Eks Presiden Korsel: Darurat Militer Bukan Pemberontakan

Jakarta, IDN Times - Mantan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol membantah tuduhan pemberontakan dalam sidang kriminal pertamanya pada Senin (14/4/2025). Sidang digelar setelah Yoon resmi dicopot dari jabatannya pada awal April melalui proses pemakzulan akibat deklarasi darurat militer pada Desember 2024.
Yoon menjadi presiden pertama Korsel yang ditangkap saat masih menjabat pada Januari lalu, meskipun kemudian dibebaskan karena alasan prosedural. Dalam persidangan di Pengadilan Distrik Pusat Seoul, Yoon menolak semua dakwaan dan langsung membela diri.
1. Tuduhan jaksa tentang upaya kudeta terencana
Jaksa penuntut memulai sidang dengan argumen bahwa Yoon tidak memiliki dasar hukum untuk mendeklarasikan darurat militer. Mereka mengajukan bukti perencanaan darurat militer Yoon sebelumnya dan pengerahan militer ke parlemen dengan perintah merusak.
"Terdakwa telah melumpuhkan kemampuan lembaga negara untuk menjalankan tugas mereka dengan mengeluarkan deklarasi yang melanggar hukum," kata jaksa penuntut, dikutip Al Jazeera.
Jaksa juga menyoroti penunjukkan Kim Yong-hyun, mantan kepala Layanan Keamanan Presiden, sebagai menteri pertahanan pada awal September 2024. Penunjukan ini dilakukan hampir tiga bulan sebelum darurat militer diberlakukan, diduga untuk mempersiapkan deklarasi tersebut.
Pengadilan akan mendengar kesaksian dari dua perwira militer yang dipanggil jaksa. Salah satu perwira mengklaim menerima perintah dari komandan tertinggi untuk menggagalkan upaya anggota parlemen mencabut darurat militer. Saat itu, parlemen berhasil menolak deklarasi darurat militer Yoon dan memaksanya mundur dalam beberapa jam.
2. Yoon klaim darurat militer bukan pemberontakan
Yoon berargumen deklarasi darurat militernya tidak bisa dikategorikan sebagai pemberontakan karena sifatnya yang singkat dan damai. Dia menilai tindakannya berbeda dari darurat militer di masa lalu yang bertujuan memaksakan aturan militer.
"Darurat militer dideklarasikan untuk memberi tahu publik tentang situasi negara yang putus asa. Ini berbeda dari darurat militer di masa lalu, yang bertujuan memaksakan aturan militer. Ini dibuat untuk melindungi kebebasan dan demokrasi," ujar Yoon, dikutip dari The Korea Herald.
Yoon juga membantah tuduhan bahwa dia mengirim pasukan untuk mengganggu upaya parlemen. Dia mengaku berusaha meminimalkan pengerahan personel militer hanya untuk menjaga ketertiban umum dan mencegah insiden setelah deklarasi tersebut.
Yoon juga menolak tuduhan jaksa bahwa dirinya telah mempersiapkan darurat militer jauh-jauh hari. Menurutnya, persiapan darurat militer adalah hal rutin yang selalu dilakukan pemerintah sebagai bagian dari prosedur keamanan nasional.
3. Yoon terancam penjara seumur hidup atau hukuman mati
Sidang hari Senin berlangsung dengan berbagai pembatasan akses publik. Yoon memasuki gedung pengadilan melalui parkir bawah tanah sesuai pertimbangan keamanan dari pengadilan.
Ahli hukum memprediksi proses persidangan akan berlangsung lama hingga beberapa bulan. Pengacara Min Kyoung-sic memprediksi bahwa putusan mungkin baru keluar sekitar Agustus 2025.
"Putusan pertama kemungkinan akan disampaikan sekitar Agustus, tetapi kasus ini melibatkan sekitar 70 ribu halaman bukti dan banyak saksi. Jadi jika dianggap perlu oleh pengadilan, persidangan mungkin akan diperpanjang," jelas Min, dikutip CNA.
Jika terbukti bersalah, Yoon akan menjadi presiden Korsel ketiga yang dinyatakan bersalah atas pemberontakan, setelah dua pemimpin militer terkait kudeta 1979. Dia terancam hukuman penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Namun, hukuman mati kemungkinan tidak akan dilaksanakan karena Korsel sudah tidak menjalankan eksekusi selama sejak 1997.