5 Fakta Kelompok Pemberontak M23 yang Mengacau di Kongo Timur

Jakarta, IDN Times - Selama puluhan tahun, tentara Republik Demokratik Kongo (FARDC) telah bertempur dengan kelompok pemberontak bersenjata M23. Pemberontak tersebut merupakan salah satu dari sekitar 100 kelompok bersenjata lain yang aktif di wilayah timur negara tersebut.
Konflik antara M23 dengan FARDC telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. Dilansir dari The Guardian, sejak 1998, sekitar 6 juta orang tewas dan lebih dari 7 juta orang menjadi pengungsi di dalam negeri.
Kelompok pemberontak tersebut banyak yang berasal dari etnis minoritas Tutsi. Mereka memiliki hubungan dekat dengan etnis Tutsi di Rwanda, negara tetangga Kongo. Rwanda juga disebut-sebut mendukung pemberontak M23.
Berikut ini adalah lima fakta kelompok pemberontak M23 tersebut!
1. Kemunculan kelompok pemberontak M23

M23 adalah singkatan dari Mouvement du 23 Mars. Kelompok ini bermula dari proses integrasi militan Rwanda yang gagal usai Perang Kongo. Mereka beroperasi di Kivu Utara. Di satu sisi, ada kelompok yang ingin gabung dengan Rwanda, tapi di sisi lain ada yang ingin tetap tinggal di Kongo.
Dilansir dari laman resmi Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), kelompok yang bertahan di Kongo membentuk Defence of the People (CNDP). Inilah kelompok pendahulu M23.
Upaya integrasi para pejuang CNDP ke dalam militer Kongo (FARDC) terjadi pada 23 Maret 2009, tapi upaya itu gagal. Upaya integrasi kembali dilakukan pada 2012, tapi juga berujung kegagalan. Para pejuang CNDP yang membelot, kemudian mendirikan M23, merujuk tanggal 23 Maret 2009.
2. M23 menguasai ibu kota Goma
Kegagalan integrasi pada 2012 membuat kelompok yang membentuk M23 kemudian merebut Goma, ibu kota Kivu Utara. Namun, mereka menguasainya hanya sebentara, yakni 10 hari.
Dilansir ACLED, kekerasan politik meningkat akibat penguasaan Goma itu lalu akhirnya mereka mundur pada Desember 2012. Hal itu mengikuti perjanjian pemerintah Kongo dan M23 yang ditengahi oleh Presiden Uganda Yoweri Mouseveni, Presiden Malawi Joyce Ban dan Sekjen PBB Ban Ki-moon.
M23 masih menguasai daerah sekitar Goma di bulan-bulan setelahnya. Antara 2012 dan 2013, mereka disebut terlibat dalam lebih dari 20 persen aksi kekerasan di Kongo.
Lalu operasi militer besar-besaran FARDC membuat M23 terdesak. Ditambah keberadaan pasukan penjaga perdamaian PBB, serangan itu menimbulkan kerugian besar M23. Mereka akhirnya didorong ke Uganda, dengan pemimpinnya Sultani Makenga dan ratusan pejuang menyerah.
3. Masalah etnis Tutsi dan Hutu

Konflik antara Kongo dengan M23 saat ini adalah konflik rumit yang berasal dari kemelut peristiwa genosida pada 1990-an. Di Rwanda pada 1994, etnis Hutu membantai sekitar 1 juta etnis Tutsi dan Hutu moderat.
Etnis Tutsi yang melawan lalu membantu Rwandan Patriotic Front (RPF) berjuang untuk menghentikan genosida tersebut. RPF menang dan Rwanda dipimpin oleh Tutsi. Sedangkan Hutu melarikan diri ke Kongo, mengungsi di Kivu Utara dan Selatan.
Christopher P. Davey dalam tulisannya di The Conversation menjelaskan, di Kivu Utara dan Selatan sudah ada komunitas Tutsi sejak lama. Sebagian dari mereka direkrut oleh RPF untuk memerangi Hutu.
Ini menambah pertempuran sengit kelompok ekstrem Hutu dengan Tutsi. Tutsi di Kongo sendiri mengaku mendapatkan diskriminasi karena dianggap orang luar atau keturunan Rwanda.
Antara 1996-1997, RPF bersama sekutu Tutsi Kongo mengubah kamp pengungsi Hutu di Kongo timur menjadi ladang pembantaian.
Lalu antara 1998 hingga 2003, konflik terus berkecamuk menyasar warga Hutu dan Tutsi. Pada jangka waktu tersebut, kedua etnis yang bertikai mulai membentuk pasukan dengan Hutu membuat FDLR dan Tutsi nantinya menghasilkan M23.
4. Dugaan keterlibatan Rwanda

Usai M23 kalah, peristiwa politik yang melibatkan kelompok tersebut menurun. Hanya ada sedikit kasus yang dilaporkan di tahun-tahun berikutnya.
Namun pada 2021, kelompok ini kembali muncul sebagai aktor konflik yang menonjol. Menurut Delphin R. Ntanyoma di The Conversation, M23 bahkan disebut memiliki kemampuan melakukan serangan jarak jauh dan menjatuhkan helikopter.
Kemampuan yang meningkat itu, termasuk mereka mampu beroperasi sepanjang waktu karena peralatan penglihatan malam. Selain itu, mereka juga punya mortir dan senapan mesin. Senjata ini diduga didapat dari dinas keamanan Rwanda.
Pada 2022, M23 berhasil menguasai banyak wilayah di Kongo timur. Mereka terus melakukan pergerakan ofensif hingga kuartal pertama 2023 dalam upaya menuju dan merebut Goma.
Sampai saat ini, M23 masih terus melakukan pemberontakan dan berusaha menguasai beberapa wilayah lain di Kongo timur. Terbaru, pasukan mereka telah mencapai Sake, sekitar 15 kilometer di sebelah barat Goma. Banyak penduduk Sake yang mengungsi.
5. M23 ingin menguasai kekayaan mineral Kongo timur

Dugaan peran aktif Rwanda ikut campur dalam konflik ini adalah ketika mereka melakukan pengejaran pelaku genosida Tutsi pada pertengahan 1990-an. Keterlibatan mereka terus berlanjut dan mendukung kelompok M23, yang disebut-sebut sebagai kekuatan proksi Kigali.
Menurut publikasi Dewan Keamanan PBB bertahun 2014, Rwanda terbukti mendukung M23. Dilansir dari laman resminya, pasukan M23 menerima saran, pelatihan dan bantuan terkait kegiatan militer.
Sejak M23 terbentuk, mereka disebut telah melakukan serangkaian kejahatan termasuk pembunuhan massal warga sipil, memperkosa perempuan dan anak-anak di berbagai wilayah Kongo. M23 juga melakukan perekrutan paksa terhadap 146 pemuda dan anak-anak lelaki di Kongo timur sejak Juli 2012.
Selain masalah rumit pertikaian antar etnis dan keterlibatan negara-negara, keberadaan M23 juga disinyalir ingin menguasai Kongo timur yang kaya mineral. Ini terutama emas, bijih timah, kasiterit, coltan, kobalt, dan berlian.
Dilansir Deutsche Welle, PBB pada 2024 memperkirakan M23 mendapatkan penghasilan sekitar 300 ribu dolar (Rp4,8 miliar) per bulan lewat pajak informal produksi coltan. Coltan sendiri merupakan sumber utama unsur niobium dan tantalum yang digunakan dalam berbagai perangkat elektronik.