Ribuan Warga Afrika Selatan Tertarik Tawaran Suaka di AS

Jakarta, IDN Times - Ribuan warga kulit putih Afrika Selatan (Afsel), pada Rabu (19/3/2025), mengaku tertarik rencana pemberian suaka dari Amerika Serikat (AS). Mereka bahkan sudah mendaftar program tersebut untuk menjadi suaka dan menetap di Negeri Paman Sam.
Beberapa bulan terakhir, hubungan diplomatik AS-Afsel terus menegang dan mencapai titik terendah. Ketegangan kedua negara menyusul tuduhan Presiden AS Donald Trump terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kepada warga keturunan Eropa di Afsel.
Tensi Pretoria-Washington semakin panas saat Presiden Afsel, Cyril Ramaphosa, mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengizinkan pengambilan lahan tanpa kompensasi apabila sesuai dengan kepentingan publik.
1. Sebanyak 67 ribu warga kulit putih Afsel sudah mendaftar suaka di AS
Kamar Dagang Afsel di AS (Saccusa) mengatakan bahwa sudah banyak yang mendaftar program suaka bagi warga Afrikaner. Mereka adalah warga kulit putih yang mayoritas keturunan Belanda di Afsel.
"Pendaftaran program ini di Kantor Kedutaan Besar AS di Pretoria adalah sebuah momentum besar. Program ini sangat diminati dan sebanyak 67.042 warga Afrikaner sudah mendaftar. Pendaftar mayoritas di usia produktif antara 25-45 tahun dan memiliki 2 hingga 3 tanggungan," terang Presiden Saccusa, Neil Diamond, dikutip Africa News.
Sebagai informasi, Saccusa adalah kelompok pebisnis Afsel yang bermukim di AS yang tidak terafiliasi dengan pemerintah. Namun, mereka dilibatkan dalam proses registrasi suaka warga kulit putih Afsel di AS.
Di sisi lain, sejumlah warga kulit putih Afsel mengaku telah mendapat diskriminasi di negaranya sendiri usai berakhirnya apartheid. Meskipun demikian, mayoritas pemilik lahan dan orang kaya di Afsel berasal dari penduduk kulit putih.
2. AS tetapkan persona non-grata kepada Dubes Afsel
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengumumkan penetapan persona non-grata kepada Duta Besar (Dubes) Afsel di Washington, Ebrahim Rasool.
"Dubes Afsel di AS tidak lagi disambut baik di negara besar kami. Dia sudah menjadi sosok memanipulasi rasisme dan membenci Amerika dan Presiden Trump. Kami tidak perlu mendiskusikan dengannya dan maka dari itu, dia ditetapkan sebagai persona non-grata," tutur dia, dilansir The Guardian.
Rasool dikenal sebagai sosok aktivis anti-apartheid bersama mantan Presiden Afsel, Nelson Mandela, dan sempat dipenjara atas aksinya. Ia kini menjadi politikus di negara Afrika tersebut.
Sesuai ketetapan ini, Rasool diharuskan meninggalkan Negeri Paman Sam pada Sabtu (21/3/2025). Pengusiran diplomat menjadi aksi sangat langka di AS, tapi sudah ada beberapa diplomat yang ditetapkan persona non-grata.
3. AS tangguhkan hampir seluruh bantuan ke Afsel

Pada awal Maret, Rubio mengumumkan penangguhan bantuan luar negeri AS ke Afsel. Ia menyebut bahwa ini adalah keputusan dari Trump.
"Sebagai wujud dari implementasi Executive Order (EO) 14204, maka semua biro, kantor, dan misi bantuan dari AS yang ditujukan kepada Afsel akan dihentikan untuk sementara waktu," ungkapnya.
Salah satu dokter di Afsel, Aaron Motsoaledi, mengatakan bahwa penangguhan bantuan ini akan berakibat pada kematian di negaranya. Ia menyebut klinik tidak dapat memastikan adanya obat yang dapat menyelamatkan nyawa pasien HIV.
"Sudah terjadi kekacauan di Afsel dalam penanganan penyebaran virus HIV, karena banyak organisasi yang harus mencari alternatif bantuan kepada 900 ribu pasien HIV," terangnya, dilansir BBC.