Pekerja Migran di Lebanon Hidup Terkatung-katung di Tengah Perang

- Banyak pekerja migran ditinggalkan oleh majikan mereka di tengah serangan udara Israel di Lebanon.
- Tempat penampungan menolak menerima mereka karena lebih memprioritaskan warga asli Lebanon.
- Organisasi Internasional untuk Migrasi memperkirakan ada sekitar 176.500 migran yang tinggal di Lebanon, meskipun angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.
Jakarta, IDN Times - Di tengah meningkatnya serangan udara Israel di Lebanon, banyak pekerja migran ditinggalkan oleh majikan mereka dan terpaksa bertahan hidup sendiri di jalanan kota Beirut. Tempat-tempat penampungan yang tersedia menolak menerima mereka karena lebih memprioritaskan warga asli Lebanon.
"Inilah kondisi kami sekarang, kami hidup di jalanan," kata salah satu pekerja migran kepada media lokal.
"Mereka menganggap bahwa kami, para migran, bukan manusia. Bahkan dalam situasi perang, kami tidak dianggap sebagai manusia dan tidak diterima di tempat penampungan," ujar lainnya.
1. Konflik menyeret pekerja migran ke dalam situasi yang memprihatinkan
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan ada sekitar 176.500 migran yang tinggal di Lebanon, meskipun angka sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.
Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petugas kebersihan atau pengasuh anak dan terikat pada sistem kerja kafala, yaitu sistem yang mengikat para pekerja asing dengan sponsor lokal. Sistem ini sering kali menyebabkan mereka tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dan rentan mengalami eksploitasi atau perlakuan yang tidak adil dari sponsor mereka.
Dilansir Al Jazeera Sabtu (5/10/2024), aktivis mengatakan bahwa konflik yang sedang berlangsung telah menempatkan pekerja migran dalam berbagai situasi yang memprihatinkan.
“Beberapa dari mereka ditinggalkan di rumah (majikan) mereka di daerah yang menjadi target serangan, terutama di selatan Lebanon atau kawasan Bekaa, dan mereka harus mencari jalan keluar ke daerah yang aman, sering kali tanpa paspor atau dokumen,” ujar Diala Ahwash, seorang aktivis hak asasi manusia yang menangani isu-isu hak pekerja migran.
Beberapa pekerja migran dibawa ke daerah aman oleh majikan mereka, namun kemudian ditinggalkan di jalanan, sehingga mereka terpaksa tidur di taman atau di tepi laut Beirut. Ada pula yang dibawa ke tempat penampungan sementara, namun kemudian diusir ketika pengelola memutuskan untuk memberikan tempat tersebut kepada warga Lebanon.
“Tidak ada pemahaman bahwa perempuan-perempuan ini memiliki hak. (Situasi ini) kembali kepada sistem kafala dan cara kerjanya, mengubah pekerja domestik migran menjadi aksesori atau komoditas. Dan ketika Anda tidak lagi membutuhkan komoditas ini, Anda membuangnya ke jalan,” kata Salma Sakr dari Anti-Racism Movement (ARM).
2. Beberapa kedutaan mematok biaya evakuasi bagi warganya
Ketika perang semakin meluas, beberapa kedutaan mulai mengevakuasi warganya. Kedutaan Besar Filipina memulangkan warganya tanpa memungut biaya apapun, sementara kedutaan lainnya mewajibkan warganya untuk membayar perjalanan pulang. Banyak pekerja migran yang bergaji rendah tidak mampu membeli tiket pesawat yang mahal.
"Sekretaris-sekretaris konsulat ini benar-benar tidak berguna dan beberapa bahkan mengeksploitasi pekerja dalam situasi ini dengan meminta mereka membayar lebih," kata Sakr.
Rose, yang merupakan pekerja migran dari Ethiopia, mengatakan bahwa ia tidak mampu membayar biaya penerbangan evakuasi. Perempuan berusia 30 tahun itu telah tinggal di Lebanon selama 12 tahun, bekerja sebagai freelancer dan tinggal di kediamannya sendiri bersama suaminya yang berasal dari Sudan dan dua anak mereka. Kini, mereka mengungsi di sebuah taman di Saifi, pusat kota Beirut.
"Suami saya berasal dari Sudan dan saya dari Ethiopia. Tidak ada tempat yang bebas dari perang," tambahnya.
3. Pemerintah tidak berbuat banyak untuk membantu pekerja migran
Pemerintah Lebanon juga tidak banyak membantu terkait masalah ini. Dalam beberapa kasus, Dinas Keamanan Umum Lebanon, yang bertanggung jawab atas pengawasan perbatasan, bahkan mengenakan denda ratusan hingga ribuan dolar kepada para pekerja yang dokumennya sudah kadaluarsa. Padahal, sebagian besar dari mereka hanya menghasilkan beberapa ratus dolar per bulan.
"Di tengah serangan tanpa henti yang dihadapi Lebanon, sangat penting untuk tetap memperhatikan mereka yang paling rentan. Amnesti umum diperlukan bagi semua pekerja tanpa dokumen yang ingin pergi," ujar Dara Foi’Elle dari Migrant Workers Action (MWA), sebuah organisasi yang bekerja untuk melawan eksploitasi sistemik terhadap pekerja migran di Lebanon.
Sementara itu, salah satu masalah terbesar yang dikeluhkan perempuan di taman Saifi adalah kurangnya tempat pribadi untuk mandi atau menggunakan toilet.
“Ini lebih sulit bagi perempuan dibandingkan laki-laki,” kata Mortada, seorang pria Sudan yang melarikan diri dari wilayah selatan.
Lakmani, yang mengungsi bersama ibunya, mengatakan bahwa ia berusaha tetap bertahan meskipun kondisi tempat tinggalnya sekarang tidak nyaman. Meskipun bukan warga negara Lebanon, perempuan itu lahir dan dibesarkan di negara tersebut. Baginya, pergi bukanlah suatu pilihan.
“Kami tidak bisa kembali ke Sri Lanka, kami tidak punya apa-apa di sana. Kami ingin menunggu dan melihat. Jika kami tidak menemukan solusi di sini, kami akan kembali ke desa kami," ujarnya.