Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kisah Warga Myanmar: Kami Dijadikan Persai Manusia oleh Junta Militer

ilustrasi rumah pengungsi Myanmar (Twitter.com/OCHA Myanmar)

Jakarta, IDN Times - Organisasi hak asasi manusia (HAM) Fortify Rights pada 15 Februari merilis laporan penyelidikan aksi militer junta Myanmar di negara bagian Karen atau disebut juga Kayah.

Dari penyelidikan itu, diketahui bahwa tentara junta menggunakan penduduk sipil sebagai perisai ketika terlibat bentrok dengan para pejuang People Defense Force (PDF), yaitu terntara rakyat yang dimobilisasi oleh National Unity Government (NUG) atau pemerintah bayangan Myanmar yang diisi oleh politisi yang dikudeta. 

Laporan Fortify Rights didasari puluhan saksi mata, penyintas, serta foto dan video yang telah diverifikasi. Rincian tentang tindakan aksi kejahatan perang termasuk pembunuhan pada malam Natal tahun lalu. Dalam insiden itu, 40 warga sipil tewas termasuk dua staf Save the Children.

ASEAN, sebagai organisasi kawasan, didesak untuk melakukan embargo senjata terhadap Myanmar. Itu karena junta menggunakan senjata-senjata tersebut untuk membunuh warga sipil dan menargetkan instalasi nonmiliter.

1. Hasil autopsi menunjukkan warga sipil dibakar hidup-hidup

Ilustrasi korban (Pixabay.com/Soumen82hazra)

Negara bagian Karen atau Kayah memiliki populasi sekitar 300 ribu orang. Tapi, sekitar 170 ribu warga telah meninggalkan rumah akibat serangan militer dari junta yang terus berlanjut.

Serangan terhadap warga Karen telah diselidiki oleh Fortify Rights sejak Mei 2021 hingga Januari 2022. Dalam penyelidikan tersebut, organisasi itu mendokumentasikan serangan terhadap gereja, tempat tinggal, dan kamp pengungsi.

Dilansir Al Jazeera, tentara junta Myanmar telah melakukan penyerangan warga sipil, termasuk menargetkan instalasi nonmiliter. Korban tewas akibat serangan setidaknya mencapai 61 orang.

Dokter mengatakan, beberapa mayat terbakar sangat parah sehingga tidak dapat dilakukan autopsi. Tapi tim dokter dapat memastikan lima mayat adalah perempuan dan satu lagi perempuan dibawah umur.

Dokter menjelaskan, "beberapa mulut (mayat) disumpal dengan kain, jadi kami yakin orang-orang ini disumpal. Hampir setiap tengkorak retak dan retak parah (di beberapa mayat), kami dapat mengumpulkan cukup bukti untuk mengatakan bahwa mereka dibakar sampai mati hidup-hidup."

2. Warga sipil menjadi perisai

Kejahatan perang lain yang ditemukan Fortify Rights adalah pasukan pendukung Min Aung Hlaing menggunakan warga sipil sebagai perisai ketika dalam pertempuran.

Siswa yang masih berusia 18 tahun bernama Moe Bye ditangkap bersama paman dan dua pria lain oleh militer pada awal Juni 2021. Dia bersama tiga orang itu kemudian dijadikan sebagai perisai oleh junta.

Dilansir TRT World, dalam bentrokan junta dengan PDF, "para prajurit meletakkan senjata mereka di pundak kami dan menembaki PDF, (dengan) tetap (berada) di belakang kami. Kami diikat dan mata kami ditutup. Kami mendapatkan siksaan dalam banyak hal. Mereka menendang tubuh kami, memukul kepala kami dengan gagang senjata, dan banyak lagi."

Bye dan dua pamannya berhasil melarikan diri. Tapi satu orang lagi yang dilaporkan bersama mereka untuk dijadikan perisai, nasibnya tidak diketahui.

3. Myanmar tolak undangan pertemuan ASEAN di Kamboja

Min Aung Hlaing, pemimpin junta militer Myanmar. (Twitter.com/Kenneth Roth)

Dalam laporan Fortify Rights yang berjumlah 36 halaman, mereka juga memberikan rekomendasi untuk ASEAN agar lebih menaungi Myanmar.

Dalam rekomendasi tersebut, organisasi itu menekankan kepada ASEAN agar melakukan embargo bilateral senjata dan teknologi militer kepada junta, karena digunakan untuk membunuh warga sipil. Rekomendasi juga merujuk agar dilakukan embago senjata internasional kepada junta.

ASEAN didesak untuk mendorong Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional untuk mempertanggungjawabkan aksi militer mereka.

Baru-baru ini, ASEAN mengadakan KTT Menteri Luar Negeri di Kamboja. Menurut The Jakarta Post, ASEAN mengundang Myanmar untuk mengirim perwakilan non-politiknya. 

Undangan perwakilan non-politik diberikan karena junta selama ini kurang menunjukkan kemajuan pada konsesus tahun lalu untuk memfasiltiasi dialog dengan penentang kudeta.

Pemerintah junta Myanmar sendiri kemudian mengatakan mereka tidak akan menghadiri pertemuan tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us