Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ahli: AS-Tiongkok akan Tetap Ribut meski Biden Jadi Presiden

Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden saat kampanye di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 11 Juni 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Bastiaan Slabbers

Jakarta, IDN Times – Hubungan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok telah diwarnai ketegangan sebelum Donald Trump dilantik jadi Presiden AS pada 2016. Bahkan, menurut William Reinsch, penasihat senior di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), hubungan kedua negara akan tetap dipenuhi perselisihan meski AS kini dipimpin Presiden Joe Biden.

“Trump, dalam pandangan saya, hampir membuat segalanya menjadi lebih buruk. Tetapi perselisihan dimulai sebelum Trump, dan itu akan terus berlanjut terlepas dari apa yang dilakukan Biden. Saya tidak berpikir dia akan memerintahkan perusahaan untuk pergi, tapi menurut saya dia juga tidak akan mendorong mereka untuk tinggal,” kata Reinsch, menurut CNBC, Senin (25/1/2021).

1. Hubungan AS-Tiongkok memburuk di bawah Pemerintahan Trump

Presiden Donald Trump sedang berbincang dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping (ANTARA FOTO/REUTERS/Carlos Barria)

Hubungan Amerika dengan Tiongkok semakin memburuk di bawah Pemerintahan Trump. Di mana ketegangan dagang antara kedua ekonomi terbesar di dunia itu telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Meski kedua negara mencapai kesepakatan perdagangan fase satu pada Januari 2020, namun perselisihan mereka telah meluas ke sektor teknologi dan keuangan. Bahkan, banyaknya perselisihan tersebut telah memunculkan kekhawatiran bahwa kedua negara mungkin akan melakukan pemisahan diri (decoupling).

2. Isu Hak Asasi Manusia

Situasi sebuah sekolah di Provinsi Xinjiang, Tiongkok, 11 Juli 2019. (IDN Times/Uni Lubis)

Salah satu perselisihan antara AS-Tiongkok yang telah terjadi sejak lama adalah terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Muslim Uighur oleh Tiongkok di wilayah Xinjiang.

Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) dan CSIS menulis laporan yang mengklaim bahwa orang Uighur telah dikirim ke pabrik-pabrik di seluruh Tiongkok dan dipaksa untuk bekerja. Departemen Luar Negeri dan Departemen Tenaga Kerja AS juga telah mengeluarkan laporan yang menggambarkan kerja paksa terhadap orang Uighur di Tiongkok.

Namun, Tiongkok membantah tuduhan tersebut.

“Semua kelompok etnis di Xinjiang memilih pekerjaan mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri,” katanya CNBC pada bulan Desember.

3. Dampak perselisihan ke perusahaan AS

Ilustrasi harta kekayaan (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Reinsch, perselisihan kedua negara dalam berbagai hal itu telah merugikan perusahaan AS. Apalagi setelah AS memberlakukan RUU yang melarang impor barang atau jasa yang terkait tindakan kerja paksa.

“Perusahaan Amerika merasa lebih sulit untuk beroperasi di China. Terus terang, tindakan China akhir-akhir ini membuat perusahaan sangat sulit bertahan di sana, terutama perusahaan yang menghadapi bisnis dan ritel yang berhadapan dengan konsumen. Mereka sangat sensitif terhadap isu tersebut," katanya kepada “Street Signs Asia” CNBC sebagai bagian dari Davos Agenda 2021 Forum Ekonomi Dunia (WEF).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rehia Sebayang
Dwi Agustiar
Rehia Sebayang
EditorRehia Sebayang
Follow Us