Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

AS Pertimbangkan Mencabut Status Teroris HTS

ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)
Intinya sih...
  • AS mencabut hadiah sayembara 10 juta dolar untuk pemimpin HTS setelah pertemuan diplomatik di Suriah.
  • Pertemuan tersebut merupakan kunjungan diplomatik resmi AS pertama ke Suriah dalam satu dekade, membahas isu domestik dan regional.
  • Delegasi AS juga membahas pencarian warga AS yang hilang di bawah rezim Assad, termasuk jurnalis Austin Tice.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) secara resmi mencabut hadiah sayembara senilai 10 juta dolar AS atau sekitar Rp161 miliar untuk Ahmed al-Sharaa, pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Keputusan ini diambil setelah pertemuan bersejarah antara delegasi AS dan pemimpin HTS di Damaskus, Suriah, Jumat (20/12/2024).

Melansir BBC, pertemuan ini merupakan kunjungan diplomatik resmi pertama AS ke Suriah dalam lebih dari satu dekade. Momen ini terjadi kurang dari dua minggu setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, di mana HTS muncul sebagai kekuatan terkuat dalam perpolitikan Suriah saat ini.

Al-Sharaa memberikan jaminan kepada delegasi AS bahwa ISIS dan kelompok teroris lainnya tidak akan diizinkan beroperasi di wilayah Suriah. 

1. Pertemuan bersejarah AS-HTS

Delegasi AS dipimpin oleh Barbara Leaf, diplomat senior untuk Timur Tengah, bersama Roger Carstens, utusan khusus Presiden AS untuk urusan sandera, dan Daniel Rubinstein, penasihat senior Biro Urusan Timur Dekat AS (NEA). Diskusi tersebut berlangsung hampir 2 jam dan dinilai berjalan produktif membahas berbagai isu domestik dan regional.

Keputusan pencabutan hadiah tebusan merupakan langkah AS untuk membangun hubungan dengan kepemimpinan baru Suriah. Penerapan hadiah sayembara dianggap tidak lagi sejalan dengan upaya membangun dialog konstruktif dengan pemimpin HTS.

"Jika saya sedang duduk dengan pemimpin HTS dan melakukan diskusi panjang lebar tentang kepentingan AS, kepentingan Suriah, mungkin kepentingan kawasan, cukup tidak masuk akal jika masih ada hadiah tebusan untuk kepalanya," ujar Leaf, dilansir The Guardian. 

Al-Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan nama perang Abu Mohammed al-Jolani, dinilai menunjukkan sikap pragmatis selama pertemuan. Pemimpin HTS ini menyampaikan pernyataan moderat terkait berbagai isu, seperti hak-hak kelompok minoritas.

2. AS pertimbangkan cabut status teroris HTS

HTS masih berstatus organisasi teroris dalam catatan AS dan masuk daftar sanksi Dewan Keamanan PBB selama lebih dari satu dekade. Status ini membuat Suriah menghadapi kendala dalam pemulihan ekonomi akibat sanksi internasional yang masih berlaku.

Kelompok ini sebelumnya dikenal sebagai Front Nusra dan memutus hubungan dengan Al-Qaeda pada 2016. Perubahan haluan ini menandai transformasi kelompok yang kini menguasai Suriah pasca jatuhnya rezim Assad ini.

Melansir Washington Post, AS membuka peluang pencabutan status teroris HTS jika kelompok ini membuktikan kemampuannya memerintah secara inklusif dan bertanggung jawab.

"Kami akan menilai berdasarkan tindakan, bukan sekadar kata-kata. Tindakan adalah hal yang krusial," ujar Leaf.

Dalam wawancara dengan BBC sebelumnya, Al-Sharaa menyatakan tidak ingin mengubah Suriah menjadi seperti Afghanistan. Al-Sharaa berjanji untuk menjamin kesetaraan hak pendidikan perempuan dan keadilan bagi semua pihak yang menjadi korban rezim Assad.

3. AS cari warganya yang hilang di Suriah

Delegasi AS juga membahas nasib warga negaranya yang hilang selama pemerintahan Assad. Nama paling menonjol adalah Austin Tice, jurnalis AS yang diculik di Damaskus pada 2012, dan Majd Kamalmaz, psikoterapis Amerika-Suriah yang hilang pada 2017.

Tim pencari fakta AS telah mengidentifikasi enam fasilitas yang diduga pernah menjadi lokasi penahanan Tice. HTS berkomitmen membantu pencarian warga AS yang hilang di bawah rezim Assad.

Roger Carstens mengungkapkan kemungkinan adanya 20 hingga 40 penjara rahasia era Assad yang perlu diselidiki. Tim penyelidik AS bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk mitra, sekutu, LSM, dan media untuk menginvestigasi fasilitas-fasilitas tersebut.

"Seiring waktu, dalam beberapa hari, minggu, dan bulan mendatang, menjadi tugas dan tanggung jawab kami untuk mendatangi enam lokasi pertama dan menyelidikinya secara menyeluruh. Selain mengetahui bahwa mitra, sekutu, dan teman kami telah menelusurinya, kami perlu menyempurnakan pengumpulan bukti dengan cara yang hanya bisa dilakukan FBI," kata Cartens, dilansir CNN. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us