Hampir 300 Juta Orang Terancam Meninggal Akibat Kelaparan

Jakarta, IDN Times - Laporan Global tentang Krisis Pangan (GRFC) mengungkapkan bahwa ketidakamanan pangan akut terus meningkat pada tingkat yang mengkhawatirkan, di mana hampir 300 juta orang berisiko meninggal karena kelaparan. Angka tersebut mewakili hampir seperempat atau 22,6 persen dari populasi 53 negara yang dianalisis oleh para ahli GRFC.
Laporan tersebut menyatakan 295,3 juta orang telah diidentifikasi menghadapi tingkat kerawanan pangan akut yang tinggi. Jumlah tersebut bertambah selama 6 tahun berturut-turut. Pemotongan bantuan kemanusiaan dan meningkatnya konflik telah menjadi penyebab utama 13,7 juta orang mengalami kerawanan pangan kronis selama setahun terakhir.
GRFC juga memperkirakan bahwa 37,7 juta anak berusia 6 hingga 59 bulan telah menderita kekurangan gizi akut pada 2024, dengan 10 juta di antaranya memerlukan perawatan segera. Tak hanya itu, sekitar 10,9 juta ibu hamil dan menyusui mengalami kekurangan gizi akut.
Laporan tersebut juga mengidentifikasi 26 dari 53 negara yang dilanda krisis pangan memiliki tingkat malnutrisi akut yang tinggi. Itu ditandai oleh kurangnya akses terhadap makanan bergizi, buruknya layanan kesehatan, dan faktor-faktor lainnya.
1. Gaza dan Sudan memiliki populasi rawan pangan paling banyak

Orang-orang yang menghadapi kekurangan pangan paling kronis, yang dikategorikan oleh Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB, meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun lalu. Lebih dari 95 persen dari mereka tinggal di Jalur Gaza atau Sudan.
Lebih dari separuh dari sekitar 2,1 juta penduduk Gaza berada dalam kategori "bencana". Kategori tersebut dicirikan oleh kelaparan, kematian, kesengsaraan, dan tingkat malnutrisi akut yang tinggi.
Sementara itu, Sudan yang memiliki 24 juta orang yang menderita kerawanan pangan telah secara resmi menyatakan keadaan kelaparan, mengutip Arab News.
Laporan GRFC mengungkapkan bahwa akses pangan telah sangat dibatasi setelah penutupan semua penyeberangan ke Jalur Gaza pada awal Maret dan runtuhnya gencatan senjata selama dua bulan antara Israel dan Hamas.
2. Penyebab krisis pangan dan nutrisi

Konflik bersenjata menjadi penyebab utama krisis pangan di 20 negara. Konflik juga menyebabkan empat dari lima negara dengan populasi dalam kategori bencana, antara lain Sudan, Palestina (Jalur Gaza), Haiti, dan Mali. Penyebab utama lainnya adalah cuaca ekstrem, dengan 17 negara yang terdampak, serta guncangan ekonomi di 16 negara.
Kekeringan yang disebabkan oleh El Nino pada 2023–2024 di Afrika Selatan menjadi yang paling mengkhawatirkan. Itu menyebabkan gagal panen dan kematian ternak secara meluas, sehingga memperburuk krisis ketahanan pangan dan gizi di wilayah tersebut.
Konflik bersenjata dan cuaca ekstrem juga menjadi guncangan utama yang memperburuk malnutrisi akut di negara atau wilayah dengan krisis gizi pada 2024. Sebanyak 16 dari 26 data krisis gizi yang terdokumentasi memiliki faktor risiko sangat tinggi untuk malnutrisi akut melalui ketiga jalur, yakni makanan, perawatan dan layanan, serta kesehatan.
Tak hanya itu, penghentian pendanaan, khususnya USAID, juga telah menghentikan layanan gizi untuk lebih dari 14 juta anak di negara-negara, seperti Sudan, Yaman, dan Haiti, yang membuat mereka rentan terhadap malnutrisi parah dan kematian.
Sebelum pemangkasan bantuan, krisis gizi terdeteksi di hampir separuh dari 53 negara, dilansir The Guardian.
3. Krisis pangan dan malnutrisi diperkirakan berlanjut pada 2025

Konflik yang sedang berlangsung dan ketidakamanan warga sipil di negara-negara, seperti Sudan, Myanmar, Suriah, Kongo, dan Jalur Gaza diperkirakan akan menghambat pemulihan krisis pangan pada 2025.
Faktor-faktor lainnya, seperti inflasi yang diperkirakan akan tetap tinggi di beberapa negara dan potensi kekeringan, akan berkontribusi terhadap krisis pangan yang terus berlanjut pada 2025.
Pemangkasan anggaran bantuan juga akan memperburuk situasi krisis pangan dan gizi pada 2025. Diperkirakan 2,3 juta anak akan kehilangan akses terhadap pengobatan untuk malnutrisi akut, dengan perkiraan tambahan 369 ribu kematian anak setiap tahunnya.
Pemotongan dana dari pendonor utama juga telah membatasi kemampuan untuk mengumpulkan data dan bukti penting, yang diperlukan untuk menginformasikan tanggapan yang tepat waktu.