Korsel Matikan Speaker Siaran Propaganda ke Korut, Mulai Damai?

- Realisasi janji Presiden Lee Jae-myung untuk meredakan ketegangan antar kedua Korea.
- Pro-kontra penghentian siaran propaganda oleh pemerintah Korsel.
Jakarta, IDN Times- Militer Korea Selatan (Korsel) resmi mematikan siaran propaganda via pengeras suara ke arah Korea Utara (Korut) pada Rabu (11/6/2025). Perintah ini datang langsung dari Presiden baru, Lee Jae-myung, hanya sepekan setelah ia terpilih, dilansir Korean JoongAng Daily.
Pemerintah menyebut langkah ini bertujuan untuk memulihkan kepercayaan dan mengupayakan perdamaian di Semenanjung Korea. Keputusan tersebut sekaligus menepati janji kampanye Presiden Lee untuk memperbaiki hubungan antar-Korea melalui dialog.
Kebijakan ini kontras dengan pendekatan konfrontatif yang dipegang oleh pemerintahan sebelumnya di bawah Yoon Suk Yeol. Sebelumnya, Pyongyang bahkan menganggap siaran tersebut sebagai tindakan perang.
1. Awal mula "perang suara" antar Korea
Siaran pengeras suara ini baru kembali aktif pada Juni tahun lalu setelah sempat berhenti selama enam tahun. Langkah itu diambil sebagai balasan atas aksi Korut yang mengirim ribuan balon berisi sampah ke wilayah Selatan.
Aksi Korut sendiri dipicu oleh tindakan para aktivis di Korsel yang lebih dulu mengirimkan balon berisi selebaran antirezim ke Utara. Situasi ini menciptakan siklus saling balas yang terus meningkatkan ketegangan di sepanjang perbatasan kedua negara.
Siaran dari Korsel diketahui berisi beragam materi, mulai dari lagu K-pop, berita dunia, hingga informasi mengenai demokrasi. Korut kemudian membalas dengan menyalakan pengeras suara mereka, menyiarkan suara-suara bising yang mengganggu warga di perbatasan Selatan.
Demi menyalakan kembali siaran propaganda, pemerintahan sebelumnya menangguhkan penuh Perjanjian Militer Antar-Korea tahun 2018. Perjanjian itu pada awalnya dirancang untuk mencegah semua bentuk tindakan permusuhan dan provokasi di zona perbatasan.
2. Realisasi janji Presiden Lee untuk meredakan ketegangan
Sejak masa kampanye, Lee Jae-myung memang vokal mengkritik kebijakan pendahulunya yang dinilai hanya memperkeruh suasana. Ia berjanji akan mencari jalan dialog dan memprioritaskan pemulihan hubungan dengan Pyongyang, dilansir NYT.
Analis melihat penghentian siaran ini sebagai sinyal awal dari niat pemerintah baru untuk menghidupkan kembali kesepakatan militer 2018. Hal tersebut diharapkan dapat menjadi fondasi untuk membuka kembali saluran komunikasi antar-Korea yang telah lama terputus. Lee juga mulai mengambil langkah deeskalasi lainnya untuk mendukung niat baik ini. Salah satunya adalah dengan mengimbau kelompok-kelompok aktivis di Korsel agar tidak lagi menerbangkan balon propaganda ke wilayah Utara.
Sikap pemerintah ini disambut baik oleh pejabat lokal di perbatasan, salah satunya adalah anggota dewan dari Ganghwa, Park Heung-yeol.
"Menghentikan siaran pengeras suara seharusnya bukan menjadi akhir. Kita juga harus bekerja untuk memulihkan saluran komunikasi antar-Korea dan memulai dialog untuk menghentikan siaran dari Utara yang menargetkan Selatan," tutur Park, dikutip dari France24.
3. Pro-kontra penghentian siaran
Keputusan pemerintah untuk mematikan pengeras suara disambut dengan kelegaan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan. Mereka berharap dapat kembali beraktivitas dengan normal setelah berbulan-bulan hidup dalam kebisingan dari kedua belah pihak.
Namun, dari sisi lain, muncul kritik tajam dari berbagai organisasi hak asasi manusia. Mereka khawatir rakyat Korut akan semakin terisolasi tanpa akses informasi dari dunia luar.
"Pengeras suara adalah jembatan vital bagi rakyat Korea Utara, sebuah pengingat bahwa mereka tidak dilupakan. Dengan mematikannya, kita hanya memperkuat upaya Kim Jong Un untuk membuat rakyatnya terisolasi," ujar Hana Song dari Database Center for North Korean Human Rights, dilansir dari BBC.
Di tengah beragam reaksi ini, pihak militer Korsel menggarisbawahi bahwa tindakan ini adalah sebuah penangguhan, bukan penghentian permanen. Hal ini menyiratkan pengeras suara dapat diaktifkan kembali jika Korut melakukan provokasi signifikan di masa depan.