PBB Desak Filipina Setop Pembunuhan terhadap Jurnalis

Jakarta, IDN Times - Pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (2/1/2024) mendesak Filipina untuk berbuat lebih banyak guna menghentikan pembunuhan terhadap jurnalis. Ia juga mendukung penghapusan satuan tugas anti-komunisme yang dinilai menekan kebebasan berekspresi para aktivis.
Irene Khan, Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat, telah menghabiskan hampir dua pekan di Filipina untuk menilai kondisi kebebasan berpendapat dan hak media. Menurutnya, pembunuhan jurnalis di negara itu merupakan bentuk sensor yang paling mengerikan.
1. Sebanyak 81 kasus pembunuhan terhadap jurnalis belum diadili atau diselidiki
Dilansir Reuters, Khan juga menyebut Filipina sebagai negara berbahaya bagi jurnalis, dengan banyak di antara mereka kerap menjadi menjadi sasaran dalam upaya pemberantasan pemberontakan.
“Masih banyak yang perlu dilakukan untuk menghapuskan impunitas,” tambahnya.
Mengutip data yang diberikan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Khan mengatakan bahwa 81 kasus pembunuhan terhadap jurnalis belum diadili atau diselidiki. Sejak Ferdinand Marcos Jr. mengambil alih jabatan presiden pada 2022, sedikitnya empat jurnalis telah terbunuh.
Filipina sendiri berada di peringkat 132 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.
2. Satuan tugas anti-komunisme dinilai menekan aktivisme hukum dan kebebasan berekspresi
Selain itu, Khan juga menyarankan pembubaran Satuan Tugas Nasional multi-lembaga untuk Mengakhiri Konflik Bersenjata Komunis Lokal (NTF-ELCAC). Dibentuk oleh mantan Presiden Rodrigo Duterte pada 2018, gugus tugas ini bertujuan memerangi kelompok pemberontak komunis yang sudah lama melakukan pemberontakan terhadap pemerintah selama beberapa dekade.
Namun, Khan berpendapat bahwa kemungkinan dimulainya kembali perundingan perdamaian telah membuat keberadaan pasukan tersebut ketinggalan zaman. Pelapor khusus PBB yang mengunjungi Manila tahun lalu juga memberikan rekomendasi serupa.
Gugus tugas tersebut juga dituduh melakukan "tanda merah", sebuah praktik yang menuduh kritikus pemerintah sebagai simpatisan pemberontak. Hal ini lantas dijadikan alasan untuk membungkam, menangkap atau bahkan membunuh mereka.
Menurut Khan, praktik tersebut dapat menekan aktivisme hukum dan kebebasan berekspresi.
“Ada bukti jelas bahwa penandaan merah dan penandaan teror dilakukan oleh pasukan keamanan sebagai bagian dari strategi kontra-terorisme mereka. Negara tentunya memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari terorisme, namun hal tersebut harus dilakukan dalam batas-batas supremasi hukum dan sejalan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional," katanya.
3. Satuan tugas anti-komunisme disebut akan bertransisi ke badan lain
Dalam pengarahan terpisah, Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Jonathan Malaya mengatakan, pemerintah telah memberikan upaya hukum bagi para korban dan tidak akan menolerir praktik tersebut.
Namun, ia menilai seruan untuk pembubaran NTF-ELCAC kurang tepat karena perannya dalam memberantas pemberontakan. Ia mengatakan bahwa gugus tersebut akan bertransisi ke badan lain, setelah pemberontak berhasil dikalahkan.
Sejak 1969, Partai Komunis Filipina dan sayap bersenjatanya, Tentara Rakyat Baru, telah melawan pemerintahan Filipina secara berturut-turut.