Kabur dari Liberia, Pelanggar HAM Ini Malah Diadili di Prancis

Jakarta, IDN Times - Pengadilan di ibu kota Prancis, Paris, pada Senin (10/10/2022), mengadili Kunti Kamara, yaitu mantan pemberontak Liberia atas tuduhan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama perang saudara di Liberia pada 1990-an.
Kamara ditangkap di dekat Paris pada September 2018, setelah adanya pengaduan yang diajukan oleh kelompok Civitas Maxima dari Swiss, yang membantu korban kejahatan kemanusiaan.
1. Tuduhan pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan

Melansir France 24, Kamara adalah komandan regional Gerakan Pembebasan Bersatu Liberia untuk Demokrasi (ULIMO), kelompok pemberontak yang melawan Front Patriotik Nasional dari faksi mantan Presiden Charles Taylor.
Hasil penyelidikan menemukan bahwa Kamara memimpin faksi ULIMO di daerah Lofa, daerah strategis di barat laut Liberia.
Kamara dituduh melakukan berbagai pelanggaran kemanusiaan, termasuk penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan berkelompok, dan penjarahan. Jaksa menjelaskan bahwa salah satu tindakan pembunuhan yang dilakukan Kamara dengan merobek dada korban menggunakan kapak, yang kemudian mengambil dan memakan jantung korban.
Dalam dakwaan, Kamara juga dituduh bahwa di bawah otoritasnya dia mengizinkan perempuan muda diperkosa dan dijadikan budak seks.
Tuduhan tersebut telah dibantah oleh Kamara melalui pengacaranya, Marlyne Secci.
"Dia telah mengakui bahwa dia adalah seorang tentara ULIMO, tetapi selalu membantah melakukan kekejaman terhadap warga sipil," kata Secci, menambahkan bahwa kliennya diadili di luar negaranya.
2. Kelompok-kelompok hak asasi manusia memuji persidangan

Melansir Associated Press, kelompok-kelompok hak asasi manusia memuji persidangan itu sebagai langkah penting untuk memberikan keadilan bagi para korban dari perang saudara di Liberia.
Kepala Keadilan Global dan Proyek Penelitian, Hassan Bility, menyampaikan bahwa persidangan itu merupakan kemenangan bagi korban dan peringatan terhadap pelaku kejahatan kemanusian Liberia, karena di mana pun berada akan dimintai pertanggungjawaban.
Human Rights Watch (HRW) dan Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) menyampaikan bahwa perang saudara pertama Liberia ditandai dengan kekerasan terhadap warga sipil, ketika faksi-faksi yang bertikai membantai dan memperkosa warga sipil, menjarah, dan memaksa anak-anak untuk membunuh dan berperang.
Direktur keadilan internasional di HRW, Elise Keppler, mengatakan persidangan ini sangat penting karena otoritas di Liberia telah gagal untuk meminta pertanggungjawaban atas para pelanggaran kemanusian selama perang.
"Persidangan Prancis untuk kekejaman di Liberia memperkuat pentingnya prinsip yurisdiksi universal untuk memastikan bahwa kejahatan terburuk tidak dibiarkan begitu saja,” tutur Clemence Bectarte, pengacara yang mengoordinasikan Kelompok Aksi Litigasi FIDH.
"Liberia adalah negara di mana impunitas total atas kejahatan ini masih berlaku," kata Sabrina Delattre, pengacara yang mewakili beberapa warga Liberia dan Civitas Maxima.
3. Pemerintah Liberia mengabaikan rekomendasi tuntutan kejahatan perang
Perang saudara, yang terjadi di Liberia pada periode1989-2003, telah menewaskan sekitar 250 ribu orang. Komisi kebenaran dan rekonsiliasi pascaperang Liberia pada 2009 merekomendasikan penuntutan terhadap lusinan mantan panglima perang dan komandan, yang dituduh bertanggung jawab atas pelanggaran selama perang.
Namun, pemerintah mengabaikan rekomendasi, yang menimbulkan kekecewaan dan frustrasi para korban perang. Pemerintah tampaknya mengabaikan hal itu karena sebagian besar dari tokoh kunci dalam perang telah menduduki posisi berpengaruh di pemerintahan, termasuk di legislatif.
Presiden saat ini, George Weah, berbicara menentang impunitas atas kejahatan perang ketika dia menjadi oposisi, tapi Weah saat ini belum bertindak membentuk pengadilan kejahatan perang.
Mereka yang diadili atas kejahatan perang di Liberia hanya segelintir orang. Mantan panglima perang Liberia Taylor dipenjara pada 2012, tapi bukan karena kejahatan perang di Liberia, melainkan di negara tetangga Sierra Leone.
Beberapa telah diadili di luar negeri. Di Finlandia, tersangka panglima perang Gibril Massaquoi dibebaskan pada April atas tuduhan kejahatan di tahun-tahun terakhir perang kedua.
Mantan pemimpin ULIMO, Alieu Kosiah, dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan Swiss.
Kemudian di Amerika Serikat (AS), mantan panglima perang Mohammed Jabateh dijatuhi hukuman dipenjara 30 tahun pada 2018 karena berbohong dalam permohonan suaka, bukan karena dugaan kejahatannya.
AS telah berjanji akan membantu Liberia jika negara tersebut memutuskan untuk membentuk pengadilan, demi mengadili para pelaku kejahatan perang.