Dituduh Menghina Monarki, Thailand Cabut Visa Seorang Akademisi AS

- Otoritas imigrasi Thailand mencabut visa Paul Chambers yang ditahan atas tuduhan pencemaran nama baik kerajaan.
- Chambers didakwa menghina monarki dan melanggar Pasal 112 KUHP negara, yang dapat menyebabkan hukuman penjara selama puluhan tahun.
- Pihak berwenang AS prihatin dengan penangkapan Chambers dan mendesak Thailand untuk melindungi kebebasan berekspresi sesuai kewajiban internasional.
Jakarta, IDN Times - Otoritas imigrasi Thailand pada Rabu (9/4/2025) mencabut visa seorang laki-laki Amerika Serikat (AS) yang ditahan sehari sebelumnya atas tuduhan pencemaran nama baik kerajaan.
Laki-laki tersebut bernama Paul Chambers, yang merupakan akademisi dan telah menghabiskan lebih dari satu dekade mengajar politik Asia Tenggara di Naresuan University. Ia ditangkap pada 8 April dan didakwa menghina monarki, setelah permintaan jaminannya ditolak oleh pengadilan di provinsi Phitsanulok.
Kasusnya ini merupakan contoh langkah tentang warga negara asing yang melanggar hukum lese-majeste terketat di dunia, yang melindungi Raja Maha Vajiralongkorn dan keluarga dekatnya dari kritik apa pun dan dapat menyebabkan hukuman penjara selama puluhan tahun, The Straits Times melaporkan.
1. Monarki Thailand dilindungi oleh Pasal 112 KUHP
Polisi mengatakan Chambers melapor ke kantor polisi di provinsi tersebut untuk menjawab tuduhan lese-majeste, setelah surat perintah penangkapannya dikeluarkan pekan lalu. Ini menyusul pengaduan yang diajukan oleh militer Thailand pada awal tahun ini. Chambers juga didakwa dengan pelanggaran kejahatan komputer.
Monarki Thailand dilindungi oleh Pasal 112 KUHP negara. Dalam undang-undang (UU) tersebut disebutkan bahwa siapapun yang terbukti bersalah mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, pewaris tahta, atau bangsawan akan dihukum dengan penjara 3 hingga 15 tahun.
"Dia mengakui dua tuduhan, termasuk pelanggaran Pasal 112," kata seorang petugas polisi Phitsanulok yang tidak mau disebutkan namanya.
2. Pengacara Chambers membantah tuduhan yang diajukan
Wannaphat Jenroumjit, yang merupakan seorang pengacara di kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand (Thai Lawyers for Human Rights/TLHR) dan mewakili Chambers, membantah tuduhan tersebut.
Ia mengatakan tuduhan itu bermula dari sebuah tulisan singkat tentang seminar akademisi online pada 2024, di mana Chambers menjadi pembicaranya. Tulisan singkat itu diunggah di situs web sebuah lembaga penelitian yang berbasis di luar Thailand.
"Polisi imigrasi baru saja datang ke pusat penahanan tadi sore. Pengacara telah diberitahu bahwa polisi imigrasi telah mencabut visa Paul Chambers," ujarnya di X.
TLHR mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan banding atas keputusan pencabutan visa dalam waktu 48 jam dan melanjutkan upaya untuk menjamin pembebasan Chambers.
Terkait Chambers, Departemen Luar Negeri AS mengatakan pihaknya prihatin dengan penangkapan seorang warga negara AS. Pihaknya mendesak otoritas Thailand, baik secara pribadi maupun publik untuk melindungi kebebasan berekspresi sesuai dengan kewajiban internasional Thailand.
3. Banyak orang ditangkap karena melanggar hukum lese-majeste di Thailand

Para penganut kerajaan Thailand menganggap monarki sebagai sesuatu yang sakral. Pembahasan hukum di depan publik selama beberapa dekade telah menjadi isu yang tabu, dengan puluhan orang dipenjara karena dianggap menghina kerajaan.
TLHR mencatat, sejak protes anti pemerintah yang dipimpin oleh mahasiswa pada 2020 yang memicu seruan untuk menghapus UU terkait pasal 112, sebanyak 279 orang telah didakwa dengan tuduhan lese-majeste.
Beberapa tokoh mahasiswa terkemuka yang menyerukan pencabutan UU tersebut telah dipenjara. Lembaga pengawas internasional telah menyatakan kekhawatirannya atas penggunaan Pasal 112 terhadap akademisi, aktivis, dan bahkan mahasiswa.
Pada 2023, seorang pria dipenjara selama dua tahun karena menjual kalender satir yang menampilkan bebek karet, yang menurut pengadilan telah mencemarkan nama baik raja.