Diserang Houthi, Saudi Minta AS Pasok Rudal Pertahanan

Houthi melancarkan hampir 400 serangan ke wilayah Saudi 

Jakarta, IDN Times - Arab Saudi dikabarkan telah meminta kepada Amerika Serikat, tambahan amunisi rudal pertahanan jenis Patriot. Saudi merasa kekurangan pasokan di tengah serangan rutin yang dilancarkan gerilyawan Houthi.

Gerilyawan Houthi adalah kelompok yang diperangi oleh Saudi dan sekutunya di Yaman. Saudi memimpin koalisi membantu pasukan pemerintah Yaman yang diakui untuk menyingkirkan Houthi. Karena intervensi Saudi tersebut, Houthi kemudian secara berkala meluncurkan serangan ke beberapa target di negara yang beribu kota Riyadh tersebut.

Konflik Yaman yang sampai saat ini belum berakhir, digambarkan oleh PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Mayoritas warga Yaman bergantung bantuan dari luar dan jutaan orang menghadapi kelaparan.

1. Houthi melancarkan hampir 400 serangan ke wilayah Saudi tahun ini

Houthi dituduh sebagai kelompok pemberontak yang ingin merebut Yaman dari pemerintahan yang sah dan diakui internasional. Pasukan Yaman dibantu oleh koalisi negara Teluk yang dipimpin oleh Saudi. Mereka terus melancarkan serangan untuk menghadapi kelompok yang dianggap pemberontak itu.

Houthi telah berulangkali melancarkan serangan balasan lintas perbatasan. Mereka menggunakan pesawat nirawak dan rudal balistik dengan menargetkan beberapa tempat di Saudi.

Dilansir Middle East Eye, Timothy Landerking, utusan khusus AS untuk Yaman, mengatakan bahwa Houthi telah mengerahkan hampir 400 serangan semacam itu tahun ini, melintasi perbatasan yang menargetkan wilayah Saudi.

Serangan Houthi, termasuk menyasar fasilitas minyak milik perusahaan raksasa Aramco yang berada di Jeddah.

Arab Saudi secara umum menggunakan rudal pertahanan dari permukaan-ke-udara. Rudal tersebut adalah salah satu rudal andalan yang diproduksi oleh AS, yakni rudal Patriot. Namun, rudal yang digunakan untuk menembak jatuh ancaman dari udara, pasokan amunisinya saat ini mulai menipis.

2. Saudi khawatir pasokan rudal pencegat tidak cukup untuk menghalau serangan

Baca Juga: Prancis Bantu Arab Saudi Selesaikan Konflik dengan Lebanon

Saudi adalah sekutu utama AS di Timur Tengah. Ketika Saudi memelopori untuk memimpin pasukan koalisi menyerang Houthi di Yaman, AS memberikan bantuan logistik dan intelijen.

Tapi setelah berulangkali ada seruan dari aktivis hak asasi manusia yang menyebutkan terjadi pelanggaran kemanusiaan di negara konflik itu, secara berkala AS menarik dukungannya.

Meski begitu, sebagai sekutu utama, Saudi adalah pasar yang potensial bagi senjata yang diproduksi AS. Saudi telah lama menjadi mitra yang gemar membeli senjata-senjata dari Negeri Paman Sam itu.

Dilansir Al Jazeera, permohonan Saudi kepada AS untuk menambah pasokan amunisi rudal pencegat Patriot, oleh beberapa pejabatnya disebutkan bahwa pasti akan disetujui oleh Washington. Tapi, menurut mereka, stok yang akan dikirim tidak akan mencukupi kebutuhan.

Ini karena Houthi terus melancarkan serangan mingguan rudal atau pesawat nirawak, yang mengancam nyawa warga atau merugikan ekonomi dengan merusak sistem infrastruktur minyal yang jadi andalan ekonomi Saudi.

Saat ini ketika AS dipimpin oleh Joe Biden, dia sedang menghadapi tantangan dalam hubungannya dengan Riyadh.

Isu pembunuhan wartawan Khashoggi yang diduga didalangi oleh petinggi Saudi, menjadi salah satu masalah yang utama. Isu lainnya adalah bahwa negara Arab itu telah melakukan serangkaian kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia, termasuk di Yaman.

Meski begitu, para analis melihat Biden mengambil pendekatan yang pragmatis terhadap Riyadh. AS tetap bergerak maju dalam kesepakatan pembelian senjata. AS sepakat memasok 280 rudal buatan Raytheon dan 596 peluncur rudal dengan nilai kesepakatan mencapai 650 juta dolar atau Rp9,3 triliun.

3. AS telah mulai mengurangi pengaruhnya di Timur Tengah untuk menanggapi ancaman lain

Pada awal bulan September 2021 yang lalu, AS telah menarik sistem rudal pertahanan Patriot yang canggih dari Arab Saudi. Penarikan rudal itu beriringan dengan evakuasi yang kacau, ketika Washington membawa pasukan dan warga keluar dari Afghanistan.

Padahal saat itu Saudi juga terus mendapatkan ancaman serangan dari kelompok Houthi. Menurut Kristian Ulrichsen, seorang peneliti dari Institut Kebijakan Publik di Rice University, keputusan AS itu dipersepsikan bahwa komitmen Washington di Timur Tengah sudah tidak seperti dulu lagi.

"Dari sudut pandang Saudi, mereka sekarang melihat Obama, Trump dan Biden—tiga presiden berturut-turut—mengambil keputusan yang sampai batas tertentu menandakan pengabaian," kata Ulrichsen dikutip Military Times.

Kepada CNBC, pangeran Arab Saudi yang bernama Turki al-Faisal juga menilai bahwa penarikan rudal Patriot AS itu membuat mereka mempertanyakan komitmen AS. Dia mengatakan seharusnya AS tidak menarik rudal Patriot saat Saudi jadi korban serangan rudal dan pesawat nirawak dari Yaman dan Iran.

Dugaan AS mulai berpaling dari Timur Tengah itu juga mencuat ketika Uni Emirat Arab (UEA) pekan lalu menyetujui pembelian 80 jet tempur Rafale F4 tercanggih buatan Prancis. UEA dinilai tidak sabar menununggu keputusan Kongres AS ketika meminta tambahan jet tempur F-35.

Kesepakatan pembelian jet Rafale UEA itu adalah kesepakatan yang memecahkan rekor. Itu adalah pesanan terbesar yang pernah diterima oleh Dassault, pabrikan yang memproduksi jet tempur Rafale.

AS secara berkala dilihat mulai mengurangi kehadiran militernya di Timur Tengah. Para analis menilai karena saat ini Washington melihat ancaman lain yang lebih besar, yakni Rusia dan China.

Baca Juga: Tegang! Houthi-Arab Saudi Terus Saling Serang 

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya