Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Masa Depan Diplomasi Indonesia di Tangan Diplomat Perempuan

Potret diplomat Indonesia (x.com/@Kemlu_RI)
Potret diplomat Indonesia (x.com/@Kemlu_RI)

Jakarta, IDN Times - Diplomat perempuan kerap dipandang sebelah mata. Namun, peran diplomat perempuan sebenarnya sangat besar dalam tugas diplomasi Indonesia.

Diplomat perempuan kerap menyuarakan pemberdayaan dan kesetaraan yang bertujuan kepada perwujudan perdamaian global, serta pemenuhan hak asasi manusia. Mantan menteri luar negeri, Retno Marsudi menjadi salah satu contoh diplomat perempuan yang tangguh, cerdas, dan panutan bagi yang lainnya.

Padahal, pekerjaan sebagai diplomat bukan hal yang mudah. Meski demikian, diplomasi jaman sekarang ini bersifat serbabisa.

1. Diplomat adalah pekerjaan genderless

Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)
Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)

Diplomat merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan perempuan dan laki-laki, alias genderless. Seorang diplomat Indonesia, Raka Pamungkas mengatakan, pekerjaan yang ia anut memang versatile, namun yang membedakan mungkin ketika diplomat harus turun membantu warga dalam kondisi bencana atau konflik.

"Ada situasi yang memang lebih baik dilakukan oleh laki-laki atau perempuan saja. Tapi situasi seperti itu justru malah membutuhkan team work lintas gender dalam diplomasi," kata Raka.

Menurutnya, diplomasi adalah hal yang harus dilakukan bersama baik oleh diplomat perempuan dan laki-laki.

Perempuan telah memainkan peran penting dalam tata kelola global sejak penyusunan dan penandatanganan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Perempuan membawa manfaat yang sangat besar bagi diplomasi. Gaya kepemimpinan, keahlian, dan prioritas mereka memperluas cakupan masalah yang sedang dipertimbangkan dan kualitas hasilnya.

Penelitian PBB menyebutkan, ketika perempuan duduk di kabinet dan parlemen, mereka mengesahkan undang-undang dan kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat biasa, lingkungan dan kohesi sosial. Memajukan langkah-langkah untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses perdamaian dan politik sangat penting untuk mencapai kesetaraan de facto perempuan dalam konteks diskriminasi yang mengakar.

2. Perempuan dan diplomasi global

Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)
Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)

Perempuan adalah seorang realis. Biasanya, norma dan standar global memainkan peran penting dalam menetapkan tolok ukur yang dipatuhi oleh masyarakat internasional.

Dikutip dari indonesia.un.org, Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina Mohammed mengatakan, perempuan harus ada di meja perundingan. "Kita semua harus melakukan segala hal yang mungkin untuk memastikan bahwa perempuan berada di meja perundingan, suara kami didengar, dan kontribusi kami dihargai," katanya.

Secara historis, diplomasi telah menjadi milik kaum pria. Perempuan telah memainkan peran penting dalam diplomasi selama berabad-abad, namun kontribusinya sering diabaikan. Inilah saatnya untuk mengenali dan merayakan cara-cara perempuan mendobrak batasan dan membuat perbedaan di bidang diplomasi.

Diplomat perempuan Indonesia pernah menjadi sorotan saat dengan tegas membungkap delegasi negara lain yang ingin menjatuhkan Indonesia. Pada Oktober lalu, diplomat Indonesia, Sindy Nur Fitri memberikan jawaban tegas atas pernyataan Vanuatu dalam sidang PBB. Ini menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia mampu mengemban tugasnya sebagai diplomat andal.

3. Sepak terjang para diplomat perempuan

Diplomat perempuan Indonesia, Retno Marsudi. (X/@Kemlu_RI)
Diplomat perempuan Indonesia, Retno Marsudi. (X/@Kemlu_RI)

Sepak terjang para diplomat perempuan menjadi bukti bahwa perempuan mampu mengemban tugas sebagai delegasi negara dengan baik. Contoh yang bisa kita lihat adalah Retno Marsudi.

Selama 10 tahun mengemban tugas sebagai pimpinan tertinggi di Kementerian Luar Negeri, Retno mampu membawa Kemlu menjadi salah satu kementerian yang kinerjanya paling unggul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Di periode pertamanya menjabat, Retno memimpin para diplomat untuk membebaskan WNI anak buah kapal yang menjadi korban penculikan oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina. Begitu pula di periode keduanya, yang kemudian diawali dengan pandemi Covid-19.

Retno memimpin Indonesia mendapatkan banyak vaksin untuk ratusan juta penduduk Indonesia. Ia bahkan menjadi co-chair Kerja Sama Vaksin Multilateral (COVAX AMC EG).

Jauh sebelum Retno, ada tiga diplomat perempuan yang sudah mengukir sejarah. Mereka sangat berpengaruh dalam diplomasi Indonesia. Mereka adalah Maria Ullfah Soebadio, Laili Roesad, dan Supeni Pudjobuntoro.

4. Jumlah diplomat perempuan Indonesia

Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)
Diplomat perempuan Indonesia. (X/@Kemlu_RI)

Raka mengakui, jumlah diplomat perempuan masih belum sebanyak laki-laki. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, rekrutmen diplomat perempuan cukup signifikan.

Data Kemlu Sisterhood menyebutkan, jumlah diplomat perempuan hingga 2022 lalu mencapai 758 orang. Sementara laki-laki 1.091. Namun, sejak 2018, angkanya rekrutmen diplomat perempuan terus melebihi laki-laki.

Hal ini bisa dilihat sebagai kemajuan bagi perempuan untuk terus berkarya di kancah global, sebagai diplomat. Listiana Operananta, Konjen RI di Perth yang sudah dilantik juga sebagai Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria mengatakan, ia memilih profesi ini karena terarik dengan sejarah bangsa.

Mantan jurnalis ini mengungkapkan, pengarusutamaan gender merupakan program yang menjadi bagian dari semua kementerian, termasuk Kemlu. "Ada dinamika dalam pencapaiannya, tapi personally saya merasa mendapatkan kesempatan cukup untuk mengekspresikan diri sebagai diplomat perempuan.

Begitu juga dengan Titania Arimbi, diplomat perempuan yang kini bertugas di KJRI Los Angeles. Titania menjelaskan, menjadi diplomat adalah cita-citanya sejak duduk di bangku sekolah menengah. Profesi ini, menurut Titania, memberikan banyak pengalaman berharga yang mungkin tidak bisa didapatkan di bidang lain.

Titania menambahkan, Kemlu hingga saat ini maish terus mewujudkan kesetaraan gender. Menurutnya, untuk mencapai hal tersebut, kesetaraan gender harus didukung oleh semua tingkatan dalam struktur organisasi, dari pimpinan tertinggi hingga jajaran terbawah.

"Kesetaraan bukan hanya harus diucapkan, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata dan komitmen yang kuat," tutur Titania.

Menjadi diplomat perempuan tentu punya tantangan tersendiri. Titania yang sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia diplomasi mengatakan, tantangan yang kerap dihadapi diplomat perempuan adalah melawan persepsi.

"Diplomat perempuan memiliki kemampuan untuk melakukan semua tugas yang juga dapat dilakukan oleh diplomat laki-laki. Namun, tantangan sering kali muncul dari persepsi, preferensi, serta faktor budaya—baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Misalnya, ada beberapa negara yang memiliki budaya yang kurang mendukung peran perempuan dalam diplomasi," ucapnya.

Diplomat muda, Nadine Salsabila Utomo juga mengakui adanya tantangan yang cukup besar bagi diplomat perempuan, terlebih mereka yang sudah berkeluarga. "Yang paling besar adalah ketika diplomat perempuan harus membagi peran; antara menjadi anak, istri, ibu dan pegawai. Dibutuhkan banyak dukungan, toleransi dan kompromi untuk mewujudkan hal tersebut," seru Nadine.

5. Harapan para diplomat perempuan

Diplomasi Indonesia. (X/@Kemlu_RI)
Diplomasi Indonesia. (X/@Kemlu_RI)

Ketiga diplomat perempuan ini memiliki harapan yang dibagikan untuk para diplomat perempuan Indonesia. Nadine, sebagai yang termuda menuturkan, diplomat perempuan itu bagai pepatah 'It takes a village to raise a child'.

Menurutnya, butuh banyak pihak untuk mendukung seorang perempuan meniti kariernya sebagai diplomat, di samping menjadi istri, anak, ibu, maupun seorang individu. Ia berharap agar para diplomat perempuan terus mendapat dukungan dari keluarga, lingkungan dan juga kantornya.

Sementara Titania berharap stigma bahwa diplomat perempuan adalah 'pilihan kedua' dalam beberapa situasi dapat dihilangkan. Ia mencontohkan misalnya ada pimpinan yang ragu menempatkan diplomat perempuan yang sedang hamil atau memiliki anak kecil dengan alasan takut tidak bisa memberikan komitmen penuh di kantor.

"Saya berharap kesetaraan dalam aspek jam kerja dan keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi dapat diterapkan dengan lebih baik, baik bagi diplomat perempuan maupun laki-laki. Jika prinsip ini dapat diadopsi secara menyeluruh, kesetaraan gender dalam dunia diplomasi akan semakin nyata," ujar Titania.

Listiana juga berharap lebih banyak lagi diplomat perempuan sebagai pemimpin. Menurutnya, perempuan tidak kalah kemampuannya.

"Perempuan tidak kalah kemampuan, kebijaksanaan dan analisanya dalam isu politik internasional, dan banyak perempuan diplomat yang mampu membuktikan kapasitasnya sebagai pengampu berbagai sidang dan perundingan," ujar Listy.

Ia berharap agar generasi muda semakin tertarik dengan sejarah dan ilmu antarbangsa, dan mewujudkan cita-cita mereka sebagai diplomat perempuan Indonesia. "Saya harap mereka menyediakan waktu lebih banyak untuk membaca dan tertarik mendalami pengetahuan baru serta lebih kritis dalam isu-isu global yang berpengaruh kepada kehidupan dunia," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
Marcheilla Ariesta
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us