Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Filipina Juga Pernah Hadapi Revisi Sejarah, Bagaimana Rakyat Melawan?

bendera Filipina (Pexels.com/Emmanuel Nicolas Jr.)
bendera Filipina (Pexels.com/Emmanuel Nicolas Jr.)
Intinya sih...
  • Masyarakat khawatir buku-buku sejarah akan direvisi atau ditarik dari peredaran menjelang pelantikan Marcos Jr.
  • Marcos Jr. ingin mengubah isi buku pelajaran dan menunjuk putri mantan presiden sebagai Menteri Pendidikan, memicu kekhawatiran masyarakat.
  • Masyarakat 'panic buying' buku-buku sejarah untuk melindungi kebeneran.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kontroversi penulisan ulang sejarah Indonesia saat ini menjadi hal yang ramai diperbincangkan. Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait 'rumor pemerkosaan di Mei 1998' membuat banyak pihak marah.

Namun, rupanya penghapusan sejarah kelam tak hanya terjadi di Indonesia. Filipina menjadi salah satu negara terdekat yang pernah juga menghadapi kekhawatiran 'merevisi' sejarah yang membuat trauma banyak pihak tersebut.

Bahkan, Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr yang hal tersebut. Langkah ini diambil Marcos Jr untuk 'mengembalikan' reputasi sang ayah, Marcos Sr, yang dikenal diktator dan korup.

Meski demikian, sejumlah rakyat Filipina melawan hal tersebut. Mereka tidak mau jika sejarahnya dihapus.

Bagaimana mereka melawan revisi sejarah ini?

1. Kekhawatiran publik atas penghapusan sejarah

ilustrasi toko buku bekas (unsplash.com/freestocks)
ilustrasi toko buku bekas (unsplash.com/freestocks)

Jelang pelantikan Marcos Jr pada 2022, kekhawatiran masyarakat meningkat bahwa buku-buku dan catatan mengenai kekejaman masa ayahnya akan ditarik dari peredaran atau diubah. Karenanya mereka memburu buku-buku sejarah di sejumlah toko buku.

Kekhawatiran tersebut tidak lepas dari upaya panjang keluarga Marcos untuk memulihkan nama mereka melalui apa yang disebut para pengkritik sebagai kampanye revisi sejarah.

Masyarakat sampai 'panic buying' karena khawatir buku-buku itu ditarik semua dan direvisi ulang. Salah satu pembeli, Faith Alcazaren, seorang ibu dua anak, membeli beberapa bundel buku tambahan untuk dikirim ke teman-temannya di luar negeri.

"Saya merasa hal terkecil yang bisa saya lakukan dan saya punya kendali atasnya adalah melindungi kebenaran," ujarnya.

Selama darurat militer dari tahun 1972 hingga 1981, ribuan orang yang menentang Marcos Sr. dipenjara, dibunuh, atau hilang, sementara keluarga Marcos dituduh menjarah miliaran dolar dari kekayaan negara.

2. Ancaman revisi sejarah

Presiden terpilih Prabowo Subianto ketika bertemu dengan Presiden Filipina, Ferdinand Romualdez Marcos Jr di Istana Malacanang. (Dokumentasi media Kemhan)
Presiden terpilih Prabowo Subianto ketika bertemu dengan Presiden Filipina, Ferdinand Romualdez Marcos Jr di Istana Malacanang. (Dokumentasi media Kemhan)

Marcos Jr. secara terbuka menyatakan keinginan untuk mengubah isi buku pelajaran, menyebut isinya tidak benar. Kala itu, keputusan menunjuk Sara Duterte-Carpio, putri mantan Presiden Rodrigo Duterte, yang merupakan wakilnya sebagai Menteri Pendidikan juga memicu kekhawatiran bahwa keluarga Marcos akhirnya berhasil mengukuhkan versi sejarah yang telah dibersihkan.

"Kami sudah menganggap pengajaran sejarah di sekolah dasar sangat kurang dalam menjelaskan makna darurat militer kepada anak-anak," ujar Profesor Ramon Guillermo dari Universitas Filipina.

"Jika Marcos dan Duterte kembali berkuasa bersama, situasi bisa jadi makin sulit untuk mengajarkan apa yang benar-benar terjadi," imbuh Guillermo.

Namun, saat ini Sara Duterte menjadi 'musuh' Marcos Jr. Ia dimakzulkan karena dianggap tidak sejalan dengan sang presiden.

3. Melawan penghapusan sejarah

Cristina Bawagan, korban kekerasan pada rezim Ferdinan Marcos Sr (Twitter.com/Jacquelyn Robles)
Cristina Bawagan, korban kekerasan pada rezim Ferdinan Marcos Sr (Twitter.com/Jacquelyn Robles)

Guillermo dan lebih dari 1.700 akademisi lainnya menandatangani manifesto untuk melawan segala bentuk pemalsuan sejarah, sensor, dan pelarangan buku. Manifesto ini diluncurkan setelah sebuah penerbit buku anak-anak yang menjual lima judul bertema diktator dan darurat militer—dalam paket "#NeverAgain Book Bundle"—dicap sebagai organisasi komunis oleh sebuah satuan tugas pemerintah.

"Never Again!" adalah seruan jutaan rakyat yang turun ke jalan dalam Revolusi Rakyat (People Power) tahun 1986, yang berhasil menggulingkan rezim Marcos dan membuat keluarga itu melarikan diri ke Hawaii.

"Sejarah memang tidak bisa dibeli, tapi buku-buku sejarah bisa kita beli," tulis seorang pembeli buku di Instagram.

"Kami akan terus melawan revisi sejarah," ucap pembeli dikutip dari ABC News.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us