Aung San Suu Kyi Dituduh Terima Suap Rp7,8 M untuk Loloskan Proyek

Sudah ada 4 pasal yang menjerat Suu Kyi

Jakarta, IDN Times - Junta militer Myanmar kembali menambah dakwaan kepada pemimpin de facto sekaligus penasihat negara Aung San Suu Kyi. Kali ini, perempuan berusia 75 tahun itu dijerat pasal suap karena dituduh menerima uang senilai 737 ribu dolar Singapura atau setara dengan Rp7,8 miliar.

Dilansir The Straits Times, Suu Kyi dituduh menerima uang demi meloloskan proyek pembangunan. Kabar itu beredar setelah MRTV, lembaga penyiaran yang dikelola pemerintah, menayangkan klip video yang berisi pengakuan Maung Weik selaku ketua Say Paing Construction. Dia mengaku telah menyuap Suu Kyi sebanyak empat kali sejak 2018 hingga April 2020 supaya proyeknya lancar.

Akibat dakwaan ini, perempuan peraih Nobel Perdamain itu terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.  

Baca Juga: Militer Tuduh Aung San Suu Kyi Terima Suap Emas dan Uang Rp8,5 Miliar

1. Suu Kyi didakwa berbagai pasal pidana

Aung San Suu Kyi Dituduh Terima Suap Rp7,8 M untuk Loloskan ProyekPara demonstran angkat poster Suu Kyi saat mereka melawan kudeta militer dan tuntut pembebasan Suu Kyi di Yangon, Myanmar, Sabtu (13/2/2021). ANTARA FOTO/Reuters-Stringer/hp. Sumber: antaranews.com

Sejak ditetapkan sebagai tahanan politik menyusul kudeta pemerintahan pada 1 Februari 2021, Suu Kyi telah ditetapkan sebagai tersangka atas berbagai dakwaan.

Mula-mula, dia dijerat pasal undang-undang telekomunikasi dan informasi karena mengimpor walkie-talkie secara ilegal. Kemudian, dia juga dituduh melanggar undang-undang darurat di tengah pandemik COVID-19 karena memicu kerumunan saat kampanye. Belum cukup di situ, Suu Kyi juga dituduh menerima suap untuk memenangkan pemilu.

Junta juga menuduh Suu Kyi menggunakan sejumlah dana yang disumbangkan ke Daw Khin Kyi Foundation untuk keuntungan pribadi, menyewa tanah milik negara untuk kantor yayasan, dan membeli tanah untuk pusat pelatihan kejuruan di Naypyitaw dengan harga lebih rendah dari rata-rata pasar.
 
Pihak berwenang telah mencegah Suu Kyi untuk bertemu dengan tim hukumnya, yang membantah kliennya melakukan kesalahan dan menganggap semua tuduhan itu bersifat politis.

2. Myanmar semakin terisolasi

Aung San Suu Kyi Dituduh Terima Suap Rp7,8 M untuk Loloskan ProyekPendemo memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, Rabu (17/2/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Warga Myanmar semakin terisolasi setelah pemerintah membatasi akses internet. Rezim militer yang telah merebut kekuasaan secara inkonstitusional juga membredel media yang secara intensif memperbarui informasi soal unjuk rasa. Sekitar 37 jurnalis telah ditangkap, termasuk 19 orang yang masih ditahan.

Pembatasan akses internet juga memengaruhi sidang pengadilan Suu Kyi yang dijadwalkan pada Senin (15/3/2021). Akhirnya, hakim memutuskan untuk membatalkan persidangan karena keterbatasan akses internet.

Hal itu juga menyulitkan lembaga internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk memverifikasi laporan seputar korban nyawa dan orang-orang yang dihilangkan secara paksa. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar merilis data terbaru, melaporkan bahwa sekurangnya 217 demonstran tewas akibat bentrokan dengan aparat.

Baca Juga: Demi Perdamaian Myanmar, Paus Fransiskus Siap Berlutut di Jalanan

3. PBB minta masyarakat kumpulkan bukti kekerasan

Aung San Suu Kyi Dituduh Terima Suap Rp7,8 M untuk Loloskan ProyekTwitter.com/Myanmar Now

Tim penyelidik PBB menyerukan kepada seluruh masyarakat Myanmar untuk mengumpulkan dan menyimpan bukti terkait kejahatan yang dilakukan oleh aparat. Tujuannya supaya para pemimpin militer bisa dituntut atas pelanggaran kemanusiaan di masa mendatang.

Terkait mekanisme pengumpulan bukti, para informan diminta untuk menghubungi penyelidik melalui alat komunikasi yang aman, seperti aplikasi Signal atau akun ProtonMail.

"Orang-orang yang paling bertanggung jawab atas kejahatan internasional paling serius biasanya mereka yang memegang posisi kepemimpinan tinggi. Mereka bukan orang yang secara fisik melakukan kejahatan, bahkan seringkali tidak hadir di lokasi kejahatan,” kata kepala tim PBB Nicholas Koumjian, sebagaimana dilansir dari Channel News Asia, Kamis (18/3/2021). 

Koumjian menyambung, “untuk membuktikan tanggung jawab mereka, dibutuhkan bukti laporan yang diterima, perintah yang diberikan dan bagaimana kebijakan ditetapkan." 

Baca Juga: Dewan Keamanan PBB Kutuk Kudeta Militer Myanmar

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya