Polemik Pemerkosaan Mei 1998, DPR: Jangan Tutupi Sejarah Tragedi Kemanusiaan

- Sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif
- TGPF 1998: ada 52 korban pemerkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan
- Fadli Zon: Laporan TGPF cuma sebut angka tanpa data pendukung
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian, menanggapi pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon yang menyebut, tidak ada pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998.
Hadrian menilai, pernyataan tersebut berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Ia pun menekankan, jangan menutup fakta sejarah mengenai tragedi kemanusiaan tersebut.
Tragedi 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual. Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
"Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah," kata Hadrian dalam keterangannya, Selasa (17/6/2025).
"Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan," ujar Lalu.
1. Sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif

Hadrian menyebut, penyangkalan terhadap fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998, sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.
"Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka," ungkap dia.
Hadrian mengingatkan, sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Ia menegaskan, sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.
"Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis," jelasnya
2. Temuan TGPF 1998: ada 52 korban pemerkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan

Berdasarkan Laporan Akhir TGPF Peristiwa 13-15 Mei 1998, ditemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Dari jumlah korban kekerasan seksual yang dilaporkan dan telah diverifikasi sampai akhir masa kerja TGPF, ditemukan adanya 52 korban pemerkosaan dan 14 korban perkosaan dengan penganiayaan. Sehingga total ada 66 korban pemerkosaan.
Ada pula, 10 korban yang masuk kategori penyerangan/penganiayaan seksual. Kemudian, 9 korban mengalam pelecehan seksual.
Selain korban kekerasan seksual yang terjadi dalam kerusuhan Mei, TGPF juga menemukan korban-korban kekerasan seksual yang terjadi sebelum dan setelah kerusuhan Mei. Kasus-kasus kekerasan seksual ini ada kaitannya dengan kasus-kasus seksual yang terjadi selama kerusuhan. Dalam kunjungan ke daerah Medan, TGPF telah mendapatkan laporan tentang ratusan korban pelecehan seksual yang terjadi panda kerusuhan tanggal 4 sampai 8 Mei 1998. Setelah kerusuhan Mei, dua kasus terjadi di Jakarta pada 2 Juli 1998 dan dua terjadi di Solo pada tanggal 8 Juli 1998.
"Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/ bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain," demikian bunyi laporan TGPF.
Dalam laporan ini juga dijelaskan bagaimana kronologi berbagai kasus pemerkosaan yang terjadi saat peristiwa kerusuhan 1998.
Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung, telah dibentuk TGPF pada tanggal 23 Juli 1998. Tim Gabungan ini bekerja dalam rangka menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latar belakang peristiwa 13 sampai 15 Mei 1998.
TGPF terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Sejak dibentuk dalam masa tiga bulan TGPF telah melaksanakan tugas-tugasnya yang berakhir pada tanggal 23 Oktober 1998.
3. Fadli Zon: Laporan TGPF cuma sebut angka tanpa data pendukung

Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan pemerkosaan massal pada kerusuhan 13-14 Mei 1998 yidak memiliki data pendukung. Pernyataan ini disampaikan merespons kritikan sejumlah pihak atas pernyataannya di IDN Times.
"Fadli Zon: Laporan TGPF Cuma Sebut Angka Tanpa Data Pendukung," ujar Fadli dikutip pada Senin (16/6/2025).
Menurut Fadli, investigasi salah satu majalah pada saat itu juga tak bisa mengungkap fakta kuat soal penyebutan 'massal'. Sehingga, menurutnya perlu hati-hati.
"Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, Fadli Zon jadi sorotan publik usai menyebut tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998. Pernyataan itu berawal dari Fadli Zon ditanya oleh Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, tentang penulisan revisi buku sejarah Indonesia yang isinya minim peran perempuan.
"Kan gini, history, history, sejarah selalu kita mengatakan history itu adalah ada his, ya, not her, salah satu yang menjadi keberatan atau kritik adalah ketika melihat yang 30 halaman konsep penulisan buku sejarah ini sangat minim, misalnya peran perempuan masuk dalam sejarah," ujar Uni Lubis dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
"Itu kan hoaks yang disebarluaskan seolah-olah kongres perempuan tidak ada," jawab Fadli Zon.
Saat ditanya tentang apakah sudah membaca isi draf revisi buku sejarah Indonesia itu, Fadli Zon mengaku belum membacanya. Dia mengatakan, tidak ingin mengintervensi apa yang sedang dikerjakan oleh sejarawan.
Dia mengaku, keterlibatan perempuan pada sejarah Indonesia sangat penting. Uni Lubis kemudian bertanya tentang peristiwa kekerasan yang dialami perempuan pada tahun 1998.
"Termasuk apa yang dialami oleh perempuan dalam peristiwa kerusuhan Mei '98 misalnya. Apakah itu masuk (dalam buku sejarah)?" tanya Uni Lubis.
Fadli Zon mengatakan, apa yang terjadi di peristiwa Mei '98 masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai ada pemerkosaan massal. Menurut dia, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei '98.
"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli Zon.