calon kepala daerah dari dinasti politik dan mereka tak melakukan apapun?

Iya, karena awalnya tadi partai politik butuh calon dari dinasti politik. Karena apa? Karena dalam konteks pemilu legislatif, salah satu yang bisa mengumpulkan suara dalam jumlah besar adalah calon dari dinasti politik. 

Kalau melihat hasil pileg 2019 atau 2024, suara yang dikumpulkan oleh calon dari dinasti politik bisa memproduksi hingga dua kursi di DPR RI atau DPRD. Itu fakta saking besarnya mereka bisa menghasilkan suara. 

Jadi, parpol bisa diuntungkan tidak hanya dari segi finansial tetapi juga dalam hal kekuasaan saat pilkada, mereka juga memperoleh keuntungan. Ada beberapa parpol yang sengaja mendorong strategi seperti itu suaranya akan naik. 

Apakah Anda melihat justru suara yang menguat calon kepala daerah sebaiknya ditunjuk langsung oleh DPRD? Karena lewat mekanisme langsung malah berdampak buruk

Kalau saya melihatnya, Indonesia baru memasuki transisi demokrasi 20 atau 25 tahun. Itu sebenarnya waktu yang pendek untuk demokrasi. 

Demokrasi itu belum mengakar ke masyarakat. Butuh proses dan waktu. Kita melihat demokrasi hanya ketika pemilu digelar. Padahal, selama lima tahun proses demokrasi harus berjalan.  

Yang perlu dilakukan bila ada kelompok masyarakat sipil mulai lah dukung atau cari orang yang dapat dicalonkan. Buat namanya muncul di survei, artinya dalam empat tahun buat dia jadi populer sehingga ketika parpol melakukan survei, namanya muncul. Sehingga, dipertimbangkan oleh partai politik untuk diajukan. 

Karena demokrasi bukan perkara lima tahunan, tetapi selama empat tahun, kita ngapain aja. Permasalahannya kalau ditunjuk langsung oleh DPRD malah lebih mudah untuk memilih dinasti politik. 

Kan balik lagi ke hal tadi. Parpol dikuasai oleh elite tertentu dan lebih mudah juga bagi mereka untuk menunjuk seseorang menjadi kepala daerah di situ. Karena sudah ada keluarganya yang menjadi elite di parpol tersebut. 

Kalau sekarang, memang situasinya makin disesaki oleh calon kepala daerah dari dinasti politik, tetapi masih ada peluang bagi masyarakat untuk memilih alternatif dari dinasti politik. 

Berdasarkan data yang saya miliki, perimbangannya 50:50 antara calon kepala daerah dari dinasti politik dengan yang non dinasti. Dilemanya adalah mereka yang terpilih jadi kepala daerah bukan dari dinasti politik, setelah berkuasa ternyata malah ikut-ikutan membuat dinasti. 

Tetapi, poinnya pilkada langsung masih memberikan kesempatan bagi masyarakat the best fighting chance untuk mengganti kepemimpinan dibanding penunjukkan langsung. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Sunariyah
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us