Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pekerja Korut Hadapi Kerja Paksa di Kapal Penangkap Ikan China

Ilustrasi kapal nelayan. (unsplash.com/Paul Einerhand)

Jakarta, IDN Times -Organisasi non-pemerintah yang berpusat di London, Yayasan Keadilan Lingkungan (EJF), pada Senin (24/2/2025) merilis laporan mengenai pekerja Korea Utara (Korut) yang menghadapi kerja paksa di atas kapal penangkap ikan tuna China yang beroperasi di Samudera Hindia, guna menghasilkan pendapatan asing. 

Laporan itu didasarkan pada bukti yang mencakup wawancara dengan 19 awak kapal Indonesia dan Filipina yang mengatakan bahwa mereka pernah bekerja dengan warga Korut di kapal penangkap ikan China tersebut. EJF juga memperoleh klip video yang menyebutkan warga Korut berada di atas kapal dan memperlihatkan awak kapal berbicara dalam bahasa Korea.

"Pekerja Korut tidak pernah berkomunikasi dengan istri atau orang lain saat berada di laut, sehingga mencegah mereka menghubungi keluarga mereka. Sebab, mereka tidak diperbolehkan membawa telepon seluler," kata laporan itu mengutip seorang narasumber, dilansir Korea Herald.

1. Pekerja Korut kerap disembunyikan sebelum kapal berlabuh di daratan

Mereka juga dipaksa bekerja selama 10 tahun di laut, bekerja keras dalam beberapa kondisi terberat yang dapat dihadapi oleh awak kapal penangkap ikan di perairan jauh. Banyak yang tidak pernah menginjakkan kaki di daratan karena kapten mereka dari China tidak ingin mereka terlihat oleh otoritas pelabuhan.

Seorang narasumber bersaksi, pekerja Korut juga akan disembunyikan dari otoritas pelabuhan dengan memindahkan mereka di laut antar kapal sebelum kapal mereka berlabuh. Jika keberadaan mereka diketahui oleh otoritas pelabuhan asing, hal itu dapat menimbulkan masalah hukum bagi kapten China mereka. 

Pada 2022, media berita di Mauritius melaporkan penangkapan 6 pekerja Korut dan kapten kapal penangkap ikan China, ketika kapal tersebut berlabuh di Port Louis.

"Saya berlabuh di Somalia, Mauritius, Australia, Madagaskar, dan Somalia lagi. Namun, orang-orang Korut itu selalu dipindahkan," kata seorang mantan nelayan Indonesia yang mengatakan bahwa dia bekerja dengan 6 orang Korut pada akhir tahun 2022-Juni 2024.

"Salah satu dari mereka mengatakan kepada saya bahwa dia memiliki seorang istri yang tidak pernah dia hubungi selama 7 tahun kepergiannya," sambungnya, dikutip dari The Straits Times.

Di kapal-kapal China itu, sebagian besar awak kapal disita paspornya agar tidak bisa melarikan diri. Mereka hanya tidur selama 5-6 jam sehari, namun orang-orang Korut sering kali merupakan pekerja paling terampil di atas kapal karena waktu yang mereka habiskan di laut. 

2. Awak kapal Korut bekerja untuk beri pendapatan pada rezim Kim

Sebagian besar gaji para pekerja Korut diberikan langsung kepada pemerintah. Melalui mereka, Pemimpin Korut Kim Jong Un membangun sumber pendapatan baru bagi pemerintahannya yang kekurangan uang.

PBB melarang negara-negara anggotanya mempekerjakan pekerja Korut. Sebab, Dewan Keamanan (DK) mengatakan pemerintah Kim menggunakan mereka untuk mengumpulkan dana bagi program senjata nuklirnya. Namun, Kim mengirim puluhan ribu orangnya ke luar negeri, guna mendapatkan uang tunai dan keuntungan lain bagi rezimnya.

Menurut laporan panel ahli PBB pada 2024, DK PBB pada 2017 mengadopsi resolusi yang mengharuskan negara-negara anggota untuk memulangkan semua pekerja Korut paling lambat akhir 2019. Akan tetapi, lebih dari 100 ribu warga Korut masih bekerja di 40 negara.

Para awak kapal Indonesia memperoleh sekitar 330 dolar AS (sekitar Rp5,3 juta) per bulan, tetapi tidak tahu berapa penghasilan pekerja Korut. Warga Korut mengatakan bahwa gaji mereka langsung masuk ke kas pemerintah. 

Seorang pekerja Indonesia mengatakan bahwa warga Korut hanya hidup dari bonus yang mereka peroleh. Sementara yang lain mengatakan mereka diizinkan menyimpan 50 dolar AS (Rp816 ribu) dari gaji mereka.

3. Pekerja Korut di industri perikanan menghadapi kerja paksa terparah

Ilustrasi kapal penangkap ikan. (unsplash.com/Tolga Ahmetler)

Data regulasi dan data lain yang tersedia menunjukkan bahwa produk dari kapal-kapal penangkap ikan China itu mungkin memasuki pasar Eropa, Inggris, dan Asia. EJF menemukan setidaknya 12 kapal penangkap ikan tuna berbendera China yang menggunakan tenaga kerja Korut antara 2019-2024, dan 4 di antaranya diberi izin untuk mengekspor ikan ke Eropa dan Inggris.

Hingga saat ini, nasib para nelayan Korut kurang mendapat perhatian dunia karena mereka berada di lautan luas, terpisah dari dunia luar dan bahkan dengan keluarga mereka sendiri selama bertahun-tahun.

"Kondisi yang mereka hadapi tersebut akan menjadi kerja paksa yang besarnya melampaui apa yang pernah terjadi di industri perikanan global yang sudah penuh dengan penyiksaan," demikian pernyataan EJF dalam laporannya.

Dilaporkan juga, pekerja Korut diharuskan untuk memata-matai satu sama lain ketika mereka pergi ke luar negeri dan menjalani kehidupan indoktrinasi. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rahmah N
EditorRahmah N
Follow Us