Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Upaya Global Sumud Flotilla Tembus Blokade Israel untuk Capai Gaza

rombongan Global Sumud Flotilla di Tunisia. (Brahim Guedich, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)
rombongan Global Sumud Flotilla di Tunisia. (Brahim Guedich, CC BY 4.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/4.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Misi pertama pada 2008 berhasil mencapai pantai Gaza
  • Serangan Israel ke kapal Mavi Marmara tewaskan 10 aktivis pada 2010
  • Misi 2011 hingga 2018 selalu gagal mencapai Gaza
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times- Jalur Gaza telah berada di bawah blokade ketat Israel, mencakup darat, laut, dan udara, sejak kelompok Hamas berkuasa pada tahun 2007. Blokade ini menghalangi impor, ekspor, dan pergerakan penduduk, yang mengakibatkan kehancuran ekonomi dan ketergantungan pada bantuan.

Israel berargumen bahwa blokade ini penting untuk mencegah kelompok militan mengimpor senjata. Namun, banyak organisasi hak asasi manusia dan LSM melihat tindakan ini sebagai hukuman kolektif yang melanggar hukum internasional. Situasi ini membuat Gaza, yang memiliki dua juta penduduk, dinyatakan oleh PBB hampir tidak layak huni.

Gaza Freedom Flotilla atau armada bantuan laut adalah konvoi kapal sipil internasional yang dibentuk untuk memecahkan blokade ini dan mengirimkan pasokan kemanusiaan. Gerakan ini diselenggarakan oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), sebuah koalisi akar rumput yang didukung aktivis dari berbagai belahan dunia. FFC didirikan setelah tragedi pada 2010 dan berkomitmen pada prinsip perjuangan tanpa kekerasan.

Sejak misi pertama diluncurkan, upaya sipil ini berupaya menarik perhatian global terhadap krisis kemanusiaan yang akut di Gaza. Namun, hampir tidak ada kapal FFC yang berhasil mencapai pantai Gaza karena semuanya dihentikan paksa oleh militer Israel. Berikut sejarah perjuangan misi flotila ke Gaza untuk menembus blokade Israel.

1. Misi pertama pada 2008 berhasil mencapai pantai Gaza

Misi flotila pertama diprakarsai pada tahun 2008 oleh Free Gaza Movement (FGM), sebuah gerakan yang terbentuk pada masa Perang Lebanon 2006. Tujuan utama FGM adalah membawa bantuan dan menentang blokade maritim Israel. Pada 2008, dua kapal FGM, Liberty dan Free Gaza, berhasil mencapai pantai Gaza, menandai penembusan blokade yang pertama.

FGM terus beroperasi hingga 2016, dengan total 31 perahu diluncurkan, di mana lima kapal berhasil mencapai Gaza di tahun-tahun awal. Israel biasanya mengarahkan kapal-kapal bantuan untuk memindahkan kargo mereka ke pelabuhan Ashdod untuk diperiksa sebelum dikirim melalui jalur darat. Para aktivis menolak prosedur ini karena fokus misi mereka adalah menantang blokade Israel.

Pada pertengahan 2009, Israel mulai memperketat aturan blokade, sehingga akses masuk melalui laut ke Gaza terhenti. Para aktivis kemudian melancarkan konvoi yang lebih besar dan terkoordinasi pada tahun berikutnya.

2. Serangan Israel ke kapal Mavi Marmara tewaskan 10 aktivis pada 2010

Titik paling kelam dalam sejarah misi flotila terjadi pada 31 Mei 2010, ketika Angkatan Laut Israel menyerbu enam kapal yang tergabung dalam Gaza Freedom Flotilla. Kapal utama misi ini adalah Mavi Marmara, kapal penumpang milik LSM Turki, Humanitarian Relief Foundation (İHH). Penyerangan itu terjadi di perairan internasional, jauh dari perairan teritorial Israel.

Serangan ini menewaskan sembilan aktivis sipil Turki secara langsung, dan satu aktivis kemudian meninggal karena luka yang diderita. Israel mengklaim tindakan tersebut dilakukan untuk membela diri, tetapi aksi tersebut dikecam dunia karena melanggar hukum internasional. Laporan PBB pada 2011 bahkan menyimpulkan bahwa penggunaan kekuatan militer Israel dalam serangan itu berlebihan dan tidak masuk akal.

Menurut DW, insiden berdarah ini menyebabkan hubungan diplomatik antara Israel dan Turki memburuk selama bertahun-tahun. Israel baru secara resmi meminta maaf pada tahun 2013 dan setuju membayar kompensasi sebesar 20 juta dolar AS (sekitar Rp331,6 miliar) kepada keluarga korban pada 2016. FFC kemudian dibentuk setelah tragedi ini, untuk melanjutkan aksi damai dalam menuntut diakhirinya pengepungan.

3. Misi 2011 hingga 2018 selalu gagal mencapai Gaza

Misi lanjutan, Freedom Flotilla II pada 2011, hampir seluruhnya gagal berlayar setelah Yunani melarang keberangkatan kapal dengan dalih masalah keamanan dan diplomatik. Aktivis mengklaim bahwa kapal-kapal mereka mengalami sabotase di pelabuhan Yunani dan Turki akibat tekanan politik dari Israel. Hanya kapal Prancis, Dignité-Al Karama, yang berhasil mendekati Gaza sebelum ditangkap oleh komando Israel dan ditarik paksa ke Ashdod.

Pada tahun 2015, Freedom Flotilla III yang dipimpin oleh kapal Swedia Marianne dihentikan paksa oleh Angkatan Laut Israel sekitar 185 kilometer dari pantai Gaza. Saksi melaporkan bahwa komando Israel menggunakan alat kejut listrik (tasers) saat menyita kapal, meskipun militer Israel mengklaim penangkapan berlangsung damai. Para aktivis, termasuk mantan Presiden Tunisia Moncef Marzouki, ditahan dan dideportasi, dilansir Middle East Eye.

FFC kemudian mengorganisir Women’s Boat to Gaza pada 2016, sebuah kapal tunggal dengan seluruh awak perempuan. Kapal ini juga dihentikan paksa oleh Israel sekitar 25 kilometer dari zona aman Gaza. Seluruh kru wanita yang ditangkap, termasuk seorang pemenang Nobel Perdamaian, ditahan dan kemudian dideportasi ke negara asal mereka.

Pola penyergapan berulang terjadi pada misi Just Future for Palestine Flotilla tahun 2018, di mana kapal Al Awda dan Freedom disita di perairan internasional. Beberapa aktivis melaporkan telah diserang, dipukuli, atau disetrum oleh pasukan Israel sebelum mereka dideportasi. Upaya ini, meskipun gagal mencapai daratan, terus berhasil menarik perhatian global terhadap blokade yang berkepanjangan.

4. Aktivis gencar berlayar ke Gaza sejak krisis kemanusiaan kian parah

Krisis kemanusiaan di Gaza semakin parah setelah konflik 2023, dengan PBB memperingatkan tentang risiko kelaparan yang meluas di wilayah tersebut. Kondisi ini mendorong FFC untuk meluncurkan beberapa misi pada tahun 2025, yang bertujuan mengirimkan pasokan penting dan menuntut diakhirinya blokade. Para aktivis menekankan bahwa aksi ini penting untuk menentang keputusan politik Israel yang membiarkan pengepungan dan kelaparan terjadi.

Pada 2 Mei 2025, sebuah kapal FFC bernama Conscience mengalami serangan yang dilaporkan berasal dari drone bersenjata di perairan internasional dekat Malta. Serangan yang terjadi sekitar 26 hingga 31 kilometer dari Malta itu memicu kebakaran dan kerusakan pada lambung kapal.

Misi berikutnya, kapal Madleen pada Juni 2025, dihentikan paksa oleh militer Israel sekitar 185 kilometer dari Gaza. Di antara 12 kru yang ditahan adalah aktivis iklim Greta Thunberg dan Anggota Parlemen Eropa Rima Hassan. Ada laporan bahwa Israel menggunakan semprotan bahan kimia selama penyergapan Madleen di perairan internasional. Kapal Handala pada Juli 2025 yang membawa jurnalis dan pasokan kemanusiaan, juga disita dan krunya ditangkap di perairan internasional menjelang akhir Juli.

5. Global Sumud Flotilla menjadi misi laut terbesar ke Gaza

Global Sumud Flotilla (GSF) yang berlayar pada paruh kedua 2025 menjadi upaya maritim sipil terbesar dalam sejarah perlawanan blokade Israel. Konvoi ini melibatkan lebih dari 40 hingga 50 kapal dan sekitar 500 hingga 1.000 peserta, yang berasal dari setidaknya 44 negara dan enam benua. Nama Sumud sendiri berarti keteguhan atau ketangguhan, mencerminkan filosofi misi ini.

Misi GSF mulai berlayar pada akhir Agustus 2025, dengan konvoi utama puluhan kapal berangkat dari Barcelona dan pelabuhan-pelabuhan Spanyol lainnya. Kapal-kapal ini dijadwalkan bertemu dengan gelombang kedua di Tunisia pada 4 September, diikuti oleh kapal-kapal dari Genoa dan Otranto.

Selama pelayaran, GSF mengalami berbagai tantangan, termasuk serangan drone dan gangguan komunikasi, khususnya pada 24 September saat 11 kapal diserang di selatan Yunani. Setelah konvoi Spanyol dan Tunisia bergabung di Sisilia, mereka bergerak menuju Yunani, dan pada 28 September, armada yang telah bergabung itu berangkat dari Kreta menuju Gaza. GSF membawa sekitar 300 ton bantuan, termasuk makanan dan obat-obatan, yang sangat dibutuhkan Gaza.

Angkatan Laut Israel menghentikan paksa kapal-kapal GSF secara bertahap, dengan hampir semua kapal berhasil disita pada 2 Oktober 2025. Kapal terakhir, Marinette berbendera Polandia, disita pada 3 Oktober 2025 sekitar 79 kilometer dari Gaza.

Tindakan penangkapan paksa GSF memicu kecaman global, termasuk dari Italia, Spanyol, dan Jerman yang mendesak Israel menghormati hak-hak warganya. Presiden Kolombia Gustavo Petro mengumumkan pengusiran diplomat Israel dan pembatalan perjanjian perdagangan bebas sebagai protes atas tindakan tersebut. Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina, menyebut penangkapan aktivis sebagai penculikan ilegal di perairan internasional, dilansir Al Jazeera.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Greta Thunberg dan 160 Aktivis yang Dideportasi Israel Tiba di Yunani

07 Okt 2025, 10:14 WIBNews