Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sah! Inggris Bakal Kirim Migran Ilegal ke Rwanda

Bendera Inggris Raya. (Unsplash.com/simon frederick)

Jakarta, IDN Times - Rencana pemerintah Inggris mengirim migran ke Rwanda dinyatakan sah oleh Pengadilan Tinggi pada Senin (19/12/2022). Kebijakan itu berlaku bagi mereka yang datang secara ilegal melalui Selat Inggris dengan menggunakan perahu kecil.

Kebijakan tersebut diumumkan pada April, tapi langkah yang diambil pemerintah mendapat kecaman karena dianggap tidak bermoral dan melanggar. Pengadilan Eropa sebelumnya telah membatalkan pengiriman migran ke Rwanda.

1. Keputusan tidak melanggar perjanjian mengenai pengungsi

Melansir Associated Press, para hakim mengatakan kebijakan itu tidak melanggar kewajiban Inggris di bawah Konvensi Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau perjanjian internasional lainnya.

Namun, hakim meminta pemerintah mempertimbangkan keadaan setiap kasus, yang berarti mereka tidak boleh langsung dikirim ke Rwanda.

"Pengadilan telah menyimpulkan bahwa sah bagi pemerintah untuk mengatur relokasi pencari suaka ke Rwanda dan klaim suaka mereka ditentukan di Rwanda daripada di Inggris,” kata Clive Lewis, salah satu dari dua hakim yang membuat putusan.

Menteri Dalam Negeri Inggris, Suella Braverman, menyebut kedatangan melalui Selat Inggris sebagai invasi ke pantai selatan, dan mengatakan keputusan kemitraan dengan Rwanda sudah tepat.

“Semakin cepat ini berjalan, semakin cepat kita mematahkan model bisnis geng jahat penyelundup manusia," kata Braverman.

Yolande Makolo, juru bicara pemerintah Rwanda, mengatakan keputusan pengadilan merupakan langkah positif dalam upaya untuk memberi solusi jangka panjang yang inovatif untuk krisis migrasi global.

Dalam kesepakatan mengirim pencari suaka ke Rwanda, Inggris membayar negara Afrika tersebut sebesar 140 juta pound sterling (Rp2,6 triliun).

2. Pencari suaka dapat mengajukan banding

Ilustrasi palu pengadilan. (Pexels.com/Sora Shimazaki)

Melansir Reuters, penerbangan deportasi pertama ke Rwanda sebelumnya telah diblokir pada Juni oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) dan keabsahan strategi tersebut kemudian ditentang di Pengadilan Tinggi.

Keputusan ECHR mencegah deportasi langsung sampai penyelesaian tindakan hukum di Inggris selesai, kemungkinan para migran akan mengajukan banding.

Detention Action and Asylum Aid, yang menentang kebijakan tersebut bersama para pencari suaka dari Suriah, Irak, Iran, Albania, dan Vietnam, mengatakan bakal mempertimbangkan untuk mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan.

Para hakim mengatakan, sidang lebih lanjut akan berlangsung pada 16 Januari untuk menentukan permohonan izin pengajuan banding terhadap putusan pengadilan.

Paul O'Connor dari Serikat Layanan Publik dan Komersial, yang mewakili pejabat pemerintah dan terlibat dalam gugatan hukum, mengatakan dia senang pencari suaka individu dapat menantang deportasi mereka.

"Siapa pun yang mengira litigasi ini akan segera berakhir mungkin harus berpikir lagi," katanya.

3. Pengiriman migran ke Rwanda dikecam

Ilustrasi bendera Rwanda. (Pixabay.com/Clker-Free-Vector-Images)

Inggris berpendapat, kebijakan itu akan mencegah geng penyelundup mengirim orang melakukan perjalanan berbahaya melalui Selat Inggris. Sepanjang tahun ini, lebih dari 44 ribu orang datang melalui selat dengan perahu kecil.

Lonjakan kedatangan menyebabkan pusat migrasi penuh sesak, yang menjadi episentrum penyakit, salah satunya adalah difteri. 

Kelompok hak asasi manusia mengatakan, kebijakan itu tidak bermoral dan tidak manusiawi karena mengirim orang ke negara yang tidak mereka inginkan. Mereka juga mengutip catatan hak asasi manusia Rwanda yang buruk, termasuk adanya dugaan penyiksaan dan pembunuhan.

Di Rwanda pada 1994 pernah terjadi genosisa terhadap sekitar 800 ribu orang, tapi Inggris berpendapat bahwa Rwanda kini telah membangun reputasi untuk stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun, kritikus mengatakan bahwa stabilitas itu datang dengan mengorbankan represi politik.

Christina Marriott, direktur kebijakan di Palang Merah Inggris, menganggap langkah yang diambil pemerintah tidak akan banyak membantu mencegah orang mempertaruhkan hidup mereka untuk melintasi Selat Inggris.

Pemerintah Inggris juga dikritik karena hanya memiliki sedikit rute resmi untuk pencari suaka, selain yang ditetapkan untuk orang-orang dari Ukraina, Afghanistan, dan Hong Kong.

Raja Charles dilaporkan juga mengecam kebijakan itu, yang dianggapnya mengerikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us