Pemimpin Palestina Ahmad Saadat Alami Penganiayaan di Penjara Israel

- Kondisi kesehatan Saadat menurun drastis, dipenjara sejak 2006, dan dijatuhi hukuman 30 tahun penjara.
- Tahanan Palestina lainnya di Penjara Offer alami kondisi keras, minimnya makanan dan kurangnya kebersihan.
- Israel larang lembaga internasional lakukan inspeksi di penjara, termasuk ICRC, untuk melakukan inspeksi di penjara.
Jakarta, IDN Times - Masyarakat Tahanan Palestina (PPS) mengungkapkan kekhawatirannya atas nasib Ahmad Saadat, sekretaris jenderal Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP). Pria berusia 72 tahun itu dipukuli secara brutal saat dipindahkan dari penjara Megiddo di Israel utara ke penjara Gilboa di selatan.
“Kondisi kesehatan Saadat sangat memprihatinkan, dan serangan Israel mengancam keselamatannya,” kata Abdullah al-Zaghari, kepala organisasi tersebut, pada Minggu (23/11/2025), dikutip dari Anadolu.
Menurut Zaghari, serangan terhadap Saadat merupakan bagian dari penargetan berkelanjutan terhadap para pemimpin gerakan tahanan sesuai instruksi Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir.
“Kebijakan Israel mengancam nyawa Saadat dan semua pemimpin gerakan tahanan, yang menjadi sasaran serangan brutal meskipun adanya perjanjian gencatan senjata di Gaza," katanya, seraya mendesak perlindungan bagi para tahanan.
1. Kondisi kesehatan Saadat telah menurun drastis
Saadat telah dipenjara di Israel sejak 2006. Ia dijatuhi hukuman 30 tahun penjara sehubungan dengan pembunuhan Menteri Pariwisata Israel, Rehavam Zeevi, pada 2001.
Menurut Kantor Media Asra (AMO), sejumlah saksi mengonfirmasi bahwa Sa’adat telah berulang kali menjadi sasaran penggerebekan di sel isolasinya, penggeledahan yang merendahkan martabat, dan kekerasan fisik.
Kelompok hak asasi manusia melaporkan penurunan kondisi kesehatan Saadat secara signifikan, termasuk penurunan berat badan yang cukup drastis. Pihak keluarga mengatakan bahwa Saadat sebelumnya menderita kudis dan menghadapi perlakuan buruk di penjara Israel.
Pada Maret, ia mengalami penganiayaan saat dipindahkan dari Penjara Ramon ke Penjara Megiddo. Ia kemudian dibiarkan selama berjam-jam di halaman penjara dengan tangan terikat dan kepala tertutup, dilansir dari Press TV.
2. Tahanan Palestina lainnya di Penjara Offer alami kondisi
Sementara itu, Komisi Urusan Tahanan Palestina mengungkapkan bahwa para tahanan yang mendekam di penjara militer Ofer, sebelah barat Ramallah, juga menghadapi kondisi penahanan yang keras dan merendahkan martabat.
Salah satu tahanan, Ahmed Hareesh dari kota Beitunia, dilaporkan mengalami sakit perut parah yang diduga disebabkan oleh infeksi bakteri.
“Namun, ia hanya menerima obat pereda nyeri, sedangkan dokter membutuhkan waktu berjam-jam untuk datang dan terkadang tidak datang sama sekali,” kata komisi tersebut, mengutip pernyataan pengacaranya, yang telah mengunjungi tiga tahanan di penjara Israel.
Pengacara itu menyampaikan bahwa Hareesh menggambarkan adanya penggerebekan massal di dalam penjara, penyerangan terhadap para tahanan, dan pemborgolan selama berjam-jam.
Selain itu, ia juga mengungkapkan kesaksian tahanan lainnya, Najy Sharif Awadallah, yang mengatakan bahwa kondisi penahanan di sana sangat keras, dengan penganiayaan terus-menerus, pemeriksaan dan penggerebekan setiap hari, minimnya makanan dan kurangnya kebersihan.
3. Israel larang lembaga internasional lakukan inspeksi di penjara
Meski ada banyak bukti kuat mengenai praktik kekerasan dan perlakuan buruk lainnya di penjara Israel, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, justru memperbarui larangan bagi lembaga internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC), untuk melakukan inspeksi di penjara.
“Laporan-laporan mengerikan terkait perlakuan terhadap warga Palestina dalam tahanan tidak ditanggapi dan terus diabaikan, sementara Israel terus memblokir akses ICRC serta pengawasan independen. Ini bukan kasus pelanggaran yang berdiri sendiri, melainkan pola sistematis yang dijalankan tanpa rasa bersalah,” ujar Milena Ansari dari Human Rights Watch (HRW).
Dilansir dari Al Jazeera, Israel diyakini telah menangkap lebih dari 18.500 warga Palestina sejak perang di Gaza dimulai pada Oktober 2023. Selain ribuan tahanan yang datanya terdokumentasi, terdapat juga sejumlah orang yang ditangkap sebagai bagian dari kebijakan penghilangan paksa Israel pada masa-masa awal perang. Kebijakan ini dilegalkan melalui Undang-Undang Pejuang Ilegal.



















