Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pengacara Inggris Ajukan Bukti Kejahatan Perang Israel ke Pengadilan 

Intinya sih...
  • Pengacara ajukan bukti kejahatan perang Israel di Gaza ke Pengadilan Tinggi London untuk mencegah ekspor senjata.
  • Bukti mencakup kesaksian saksi dan kondisi mengerikan di Gaza, dengan sidang peninjauan yudisial dijadwalkan pada Oktober 2024.
  • Dokter memberikan kesaksian tentang kondisi kesehatan yang memprihatinkan di Gaza, termasuk perlakuan tidak manusiawi terhadap pasien.

Referensi:

https://www.theguardian.com/world/article/2024/aug/19/lawyers-seeking-arms-export-ban-submit-claims-israeli-war-crimes-uk-court

https://english.almayadeen.net/news/politics/lawyers-seeking-arms-export-ban-report-israeli-war-crimes-to

https://www.arabnews.com/node/2568049/world

Jakarta, IDN Times - Sekelompok pengacara mengajukan bukti dugaan kejahatan perang Israel di Gaza ke Pengadilan Tinggi London pada Selasa (20/8/2024). Langkah ini bertujuan mencegah pemerintah Inggris memberi izin ekspor senjata ke Israel. Kasus ini diajukan oleh koalisi LSM termasuk Al-Haq, Global Legal Action Network (GLAN), Amnesty International, Oxfam, dan Human Rights Watch.

Melansir dari The Guardian pada Selasa (20/8/2024), bukti yang diajukan mencakup 14 pernyataan saksi dari dokter, petugas ambulans, dan pekerja bantuan yang bertugas di Gaza. Dokumen kesaksian ini memiliki lebih dari 100 halaman dan berisi detail mengerikan tentang kondisi di wilayah konflik tersebut. Sidang peninjauan yudisial dijadwalkan berlangsung pada 8-10 Oktober 2024.

Kasus ini merupakan upaya pertama untuk menghadirkan bukti kejahatan perang Israel di hadapan hakim Inggris sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Para pengacara harus membuktikan bahwa pemerintah Inggris bertindak tidak rasional dalam menolak larangan penjualan senjata ke Israel.

1. Pasien dipaksa berdiri 48 jam, air dijatah 3 liter per hari

Dr. Ben Thomson, spesialis ginjal asal Kanada, memberikan kesaksian mengejutkan tentang kondisi di Gaza. Ia melaporkan seorang pasien dipaksa berdiri selama 48 jam hingga membutuhkan cangkok kulit pada tumitnya. Thomson juga merawat pria berusia 60 tahun yang dilucuti dan disiksa oleh pasukan Israel hingga tulang pergelangan tangannya terlihat.

"Setiap bagian sistem kesehatan telah dibidik dan dihancurkan. Sekarang, sistem ini benar-benar tidak mampu memberikan perawatan. Banyak orang meninggal karena masalah yang sebenarnya bisa diobati," ujar Thomson.

Situasi di kamp pengungsi Rafah juga sangat memprihatinkan. Thomson melaporkan bahwa pada Maret lalu, air dijatah hanya 3 liter per orang per hari, dengan satu toilet digunakan oleh 800 orang.

Ia terpaksa memperbaiki tulang patah tanpa obat pereda nyeri. Bahkan dalam satu kejadian, seorang pasien meninggal di lantai dalam genangan darah dan otaknya sendiri akibat rumah sakit yang terlalu penuh.

2. Pria disabilitas diborgol di kursi roda selama 30 hari

Dr. Khaled Dawas, dokter bedah konsultan dari University College Hospital London, membandingkan kondisi rumah sakit di Gaza seperti pengobatan zaman pertengahan.

Melansir dari Arab News, selama empat minggu bertugas di Rumah Sakit Al-Aqsa, Dawas menegaskan tidak melihat satu pun militan di sana. Kesaksikan ini bertentangan dengan klaim Israel yang menjustifikasi serangan terhadap fasilitas kesehatan.

"Saya menemui banyak pasien yang jelas-jelas telah dipukuli di kamp penahanan," ujar Dawas.

Ia juga merawat seorang pasien yang diseret di tanah dengan alat fiksasi eksternal yang menahan tulang patahnya. Salah satu kasus penyiksaan yang paling menyedihkan dialami seorang pria disabilitas.

"Dalam penahanan, pria ini diborgol, ditutup matanya, dan diikat ke kursi rodanya. Pergelangan tangannya terikat ke sisi kanan tubuhnya selama 30 hari," jelas Dawas.

Ia menambahkan bahwa pada kunjungan keduanya, moral staf rumah sakit telah memburuk. Mereka mulai berpikir bahwa situasi ini tidak akan pernah berakhir.

3. Dokter dibom di zona aman

Melansir dari Al Mayadeen, seorang konsultan Inggris, yang namanya dirahasiakan, melaporkan bahwa ia dan sekelompok dokter dibom di zona aman pada 18 Januari 2024. Insiden ini menjadi pemicu LSM menghentikan pengiriman pekerja kemanusiaan ke wilayah tersebut. Meskipun diplomat Inggris di Kairo menjanjikan penyelidikan tingkat tinggi, konsultan tersebut mengklaim tidak ada tindak lanjut dari pemerintah London.

Pemerintah Konservatif sebelumnya membela keputusan melanjutkan izin ekspor senjata ke Israel. Mereka menyatakan tidak ada risiko yang cukup bahwa senjata Inggris digunakan dalam kejahatan perang. Sementara itu, pemerintah Partai Buruh yang baru sedang meninjau kebijakan tersebut.

Israel mengklaim bertindak sesuai hukum humaniter internasional dan menyelidiki tuduhan pelanggaran secara independen. Sementara, para pengacara dalam kasus ini harus membuktikan bahwa pemerintah Inggris bertindak tidak rasional dalam menolak larangan penjualan senjata.

Charlotte Andrews-Briscoe, pengacara GLAN, mengatakan bahwa mereka kesulitan memilih bukti kasus untuk diajukan. Hal ini  dikarenakan begitu banyaknya laporan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi yang terjadi di Gaza. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us