Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Militer Tuduh Aung San Suu Kyi Terima Suap Emas dan Uang Rp8,5 Miliar

Aung San Suu Kyi berjalan untuk mengambil sumpah di parlemen majelis rendah di Naypyitaw, Myanmar, pada 2 Mei 2012. ANTARA FOTO/REUTERS/Soe Zeya Tun/File Photo/

Jakarta, IDN Times - Pemimpin de facto sekaligus Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, dituduh oleh junta militer telah melakukan tindak pidana korupsi dan nepotisme, yaitu menerima emas dan uang tunai.
 
Melalui konferensi pers yang berlangsung pada Kamis (11/3/2021), juru bicara militer, Zaw Min Tun, menjelaskan Suu Kyi telah menerima suap berupa emas dan uang tunai senilai 600 ribu dollar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp8,5 miliar.
 
Dilansir dari ABC News, pihak militer mengutarakan informasi yang diperoleh dari mantan Menteri Utama Yangon, Phyo Mien Thein, itu telah dikonfirmasi kebenarannya melalui pihak-pihak terkait.

1. Uang digunakan untuk menyuap komisi pemilihan

Penasihat Negara (setingkat Perdana Menteri) Myanmar, Aung San Suu Kyi, mengenakan masker dan sarung tangan plastik saat menggunakan hak suaranya dalam Pemilu Myanmar 2020. (Facebook.com/Chair NLD)

Bukan hanya perempuan peraih Nobel Perdamaian yang didakwa pasal korupsi, junta juga menuduh Presiden Win Myint dan beberapa anggota kabinet terlibat dalam pusaran korupsi. Uang yang mereka terima digunakan untuk menyuap komisi pemilihan agar tidak menindaklanjuti laporan penyimpangan pemilu yang dibuat oleh fraksi militer.
 
Suu Kyi sebelumnya telah didakwa dengan berbagai pasal pidana, mulai dari melanggar undang-undang informasi dengan mengimpor enam walkie-talkie ilegal, hingga melanggar undang-undang darurat karena aktivitas politik yang menyebabkan kerumunan di tengah pandemik COVID-19.
 
Dengan tuduhan baru ini, Suu Kyi terancam menghadapi hukuman yang lebih berat.

2. Dibantah oleh anggota NLD

Pendukung pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi melakukan protes di luar Pengadilan Internasional (ICJ), sebelum kedatangannya pada sidang hari kedua untuk kasus yang dilaporkan oleh Gambia terhadap Myanmar atas dugaan genosida terhadap minoritas populasi Muslim Rohingya, di Den Haag, Belanda, pada 11 Desember 2019. ANTARA FOTO/REUTERS/Yves Herman

Anggota parlemen dari Partai Liga Nasional Demokrasi (NLD), Aye Ma Ma Myo, menolak klaim tersebut. Menurutnya, fitnah dalam politik adalah hal yang lazim untuk menjatuhkan citra seorang pemimpin.
 
"Tidak jarang melihat fitnah terhadap politisi dan upaya untuk menghancurkan partai, sementara anak muda yang tidak bersalah dibunuh di depan umum," tutur Aye menanggapi tuduhan tersebut.

3. Lebih dari 70 demonstran dikabarkan tewas

Twitter.com/Myanmar Now

Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Thomas Andrews, melaporkan sedikitnya 70 orang menjadi korban sejak protes menolak kudeta berlangsung pada awal Februari 2021 lalu. Lebih dari 2.000 orang juga telah ditahan dan ditetapkan sebagai tahanan politik.

Masyarakat turun ke jalan, menolak untuk patuh dengan rezim militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing. Mereka juga mendesak supaya Dewan Administrasi Negara, sebutan untuk rezim darurat yang berjalan setahun ke depan, untuk membebaskan para tahanan politik serta merestorasi demokrasi.
 
Andrews dengan tegas mengatakan, apa yang dilakukan oleh militer adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan dan penyiksaan.
 
"Ada banyak bukti video tentang pasukan keamanan yang dengan kejam memukuli pengunjuk rasa, petugas medis, dan pengamat. Ada video tentara dan polisi yang secara sistematis bergerak melalui lingkungan, menghancurkan properti, menjarah toko, menangkap pengunjuk rasa dan pejalan kaki secara sewenang-wenang, dan menembak tanpa pandang bulu ke rumah-rumah orang," terang Andrews, dilansir melalui Al Jazeera.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us