Taliban Eksekusi Mati 2 Pria di Depan Umum

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Taliban di Afghanistan mengeksekusi dua pria secara umum di sebuah stadion pada Kamis (22/2/2024). Kedua pria itu bertanggung jawab atas kematian dua korban penikaman dalam insiden terpisah.
Hukuman mati ini merupakan eksekusi publik ketiga dan keempat sejak Taliban merebut kekuasaan pada 2021. Taliban juga telah mencambuk sekitar 350 lainnya, termasuk perempuan, yang sebagian besar dituduh melakukan perzinahan dan melarikan diri dari rumah.
Taliban sebelumnya sudah pernah berkuasa di Afghanistan dari tahun 1996 hingga 2001. Pada saat itu, hukuman mati dan cambuk sering dilakukan di depan umum.
1. Keluarga korban sebagai penembak kedua terpidana

Dilansir Associated Press, kedua terpidana mati itu diidentifikasi sebagai Syed Jamal dari provinsi Wardak tengah dan Gul Khan dari Ghazni. Eksekusi disetujui oleh tiga pengadilan tingkat rendah dan Hibatullah Akhundzada, pemimpin tertinggi Taliban.
Hukuman dilaksanakan di stadion di daerah Ali Lala di kota Ghazni. Orang-orang di luar stadion memanjat untuk masuk. Para ulama hadir memohon kepada keluarga korban untuk memaafkan para terpidana, tapi mereka menolak.
Abu Abu Khalid Sarhadi, juru bicara polisi Ghazni, mengatakan bahwa keluarga korban yang mengeksekusi kedua pria tersebut.
Eksekusi dimulai sesaat sebelum jam 1 siang. Ada 15 peluru yang ditembakkan, delapan ke arah salah satu pria dan tujuh ke arah yang lain. Ambulans kemudian membawa kedua jenazah mereka pergi.
2. PBB kritik eksekusi mati Taliban

Dilansir Voa News, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengkritik hukuman tersebut sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Eksekusi mati dinilai bertentangan dengan hukum internasional dan harus dihentikan.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) menyebut eksekusi tersebut tidak sejalan dengan hak dasar untuk hidup.
“UNAMA mendesak pemerintah de facto untuk segera menetapkan moratorium penerapan hukuman mati sebagai langkah menuju penghapusan hukuman mati,” kata UNAMA.
Taliban telah merespons kritik tersebut, dengan mengatakan sistem peradilan pidana dan pemerintahan mereka secara umum didasarkan pada aturan dan pedoman Islam.
“Perintah pengadilan mempertimbangkan semua standar Syariah,” kata Zabihullah Mujahid, juru bicara pemerintah Taliban.
3. Taliban membatasi hak-hak perempuan

Sejak berkuasa, Taliban memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap hak-hak perempuan atas pendidikan dan kehidupan publik. Mereka telah melarang pengunjung perempuan memasuki taman dan pusat kebugaran serta melarang anak perempuan bersekolah setelah kelas enam.
Taliban telah mengabaikan protes internasional dan seruan untuk menghapus pembatasan terhadap perempuan. Kebijakan itu membuat pihak asing enggan mengakui pemerintahan Taliban.
Pekan ini, panel ahli PBB, menyerukan negara-negara lain untuk secara resmi mengakui apartheid gender sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan menyoroti penindasan terhadap perempuan dan anak perempuan di bawah rezim Taliban di Afghanistan.